Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Kritik YLKI pada Program Bank Indonesia Soal Pembayaran Nontunai

YLKI menilai gerakan nasional nontunai yang dicanangkan Bank Indonesia hingga saat ini masih memiliki beberapa kekurangan.

23 Oktober 2017 | 21.23 WIB

Konsumen  melakukan transaksi dengan menggunakan kartu visa di gerai Indomaret, Jakarta Jumat (30/04). Pelanggan dapat melakukan transaksi non tunai dengan menggunakan kartu Visa di 4.110 gerai Indomaret mulai 1 Mei 2010.  TEMPO/Dinul Mubarok
Perbesar
Konsumen melakukan transaksi dengan menggunakan kartu visa di gerai Indomaret, Jakarta Jumat (30/04). Pelanggan dapat melakukan transaksi non tunai dengan menggunakan kartu Visa di 4.110 gerai Indomaret mulai 1 Mei 2010. TEMPO/Dinul Mubarok

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO,CO. JAKARTA - Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai realisasi program gerakan nasional nontunai (GNNT), yang dicanangkan oleh Bank Indonesia (BI), hingga saat ini masih memiliki beberapa kekurangan.

"Kekurangan GNNT, yang saya amati, adalah proses isi ulangnya yang ribet," ujarnya di Wisma Antara, Jakarta Pusat, Senin, 23 Oktober 2017. "Ketika saya ingin mengisi ulang kartu e-toll di beberapa minimarket, hampir semuanya menolak. Alasannya, teknologinya hank atau saldo habis," ucapnya.

Simak: Cegah Kemacetan, BI: Top Up Uang Elektronik Sebaiknya di Luar Tol

Tulus menyatakan hal tersebut menjadi salah satu bukti kurangnya kesiapan infrastruktur teknologi dalam mengakomodasi kebutuhan program GNNT. "Artinya, ini ada kegagalan infrastruktur untuk menyiapkan hal itu (GNNT)," tuturnya.

Di samping itu, Tulus menambahkan, kekurangan lain realisasi GNNT adalah pembebanan biaya isi ulang (top up) yang berpotensi merugikan konsumen. "Walaupun skemanya sudah lebih baik, tapi konsumen masih dikenai biaya. Ini menjadi tidak adil karena intensif tidak diberikan kepada konsumen," katanya.

Sependapat dengan Tulus, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudistira, menyatakan biaya top up dapat berimbas kepada daya beli masyarakat, yang bisa menyebabkan pertumbuhan perekonomian di Indonesia menjadi kontraproduktif.

Menurut Bima, pernyataan penyedia jasa layanan uang elektronik tentang mahalnya biaya peralatan pendukung transaksi elektronik tidak bisa dijadikan alasan bagi pemungutan biaya top up kepada konsumen. "Yang menjadi pertanyaan adalah berapa sebenarnya biaya pembelian dan perawatan itu? Tidak pernah terbuka kepada masyarakat," ujarnya.

Pada 14 Agustus lalu, Gubernur BI Agus Martowardojo mencanangkan program gerakan nasional nontunai. Program tersebut bertujuan mengedukasi masyarakat agar dapat meminimalisasi penggunaan uang tunai dalam transaksi sehari-hari dan menggantinya dengan uang elektronik atau alat transaksi nontunai lain.

ERLANGGA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus