Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan tidak memberi manfaat besar bagi sistem kesehatan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Achmad, beleid ini justru membuat sistem kesehatan nasional rentan dibajak pemilik modal kesehatan besar.
"Karena mereka tidak perlu berkomunikasi dengan organisasi profesi. Cukup terkoneksi dengan Menteri Kesehatan yang menjadi pengambil keputusan," kata Achmad lewat keterangan tertulis, Rabu, 12 Juli 2023.
Achmad melanjutkan, RUU Kesehatan juga mengandung unsur liberalisasi yang berisiko tinggi. Hadirnya dokter asing tanpa memenuhi standar lembaga profesi nasional, kata dia, bisa berpotensi menimbulkan malapraktik.
Lebih rinci, Achmad menyampaikan kritiknya terhadap pengesahan RUU tersebut. Pertama, RUU Kesehatan disahkan tanpa melalui proses yang aspiratif. Sebab, draf RUU Kesehatan mendapat penolakan dari lima organisasi profesi kesehatan utama di Indonesia dan 200 guru besar.
Kedua, RUU Kesehatan sarat dengan sentralisasi dan liberalisasi kesehatan. Hal ini lantaran peran lembaga profesi digembosi, sedangkan peran pemerintah menjadi dominan.
Selanjutnya: Achmad menyayangkan profesionalisme kesehatan....
Achmad menyayangkan profesionalisme kesehatan melalui penguatan lembaga profesi dicabut dalam RUU Kesehatan. Sedangkan peran Menteri Kesehatan malah sangat kuat. "Karena terlalu kuat, jaabatan Menteri kesehatan di masa depan jadi rawan diperebutkan oleh oligarki investor kesehatan," ujar dia.
Ketiga, Achmad melanjutkan, RUU Kesehatan memudahkan oligarki menentukan sistem kesehatan nasional. Karena peran pemerintah dominan, menurut dia, investor kesehatan lebih mudah menempatkan seorang Menteri kesehatan daripada harus menyakinkan kolegium organisasi kesehatan karena mereka sangat plural, profesional dan transparan.
Bukti lainnya, RUU Kesehataan menghilangkan mandatori kesehatan yang sangat melindungi layanan publik bagi masyarakat kelas bawah. " Mandatori hilang artinya anggaran minimal kesehatan sudah tidak ada lagi sebagai mandatori politik anggaran bagi rakyat kecil," kata Achmad.
Poin-poin tersebut, menurutnya, menunjukkan bahwa RUU Kesehatan bukan disahkan untuk publik. Achmad menilai publik hanya menjadi objek, baik sebagai tenaga kesehatan maupun pasien.
"Menelaah draf RUU Kesehatan, publik akan menyadari bahwa RUU Kesehatan omnibus law tersebut bukan untuk mengingkatkan kualitas kesehatan publik luas. Tapi memberi jalan agar industri kesehatan, pemilik modal berekspansi secara akseleratif," ujar dia.
Pilihan Editor: Operasional Terbatas LRT Jabodebek, Dirut KAI: Ada 22 Perjalanan per Hari pada 12-26 Juli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini