Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (Rukki) menduga proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan mengalami berbagai gangguan dan campur tangan dari berbagai pihak, khususnya terhadap pasal-pasal yang berhubungan dengan produk tembakau. Campur tangan itu membuat beberapa pasal dalam RUU Kesehatan tersebut melemah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Rukki Mouhamad Bigwanto menyebut salah satunya berasal dari dukungan kelompok agama sebagai upaya menekan pemerintah. “Kami menemukan beberapa organisasi keagamaan yang diduga ikut serta dalam melemahkan pasal tentang pengamanan zat adiktif dalam RUU Kesehatan,” kata dia dikutip dari laman resmi Lentera Anak, pada Ahad, 4 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu lembaga itu adalah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU beserta lembaga yang berada di bawah naungannya, yakni Lembaga Bahtsul Masail atau LBM. Dikutip dari laman resmi NU, mereka secara bersama-sama meminta agar pasal zat adiktif yang menyebut produk tembakau dan narkoba dalam RUU Kesehatan dihapuskan.
Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBNU, Nur Kholis bahkan menyebut RUU Kesehatan justru berpotensi menambah masalah sosial. “Nah, masyarakat yang sangat bergantung dengan industri tembakau berjumlah 6 juta jiwa. Di mana letak penyelesaian masalahnya jika pekerjaan dan ladang kehidupan 6 juta jiwa ini terancam karena undang-undang ini?” ujarnya dikutip pada Ahad, 4 Agustus 2024.
Menelisik lebih dalam, NU kerap menentang upaya pengendalian tembakau dan mendukung promosi produk rokok elektronik. Misalnya, pada tahun 2018, Lakkpesdam PBNU menerbitkan buku berjudul “Fikih Tembakau Tentang Kebijakan Produk Tembakau Alternatif di Indonesia”.
Proses penyusunan buku itu mendapatkan dukungan finansial dari PT Hanjaya Mandala (HM) Sampoerna, sebuah perusahaan industri tembakau terbesar di Indonesia. Tahun berikutnya, Tim Komisi Rekomendasi NU masih mendukung produk tembakau baru sebagai alternatif.
“Dasar pertimbangannya untuk menjawab kebutuhan warga NU yang sangat akrab dengan tembakau, baik sebagai pengguna maupun pelaku di industri tembakau,” ucap Bigwanto.
Selain NU, Rukki juga mencatat lembaga seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau ICMI yang menolak keras regulasi terkait tembakau dalam RUU Kesehatan. Ada pula Syarikat Islam atau SI yang mengkritik soal penggabungan narkoba dengan produk tembakau.
“Meskipun kami belum bisa menemukan hubungan industri rokok dengan kedua lembaga tersebut, namun hal ini menjadi menarik karena muncul suara baru dari grup religius yang membela industri,” ujar Bigwanto.
Ia mengatakan lembaganya telah melakukan analisis mengenai upaya pelemahan tersebut. Laporan soal upaya pelemahan pasal dengan melibatkan lembaga keagamaan terangkum dalam rilis Rukki, yakni Pelemahan Regulasi Kesehatan di Indonesia: Studi Kasus Pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam UU dan RPP Tentang Kesehatan 2024.
Bigwanto menjelaskan laporan itu menggambarkan bagaimana proses pembentukan regulasi tersebut dihambat oleh campur tangan industri tembakau dan pendukungnya. Tak hanya lembaga keagamaan, tapi kementerian, DPR, DPRD, asosiasi industri tembakau, asosiasi pengusaha kelompok petani dan buruh, komunitas, lembaga mahasiswa, bahkan dokter, peneliti, pakar, pengamat, dan akademisi.