KEJAHATAN di bidang perbankan adakalanya modus operandinya sederhana - walau diduga selalu berlatar sindikat di belakang tiap pembobolan itu. Contohnya, ketika muncul surat berharga (draft) palsu di BNI 1946 Cabang Menteng, Jakarta. Hingga pekan ini, dua tersangka yag masih meringkuk di tahanan Mabes Polri itu belum mau bicara. Dan dari siapa draft itu? Ceritanya bermula dari kedatangan seseorang bernama Muhammad Ali di BNI 1946 Cabang Menteng, 7 Desember lalu. Lelaki itu bermaksud menguangkan tiga lembar draft - masing-masing bernilai US$ 20 ribu. Ia menunjukkan surat kuasa atas nama Abdol Kodir. Petugas bank segera mengecek surat berharga keluaran United Malayan Banking Corporation (UMBC), Kuala Lumpur, itu ke Irving Trust Company (ITC), Jakarta. ITC, tempat penarikan dana, membenarkan nama Abdol Kodir sebagai pemilik draft tersebut. Sementara petugas menyiapkan pencairan dananya (hampir Rp 100 juta), Muhammad Ali minta dipercepat pelayanannya. "Tolonglah, Pak, cepat-cepat dicairkan. Nanti Bapak saya beri lima ribu dolar AS," kata lelaki itu. Tawaran itu dicurigai petugas. Terlebih sewaktu pencairan ditangguhkan, lelaki tadi pergi begitu saja. Sedangkan MBC menerangkan bahwa surat berharga itu dinyatakan hilang. Dan jika masih beredar, itu yang palsu. Sepuluh hari kemudian, datang lelaki lain mengurus pencairan. Ia membawa surat kuasa dari Muhammad Ali. Tapi pihak BNI 1946 dan polisi siap pula menjebak. Lelaki itu diringkus. "Dia orang suruhan yang dikorbankan," kata Letkol. De Frits, Kasat Idik Bank Mabes Polri. Menurut Frits, yang didampingi Kolonel Wresniwiro dari Dinas Penerangan dan Kaditserse Kolonel Koesparmono Irsan di Mabes Polri, lelaki itu hanya berharap imbalan lima ribu dolar AS. Karena itulah Muhammad Ali diciduk di sebuah hotel di Jakarta. Bagaimana surat berharga itu jatuh ke tangan Muhammad Ali masih samar. Menurut dia, pemalsuan tersebut dilakukannya sendiri. Padahal, kemungkinan draft dicuri dari pemiliknya oleh seseorang yang masih satu sindikat dengan Ali. Sindikat kejahatan bank? Menurut Ketua Perhimpunan Bank-Bank Swasta Nasional (Perbanas), I Nyoman Moena, tiap kejahatan perbankan yang bersifat administratif bukan yang fisik - dijalankan oleh suatu sindikat. "Pelakunya masing-masing bisa jadi tak saling kenal. Biasanya mereka melakukan tugas sesuai dengan keahliannya," ujar Nyoman Moena, 57 tahun. Beberapa anggota sindikat ada yang khusus membina hubungan baik dengan orang dalam bank. Ada pula sebagai pemodalnya. Juga ada yang ahli memalsu dokumen-dokumen bank. Orang yang pernah bekerja di suatu bank biasanya diajak bergabung. "Dalam prakteknya, salah seorang dijadikan nasabah bank yang akan menjadi sasaran pembobolan," ujar Nyoman Moena, yang juga Direktur PT Overseas Express Bank. Nama-nama palsu dan pengalihan hasil arahan ke bank lainnya agar tak mudah dilacak juga digunakan sindikat itu. Begitu juga perjanjian "tutup mulut", jika ada yang tertangkap. Contohnya, pembobolan Rp 1 milyar lebih di BBD Cabang Kebayoran Baru pada 24 Maret 1987. Dalam pada itu, menurut sumber TEMPO pelacakan dan penyidikan kasusnya tak pernah tuntas hingga ke pucuk sindikat tadi, seperti bobolnya BBD itu. Enam bulan sebelum kejadian, mereka sebagian sudah mencari calon pelaku dan pembuka rekeningnya. Sedangkan ketiga terdakwanya, Frits Mariangka, Anneke Mariangka, dan Onny Huwae, yang kini diperiksa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (TEMPO, 26 Desember 1987) diduga hanya pelaku di lapangan. Sedangkan "otak"-nya masih berkeliaran. Setidaknya ada dua nama dalam daftar polisi: Ramli Gani, 48 tahun, dan John Faisal Muhammad, 48 tahun - yang kini ditahan. Konon, mereka selalu muncul dalam percaturan sindikat tersebut. Sumber lain malah membenarkan bahwa Ramli terhitung sebagai sindikat pembobol bank, tetapi saat itu berstatus tahanan luar. Kemudian nama kedua orang ini disebut pula dalam kasus pemalsuan promes (promissory note, surat berharga untuk membayar sejumlah uang tertentu dan dapat diperjualbelikan) bernilai Rp 10 milyar di BN] 1946. Tahun lalu Mabes Polri berhasil mengungkap 14 kasus kejahatan bank dan menahan 15 orang pelakunya. Dan tentang Ramli Gani? Polisi membenarkan bahwa sejak 1983 namanya sering terkait dalam kasus pemalsuan promes. Ketika itu, kata polisi, Ramli menggunakan nama samaran Sutan Bagindo Putra Bungsu. Karena pemalsuan itu, ia ditahan bersama seorang keturunan Cina. Setelah 58 hari mendekam di tahanan, Ramli dilepas dengan jaminan dari istrinya - dan perkaranya ditolak kejaksaan: kekurangan bukti. Hingga kini Ramli belum bisa diciduk polisi. "Dia termasuk dalam daftar orang yang dicari," ujar Koesparmono. Promes palsu bikinan Ramli dipesan John Faisal Muhammad, yang kemudian dipasarkan bersama Malik Effendi dan Suparman. Biasanya sasaran "proyek" promes palsu mereka tak lain kalangan pengusaha - yang butuh tambahan modal untuk mengembangkan usaha. Dengan menjajakan promes itu, kelompok Ramli meminta uang persekot antara Rp 2 juta dan 5 juta. Pihak bank, yang dipalsu namanya dalam promes itu, hanya dirugikan dari segi nama baik - karena promes itu tak pernah dikeluarkan bank tersebut. "Lagi pula, bukannya hal yang mudah untuk mencairkan dana seperti tercantum dalam promesnya," kata sumber TEMPO di sebuah bank pemerintah. Ida Lubis, 43 tahun, membantah keras tuduhan terhadap Ramli Gani. "Itu tidak benar. Bapak tak mungkin ikut-ikutan urusan begitu. Itu cuma cerita buatan mereka yang mau menyusahkan Bapak," ujar wanita yang dinikahi Ramli Gani pada 1966 itu. Menurut ibu lima anak ini, suaminya sejak November lalu mengurus bisnis kayu lapis di Banjarmasin. Bagi istri dan anak-anaknya, Ramli Gani, yang berambut ikal dan berbadan tinggi itu, bukanlah orang yang suka berbuat macam-macam. "Bapak orang yang penyabar dan rajin beribadat," kata Nyonya Ida, di rumahnya di Slipi, Jakarta Barat. Dengan wajah muram, Nyonya Ida menganggap tudingan ke arah suaminya amat berlebihan. "Anda lihat saja, rumah pun kami mengontrak. Uang kuliah si sulung juga belum lagi terbayar. Bagaimana mungkin Bapak dituduh ikut-ikutan dan punya uang berlebih," ucap Nyonya Ida. Walau demikian, ada yang menyebut Ramli Gani itu tergolong "pucuk" sindikat kejahatan perbankan. "Ramli itu kecil, bukan aktor intelektualnya. Kejahatan perbankan yang kerap dilakukan si Sutan Bungsu masih gaya Melayu, seperti pemalsuan promes itu," kata sumber TEMPO di bank pemerintah tadi. H.S., M. Lubis, Sidartha P. & A. Thaha (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini