DILARANGNYA sebuah aliran memang tidak selalu berarti
berhentinya kegiatan aliran itu. Islan Jama'ah (juga dikenal
dengan nama Darul Hadis, sedang mereka sendiri lebih suka
menyebut Jama'ah Qur'an Hadis) dilarang Kejaksaan Agung segera
sesudah pemilu 1971. Tapi seperti dikatakan Jaksa Agung Ali Said
sendiri dalam dengar pendapat dengan Komisi III/DPR bulan
kemarin, aliran ini salah satu yang masih aktif di banyak
daerah. Orang juga tahu bahwa sementara imamnya sekarang ini ada
di Mekah (bahkan sering menyebarkan brosur kepada jemaah haji
kita), kegiatan Islam Jama'ah tetap ada misalnya saja di
Pekanbaru, Payakumbuh, Kediri (pusat), Karawang, Jakarta
sendiri, dan banyak lagi.
Dan dari Dumai, untuk TEMPO Ediruslan P. Amanriza juga
melaporkan salah satu kasus kegiatannya yang dihentikan oleh
pengadilan dengan tindakan hukum.
Ini menyangkut seorang bernama Zuhri, 27 tahun, asal Purworedjo,
Kedu. Oleh Pengadilan Negeri Bengkalis di Dumai, bulan kemarin
Zuhri dijatuhi vonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2
tahun, plus kewajiban memikul seluruh ongkos perkara. Menarik
bahwa Zuhri, yang dipersalahkan melanggar pasal-pasal 1, 2 dan 3
Penpres No. 1/1965, dalam sidang tak lupa menitipkan permintaan
maafnya kepada seluruh pengikut, atau siapa saja yang sudah
merasa susah karena kegiatannya.
Zuhri, selepas dari STM Purworedjo, dulu tinggal di Cempaka
Putih, Jakarta. Di situ ia berkenalan dengan lelaki bernama
Daldiri. Orang ini memberinya pelajaran agama sampai dirasa
cukup. Kemudian Zuhri berangkat ke Dumai -dan diterima bekerja
sebagai karyawan dock yard Pertamina Wilayah ll. Di sinilah ia
berda'wah. Terhitung sampai April tahun lalu, berhasil
mengumpulkan santri 20 orang, kebanyakan temanteman sesama
karyawan. Apa yang diajarkan Zuhri ini?
Dulu Golkar
Tentulah cara hidup yang baik, menyembah Tuhan dengan tekun dan
sebagainya. Hanya memang terdapat perbedaan yang tidak hanya
dinilai menonjol, melainkan juga runcing. Dan ini memang khas
Islam Jama'ah, organisasi pesantren yang berpusat di Pondok
Burengan, Kediri, dan yang imamnya (bernama KH Nurhasan
Al'Ubaidah) mengklaim dirinya sebagai satusatunya insan di
Indonesia yang berhak memberi ijazah untuk mengajar agama.
Menurut dia, tak seorang pun boleh mengajar tanpa "ijazah" itu,
dan tak-seorang akan selamat tanpa melalui jama'ahnya, yang
diatur secara hirarkis sampai kepada para amir di daerah-daerah.
Perkumpulan ini juga gigih mengumpulkan shadaqah dari para
pemeluknya, bahkan cara pengajaran agamanya umumnya
"disederhanakan" untuk memberi tekanan pada perbuatan nyata
--meskipun imamnya di Kediri dikenal menggunakan semacam ilmu
gaibgaiban, dan menjelang pemilu 1971 dulu gencar sekali
mempropagandakan Golkar.
Adapun orang di Dumai itu mencatat beberapa ajaran Zuhri
selebihnya. Misalnya: khotbah Jum'at harus tetap dengan bahasa
Arab, dan karena itu semua ibadat Jum'at (yang khotbahnya
berbahasa Indonesia) tidak sah. Bekas sentuhan, dalam keadaan
basah, dengan orang dari lain golongan, harus dicuci tiga kali.
Tidak sah shalat bermakmum orang bukan warga Islam Jama'ah.
Mereka yang belum mengerti arti bacaan shalat, belum wajib
shalat. Pernikahan .model KUA, yang ijab-kabulnya tidak pakai
bahasa Arab harus diulang. Setiap pengikut harus mematuhi
perintah amir (wakil imam di daerah) kecuali bila amir
menganjurkan maksiat. Memakai celana panjang yang menutup mata
kaki, haram. Yang masuk sorga hanyalah umat Islam Jama'ah. Semua
materi tersebut diakui Zuhri kepada TEMPO.
Menarik bahwa materi celana homprang itu (yang tidak menutup
mata kaki) tidak terdengar menjadi ajaran Islam Jama'ah dari
dulu -- setidak-tidaknya sebelum 1971. Tapi para pengikut di
Dumai itu memang telah membuktikan mereka semuanya memakai
celana komprang.
Meski begitu Ben Hutapea, Kepala Bagian Umum Pertamina Wilayah
II, menarik kesimpulan dari sidang pengadilan bahwa Zuhri
sebenarnya bukan orang militan -- "dan kelihatan tidak mendalami
masalah agamanya," katanya. Tetapi, dan ini juga menjadi ciri
orang Jama'ah: hadis Nabi yang mengatakan "Sampaikanlah ajaran
dariku walaupun sepotong (seayat)," mereka pegang kuat-kuat. Dan
karena itu anakanak muda yang sudah sedikit dibimbing gurunya,
langsung saja mengajar -- walaupun pas-pasan.
Tetapi bila Ben Hutapea tak memandang Zuhri militan (walaupun
"mengganggu ketenteraman jalannya perusahaan, karena melibatkan
sampai 17 karyawan"), Dandim 0303 Dumai Kol Sartidjo senang
sekali mencap mereka itu "mau mendirikan negara Islam." Sartidjo
malah menganggap nama "gerakan" itu 'Islam Sejati'. "Tendensi
politiknya jelas, dan amirnya itu tidak menyetujui Pancasila,"
katanya. Zuhri sendiri menjawab dengan lesu ketika ditanya
tentang itu. "Yang saya katakan, Pancasila itu bagus," katanya
kepada TEMPO. Adapun Kepala Kejaksaan Negeri Dumai, Sawarto SH,
menilai kegiatan itu sebagai hanya "penafsiran yang salah
terhadap Ajaran Islam, bukan penodaan seperti yang dinyatakan
dalam pemeriksaan." Tapi bagaimana "penafsiran yang salah" itu
ketahuan?
Ada seorang karyawan dock yard juga, bernama Rusdi Kasbari.
Rusdi ini punya bini, dan bininya ini-ikut ajaran Zuhri. Eh,
sudah dua bulan sang bini selalu menolak bila diajak tidur.
Rusdi penasaran. Dalam keadaan pening campur ngebet, ia lantas
lapor kepada sepnya di Pertamina. Sang atasan bengong -- dan
masa mau mencampuri rahasia rumah tangga orang?
Akhirnya Rusdi mengadukan ihwal itu kepada guru bininya, Zuhri
itu. Ternyata, mengapa si isteri menolak diajak tidur adalah
lantaran sang amir (Zuhri) berfatwa bahwa mereka belum
suami-isteri -- walaupun sudah nikah di KUA. Maka si amir pun
berbaik hati menikahkan mereka kembali, dan sejak itu hubungan
Rusdi laki-bini jadi mesra.
Kodim Membongkar
Tapi para pimpinan Pertamina yang penasaran. Mereka lalu tahu
kegiatan itu -- dan bersama Muspida memanggil seluruh pengikut.
Di situ Zuhri dan kawan-kawan masih diberi kesempatan "kembali"
-- dan Dandim pun menyodorkan surat perjanjian, bahwa Zuhri tak
akan meneruskan ajarannya. Tapi apa lacur. Setelah sejak April
tahun lalu mereka berhenti, di bulan Oktober Seksi I Kodim
berhasil membongkar keaktifan mereka yang rupanya terus
berlanjut. Karena itulah terpaksa mereka berurusan dengan
pengadilan.
Pertamina segera saja membebas tugaskan ke-7 karyawannya untuk
sementara, selama pengusutan berlangsung -- "tapi gaji tetap
dibayar," kata Ben Hutapea. Sekarang, setelah semua beres, dan
mereka sendiri menyatakan penyesalan, mereka diterima kembali.
"Soalnya kami ini memang ingin mengaji," kata Suhadi dan Suparno
yang ikut menjadi santri Zuhri. Karena itulah R.H. Subiyanto
dari Pertamina Pusat, yang menyempatkan diri datang untuk acara
"penerimaan kembali" itu, memesankan agar Badan Da'wah Islam
Karyawan yang sudah pernah ada di situ, diaktifkan kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini