GURU adalah kunci dalam proses belajar-mengajar. Betapapun
baiknya prasarana pendidikan yang lain kurikulum, gedung,
loboratorium dan yang lain -- apabila guru tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, dapat melencengkan pelaksanaan pendidikan.
Itulah yang mendorong Mohamad Nur, dosen FKIT (Fak. Keguruan
Ilmu Teknologi) IKIP Surabaya menulis disertasi tentang
kemampuan akademik mahasiswa IKIP, calon guru. Lingkup
penelitiannya memang terbatas di empat IKIP Negeri
(Ujungpandang, Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung) dan
respondennya terbatas pula mahasiswa jurusan ilmu eksakta
(Biologi, Fisika, dan Kimia). Mohamad Nur di IKIP Bandung awal
Juni lalu dinyatakan lulus dengan "sangat memuaskan" meraih
gelar doktor.
Yang tidak memuaskan, malahan mencemaskan mungkin, adalah
kesimpulan doktor baru itu. "IKIP belum berhasil dengan baik
menyiapkan calon guru yang competent, cakap, atau mampu,"
katanya kepada TEMPO.
Dalam disertasi setebal 357 halaman itu, dia menyimpulkan bahwa
responden belum menunjukkan penguasaan komprehensif. Misalnya
dalam merumuskan masalah, merencanakan eksperimen. Juga metode
inkuiri -- memancing kegairahan siswa untuk bertanya, mencari,
dan menyelidiki sendiri -- tak begitu dikuasai responden.
Adapun sebab-musabab itu semua, menurut prang kelahiran Semarang
tahun 1942 itu, "proses belajar-mengajar di IKIP kurang
memadai." Satu hal pokok yang sangat mempengaruhi hal itu ialah
kualitas mahasiswa memang kurang. Namun cepat-cepat
ditambahkannya pula, "mahasiswa yang pandai belum tentu menjadi
guru yang baik."
Maka akhir-akhir ini timbul bermacam tafsiran, ketika tes Proyek
Perintis (PP) IV, tes masuk IKIP, menyimpang dari kebiasaan,
yaitu dilaksanakan awal Juni lalu, mendahului PP I dan III.
Sementara orang menduga hal itu untuk menjaring calon mahasiswa
yang benar-benar berminat menjadi guru dan berkemampuan baik.
Dan betul, bukan rahasia lagi, ketika tes PP IV dulu dijadwalkan
belakangan, sebagian pesertanya adalah lulusan SMTA yang tidak
diterima di PP I dan III.
Tapi itu dibantah Prof. Ir. S. Pramoetadi, Direktur Pembinaan
Sarana Akademis. Bila PP IV dilaksanakan setelah PP III yang
berakhir 17 Juni, artinya tes itu akan dilaksanakan di hari
puasa. "Maka diajukan," tambahnya. Memang ada "keuntungan yang
saya sendiri belum pasti benar, ialah bagi calon yang memang
ingin menjadi guru, bisa tenang mengerjakan soal tes."
Masalahnya sekarang benarkah calon dan mahasiswa lKlP, yang
untuk tahun ini hasil tes PP IV akan diumumkan Sabtu ini atau
awal pekan depan, adalah mahasiswa "kelas II?" Bantahan sengit
muncul dari sana-sini. Dr. Prayitno, dosen ahli di Fak. Ilmu
Pendidikan IKIP Padang, mengatakan IKIP masih mempunyai
kesempatan memilih dari 10 ribu calon, misalnya. "Apa tidak
mungkin mendapat seperempatnya saja yang bermutu?", katanya.
St. Vembriarto, Rektor IKIP Yogya, secara tak langsung
mengatakan bahwa lulusan SMTA yang masuk IKIP memang datang dari
ranking bawah. Tahun lalu, misalnya, tersedia tempat untuk 90
calon di Fak. Keguruan Ilmu Eksakta IKIP Yogya, tapi hanya 10
orang yang datang mendaftar. "Terpaksa kami panggil ranking di
bawahnya untuk memenuhi target," katanya. Itu masih pula harus
berkurang, sebab setelah satu-dua tahun kuliah di IKIP ada saja
yang pergi lagi mengikuti tes PP I atau III. Dan ini diduga
terjadi juga di sembilan IKIP Negeri yang lain.
Lebih berterus terang adalah Dr. Ir. Dali S. Naga, Ketua Lembaga
Penelitian Pendidikan IKIP Jakarta. "Penghasilan yang rendah dan
proses pengangkatan guru yang berlarut-larut merupakan faktor
yang ikut mengurangi minat anak-anak menjadi guru," tuturnya.
Dengan kata lain, sebagian mahasiswa IKIP hanya "pelarian" saja.
Bila ada kesempatan mereka lebih suka pindah ke universitas.
Seorang mahasiswa di IKIP Padang berterus-terang: "Setelah tak
diterima di Universitas Andalas, saya masuk IKIP, ketimbang
nganggur." Juga seorang mahasiswa Jurusan Antropologi di IKIP
Medan, mengatakan: "Saya tak yakin bisa masuk PP I, maka saya
kuliah di sini. Tapi belum tentu saya mau jadi guru nanti."
Tapi IKIP tak tinggal diam. Sejak 1979 ada usaha pembaharuan.
Sebelum tahun itu pola pendidikan di IKIP tak terarah: para
lulusan mau menjadi guru atau tidak, terserah. Bahkan kurikulum
tak memisah antara yang akan menjadi guru dan yang akan menjadi
ahli kependidikan.
KINI, proses usulan untuk pengangkatan guru dilakukan juga oleh
IKIP. Selain dijalankan kurikulum inti, ketentuan mata kuliah
minimal kini jelas diperinci untuk mahasiswa yang diharapkan
menjadi guru, dan yang nantinya menjadi ahli kependidikan untuk
melakukan riset, misalnya. Juga pelaksanaan program pengalaman
lapangan diintensifkan.
Sudah terbuka pula jalan pintas. Seperti program diploma,
"terutama untuk mengisi kebutuhan akan guru yang makin
membesar," tutur Hamdan Mansoer, Sekretaris Konsorsium
Kependidikan Ditjen Pendidikan Tinggi. Hasilnya memang belum
jelas. Tapi pernah (tahun 1978) dilakukan satu studi tentang
minat anak-anak SMTA menjadi guru. Dari 7 ribu responden
(terdiri dari 4 ribu siswa kelas III SMA dan sisanya mahasiswa
IKIP tahun pertama dan kedua) sekitar 40% menyatakan ingin
menjadi guru. Program diploma diduga membuka kesempatan bagi
mereka.
Sementara itu mungkin ada cahaya terang bila semua mahasiswa
IKIP seperti Slamet Abdurachman. Mahasiswa IKIP Malang itu tak
pernah ikut tes PP I & III. Ia memang bemiat menjadi guru, dan
bersedia ditempatkan di mana pun. Tentang soal imbalan yang
diterima guru sekarang, pemuda itu berkata: "Orang kini memang
suka mengukur segala sesuatu dari sudut materi. Padahal guru
suatu pekerjaan mulia, membantu orang lain menjadi orang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini