Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kenapa tes PP IV duluan

Dosen FKIT IKIP Surabaya, Mohamad Nur, menulis disertasi tentang kemampuan akademik mahasiswa IKIP calon guru. disimpulkan bahwa IKIP belum berhasil menyiapkan calon guru yang kompeten. (pdk)

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GURU adalah kunci dalam proses belajar-mengajar. Betapapun baiknya prasarana pendidikan yang lain kurikulum, gedung, loboratorium dan yang lain -- apabila guru tidak berfungsi sebagaimana mestinya, dapat melencengkan pelaksanaan pendidikan. Itulah yang mendorong Mohamad Nur, dosen FKIT (Fak. Keguruan Ilmu Teknologi) IKIP Surabaya menulis disertasi tentang kemampuan akademik mahasiswa IKIP, calon guru. Lingkup penelitiannya memang terbatas di empat IKIP Negeri (Ujungpandang, Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung) dan respondennya terbatas pula mahasiswa jurusan ilmu eksakta (Biologi, Fisika, dan Kimia). Mohamad Nur di IKIP Bandung awal Juni lalu dinyatakan lulus dengan "sangat memuaskan" meraih gelar doktor. Yang tidak memuaskan, malahan mencemaskan mungkin, adalah kesimpulan doktor baru itu. "IKIP belum berhasil dengan baik menyiapkan calon guru yang competent, cakap, atau mampu," katanya kepada TEMPO. Dalam disertasi setebal 357 halaman itu, dia menyimpulkan bahwa responden belum menunjukkan penguasaan komprehensif. Misalnya dalam merumuskan masalah, merencanakan eksperimen. Juga metode inkuiri -- memancing kegairahan siswa untuk bertanya, mencari, dan menyelidiki sendiri -- tak begitu dikuasai responden. Adapun sebab-musabab itu semua, menurut prang kelahiran Semarang tahun 1942 itu, "proses belajar-mengajar di IKIP kurang memadai." Satu hal pokok yang sangat mempengaruhi hal itu ialah kualitas mahasiswa memang kurang. Namun cepat-cepat ditambahkannya pula, "mahasiswa yang pandai belum tentu menjadi guru yang baik." Maka akhir-akhir ini timbul bermacam tafsiran, ketika tes Proyek Perintis (PP) IV, tes masuk IKIP, menyimpang dari kebiasaan, yaitu dilaksanakan awal Juni lalu, mendahului PP I dan III. Sementara orang menduga hal itu untuk menjaring calon mahasiswa yang benar-benar berminat menjadi guru dan berkemampuan baik. Dan betul, bukan rahasia lagi, ketika tes PP IV dulu dijadwalkan belakangan, sebagian pesertanya adalah lulusan SMTA yang tidak diterima di PP I dan III. Tapi itu dibantah Prof. Ir. S. Pramoetadi, Direktur Pembinaan Sarana Akademis. Bila PP IV dilaksanakan setelah PP III yang berakhir 17 Juni, artinya tes itu akan dilaksanakan di hari puasa. "Maka diajukan," tambahnya. Memang ada "keuntungan yang saya sendiri belum pasti benar, ialah bagi calon yang memang ingin menjadi guru, bisa tenang mengerjakan soal tes." Masalahnya sekarang benarkah calon dan mahasiswa lKlP, yang untuk tahun ini hasil tes PP IV akan diumumkan Sabtu ini atau awal pekan depan, adalah mahasiswa "kelas II?" Bantahan sengit muncul dari sana-sini. Dr. Prayitno, dosen ahli di Fak. Ilmu Pendidikan IKIP Padang, mengatakan IKIP masih mempunyai kesempatan memilih dari 10 ribu calon, misalnya. "Apa tidak mungkin mendapat seperempatnya saja yang bermutu?", katanya. St. Vembriarto, Rektor IKIP Yogya, secara tak langsung mengatakan bahwa lulusan SMTA yang masuk IKIP memang datang dari ranking bawah. Tahun lalu, misalnya, tersedia tempat untuk 90 calon di Fak. Keguruan Ilmu Eksakta IKIP Yogya, tapi hanya 10 orang yang datang mendaftar. "Terpaksa kami panggil ranking di bawahnya untuk memenuhi target," katanya. Itu masih pula harus berkurang, sebab setelah satu-dua tahun kuliah di IKIP ada saja yang pergi lagi mengikuti tes PP I atau III. Dan ini diduga terjadi juga di sembilan IKIP Negeri yang lain. Lebih berterus terang adalah Dr. Ir. Dali S. Naga, Ketua Lembaga Penelitian Pendidikan IKIP Jakarta. "Penghasilan yang rendah dan proses pengangkatan guru yang berlarut-larut merupakan faktor yang ikut mengurangi minat anak-anak menjadi guru," tuturnya. Dengan kata lain, sebagian mahasiswa IKIP hanya "pelarian" saja. Bila ada kesempatan mereka lebih suka pindah ke universitas. Seorang mahasiswa di IKIP Padang berterus-terang: "Setelah tak diterima di Universitas Andalas, saya masuk IKIP, ketimbang nganggur." Juga seorang mahasiswa Jurusan Antropologi di IKIP Medan, mengatakan: "Saya tak yakin bisa masuk PP I, maka saya kuliah di sini. Tapi belum tentu saya mau jadi guru nanti." Tapi IKIP tak tinggal diam. Sejak 1979 ada usaha pembaharuan. Sebelum tahun itu pola pendidikan di IKIP tak terarah: para lulusan mau menjadi guru atau tidak, terserah. Bahkan kurikulum tak memisah antara yang akan menjadi guru dan yang akan menjadi ahli kependidikan. KINI, proses usulan untuk pengangkatan guru dilakukan juga oleh IKIP. Selain dijalankan kurikulum inti, ketentuan mata kuliah minimal kini jelas diperinci untuk mahasiswa yang diharapkan menjadi guru, dan yang nantinya menjadi ahli kependidikan untuk melakukan riset, misalnya. Juga pelaksanaan program pengalaman lapangan diintensifkan. Sudah terbuka pula jalan pintas. Seperti program diploma, "terutama untuk mengisi kebutuhan akan guru yang makin membesar," tutur Hamdan Mansoer, Sekretaris Konsorsium Kependidikan Ditjen Pendidikan Tinggi. Hasilnya memang belum jelas. Tapi pernah (tahun 1978) dilakukan satu studi tentang minat anak-anak SMTA menjadi guru. Dari 7 ribu responden (terdiri dari 4 ribu siswa kelas III SMA dan sisanya mahasiswa IKIP tahun pertama dan kedua) sekitar 40% menyatakan ingin menjadi guru. Program diploma diduga membuka kesempatan bagi mereka. Sementara itu mungkin ada cahaya terang bila semua mahasiswa IKIP seperti Slamet Abdurachman. Mahasiswa IKIP Malang itu tak pernah ikut tes PP I & III. Ia memang bemiat menjadi guru, dan bersedia ditempatkan di mana pun. Tentang soal imbalan yang diterima guru sekarang, pemuda itu berkata: "Orang kini memang suka mengukur segala sesuatu dari sudut materi. Padahal guru suatu pekerjaan mulia, membantu orang lain menjadi orang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus