Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK lama setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaduk-aduk 28 rekening di Mandiri, kini giliran Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara yang mengirimkan daftar 34 debitor macet ke DPR. Rabu dua pekan lalu, Departemen Keuangan mengirimkan daftar itu ke Komisi Keuangan dan Perbankan. Sederet nama perusahaan, berikut jajaran direksi dan komisaris, menghiasi lembar demi lembar dokumen.
Sejumlah nama "selebriti" terselip di antara debitor macet itu. Ada nama Ketua Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir, Komisaris Utama Ika Chirza Putra yang memiliki kredit macet Rp 175,6 miliar, dan mantan anggota MPR Oesman Sapta, yang juga direktur Byoq Utama, yang mempunyai kredit macet US$ 23,6 juta, lalu konglomerat Sudwikatmono, yang menjadi komisaris utama Gunung Agung, dengan kredit macet Rp 246 miliar.
Perusahaan-perusahaan itu terjerat dalam kredit macet PT Bank Mandiri, sehingga dialihkan penagihannya ke Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara. "(Perusahaan itu) sudah tidak ada harapan, prospeknya diragukan dan ada masalah hukum," kata direktur dan juru bicara Bank Mandiri, Nimrod Sitorus. Total utang 34 debitor ini mencapai Rp 2,34 triliun dan US$ 226,97 juta. Baru dibayar Rp 58,8 miliar dan US$ 1,18 juta.
Dokumen yang salinannya diperoleh Tempo menyebutkan, PT Winner Garment dan PT Gunung Agung dalam status pailit. Yang barang jaminannya sudah ludes juga ada, misalnya PT Ekatama Jaya Sentosa, PT Indowinner Sepatuprima, dan PT Halimas Sakti Sejati. Bahkan PT Amputraco sudah gulung tikar sejak 1996. PT Djakarta Lloyd, salah satu perusahaan milik negara, ikut-ikutan disebut.
Menurut laporan berjudul Outstanding Piutang Negara Perbankan Bank Mandiri Jumlah Utang di Atas Rp 50 Miliar itu, ada kredit macet yang mengendap sejak 1995. Tapi hingga saat ini belum juga selesai penanganannya oleh Ditjen Piutang dan Lelang Negara. Kalaupun sudah pada tahap surat perintah penjualan barang sitaan atau lelang, barang jaminannya ternyata bodong.
Dirjen Piutang dan Lelang Negara, Machfud Sidik, mengatakan lambannya penanganan piutang mandek itu karena tak tersisa sekepeng pun agunan milik debitor. Belum lagi perusahaan itu dalam status pailit, atau pemiliknya tak ketahuan rimbanya. Contohnya PT Ekatama Jaya Sentosa. Utang macet Ekatama sudah sejak 1995. Namun hingga kini pemilik maupun pengurus Ekatama tak pernah menghadap Ditjen Piutang dan Lelang Negara.
Lembaga Piutang dan Lelang Negara, kata Machfud, juga punya waktu 30 tahun sejak dialihkan dari bank untuk menagih para debitor. Tenggat ini yang membuat seolah-olah penanganannya lambat. "Kami masih mau cari dulu (buat perusahaan-perusahaan yang sudah habis jaminannya), mungkin masih ada sisa-sisa aset mereka," kata Machfud. Dia menambahkan, jika batas kedaluwarsa habis, piutang itu harus dihapus tagih.
Selain 34 debitor itu, ada sekitar 160 ribu berkas kredit macet yang ditangani Ditjen Piutang dan Lelang Negara senilai Rp 16 triliun. Piutang ini, kata Machfud, tergolong sampah karena tak bisa ditagih lagi. Para pengutang itu kini masuk daftar hitam tak boleh menerima kredit dari bank. Sebagian besar debitor menerima pinjaman pada periode 1997-2002, yang usahanya bangkrut karena krisis ekonomi.
Namun Machfud menegaskan, Menteri Keuangan baru memberikan lampu hijau hapus tagih tunggakan sampai Rp 10 miliar. Orang nomor satu di lembaga kasir negara ini memiliki wewenang menghapus maksimal Rp 10 miliar. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Untuk piutang sampai Rp 100 miliar, proses hapus tagih harus mendapat persetujuan presiden. Jika di atas Rp 100 miliar, diperlukan ketukan palu DPR.
Menteri Keuangan Jusuf Anwar mengatakan, kredit macet yang dihapus hanya untuk usaha kecil dan menengah. Tujuannya, menurut Jusuf, untuk memulihkan dan menggerakkan kembali sektor yang sempat terpuruk oleh krisis ekonomi. Kebijakan ini sudah dituangkan dalam surat keputusan yang ditekennya bulan lalu. Usul perusahaan mana saja yang akan dihapuskan utangnya datang dari bank asal. "Saya yang menyetujui," katanya.
Saat ini pemerintah juga masih mencari cara efektif untuk menangkal penyalahgunaan penghapusan itu oleh debitor nakal. Misalnya, melakukan kajian dan penyaringan secara ketat. "Kalau ada nama beken, akan kami pertanyakan lagi ke banknya," kata Machfud. "Kalau disorakin orang (nama-nama beken itu), bisa dibalikin lagi ke banknya."
Machfud menegaskan, belum sedikit pun terpikir pemerintah akan menghapus kredit macet para pengutang kakap. "Dari 34 perusahaan yang namanya sudah kita serahkan ke DPR, juga tak bakal dihapus," ujarnya. Kalaupun harus berandai-andai piutang itu bakal diputihkan, pemerintah tidak hanya memperhitungkan kondisi perusahaan dan ekonomi secara keseluruhan, tapi juga mempertimbangkan aspek politisnya.
Berbagai cara, kata Machfud, akan ditempuh untuk menagih utang para debitor itu, meskipun tingkat pengembalian piutang itu rata-rata cuma 15 persen. Namun pemerintah belum memikirkan akan melakukan paksa badan bagi mereka yang menolak bayar, meski peraturan membuka peluang itu. "Cukup dicekal saja, itu sudah membuat mereka takut," katanya. Machfud mencontohkan jajaran direksi dan komisaris PT National Air Charter yang sudah dicekal.
Machfud menjelaskan, nama-nama debitor yang diserahkan bukan untuk meminta restu hapus tagih dari DPR. Tapi sebagai jawaban atas permintaan salah satu anggota Komisi XI, Fuad Bawazier, dalam rapat kerja pada 19 Mei lalu. Ketua Komisi Paskah Suzetta membenarkan pernyataan mitra kerjanya itu. "Sesuatu yang wajar kalau kami meminta data semacam itu," kata Paskah.
Bank Mandiri, menurut Nimrod Sitorus, mengingatkan agar utang para debitor itu terus ditagih oleh Ditjen Piutang dan Lelang Negara. Soalnya, hapus buku (write off) hanya istilah akunting. "Daripada bukunya jorok," katanya. Tapi utangnya tetap dicatat di luar pembukuan. Lagi pula, Nimrod menambahkan, aturan mengharuskan bank-bank pelat merah hapus buku dulu sebelum diputihkan. Berbeda dengan bank-bank swasta, yang bisa langsung melakukan hapus tagih.
Menurut Nimrod, manajemen juga sudah mendapat restu dari pemegang saham untuk memutihkan kredit macet yang sudah hapus buku kepada 11.529 debitor senilai Rp 2 triliun. Pertama, hapus tagih sebesar 50 persen bagi debitor dengan utang sampai Rp 5 miliar. Kedua, potongan 50-75 persen atas pengutang yang menjadi obyek asset bond swap dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional. "Terserah pemerintah, mana yang mau disetujui," ujarnya.
Rencana hapus tagih Bank Mandiri itu mendapat tentangan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil pemeriksaan lembaga ini, yang diserahkan ke DPR pada pertengahan Maret lalu, menyebut program itu tidak dapat dilaksanakan karena belum ada landasan perundang-undangan yang mengatur dengan jelas. Bank BNI dan Bank BRI juga setuju menghapus utang nasabahnya, masing-masing Rp 2 triliun dan Rp 500 miliar.
Soetrisno Bachir, yang namanya tercatat dalam dokumen itu, mengatakan ia tidak akan lari dari tanggung jawab untuk membayar tunggakan utangnya. Ika Chirza Putra baru membayar Rp 2,43 miliar, masih berutang Rp 175,59 miliar. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara sudah melayangkan surat peringatan ke Soetrisno. Saat ini masih dibicarakan skema pembayarannya.
Menurut Soetrisno, kredit macet itu sebenarnya milik almarhum abangnya, Kamaluddin Bachir. Lantaran Kamaluddin meninggal, utang itu menjadi tanggung jawab ahli warisnya. Namun, karena ahli waris Kamaluddin masih anak-anak, beralihlah kredit mandek itu ke Soetrisno. "Semua masalah almarhum, sayalah yang akan bertanggung jawab dan menyelesaikannya," ujar bos Grup Ika Muda ini.
Stepanus S. Kurniawan, Bagja Hidayat, Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo