Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Tak Tanggap Maka Terkejut

Pengucuran kredit kini diawasi ekstraketat. Bank setuju dengan sejumlah catatan.

6 Juni 2005 | 00.00 WIB

Tak Tanggap Maka Terkejut
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIM rontok itu mungkin segera tiba. Bank Indonesia meminta bank menyesuaikan neracanya dengan Peraturan Bank Indonesia No. 7 Tahun 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, pekan lalu. Banyak bankir kaget dengan peraturan yang sudah keluar Januari lalu itu.

Mereka tak menyangka dampaknya cukup besar karena bisa menurunkan keuntungan dan rasio kecukupan modal, sekaligus melambungkan kredit seret (non-performing loan/NPL). Deputi Gubernur BI, Siti Fadjrijah, mengatakan peraturan itu dibuat agar bank lebih berhati-hati.

Kesan ekstra-prudent sangat terasa pada konsep one debtor yang mengharuskan kolektibilitas kredit diseragamkan. Jika satu debitor mendapat pinjaman dari beberapa bank, kreditnya harus menggunakan status terendah. "Kalau ada satu bank menyatakan kredit itu kolektibilitas empat (diragukan), bank lain yang memberi kolektibilitas satu (lancar) harus menurunkan menjadi empat," kata Siti.

Penetapan batas waktu untuk menentukan apakah suatu pinjaman masuk kategori lancar atau seret juga diperpendek. Sebelumnya, kredit dianggap masuk kategori kurang lancar (kolektibilitas tiga) jika menunggak pembayaran cicilan 90-180 hari. Kini diperpendek menjadi hanya 90-120 hari. Sementara sebelumnya kredit dianggap macet kalau menunggak lebih dari 270 hari, sekarang cuma 180 hari.

Tak aneh jika banyak pinjaman yang bergeser ke kategori di bawahnya. Bank Mandiri, yang sudah menggunakan peraturan itu, terkena dampak besar, meski belum seluruh aturan diadopsi. Sebab, ada sejumlah informasi yang belum diperoleh, antara lain informasi tentang debitor di bank lain, sehingga Mandiri belum bisa menentukan posisi debitor yang juga mendapat pinjaman dari bank lain.

Dengan semua catatan itu, pada periode Januari-Maret, laba bersih Bank Mandiri melorot 70,2 persen menjadi Rp 519 miliar. Nilai utang debitor korporasi dan komersial yang diturunkan (downgrade) dalam tiga bulan itu mencapai Rp 11,2 triliun. Jangan kaget jika rasio kredit seret kotor Mandiri menggelembung menjadi 17,8 persen dari periode sebelumnya yang 7,1 persen. Rasio kredit seret bersihnya 10,3 persen, jauh di atas ambang yang ditetapkan bank sentral, yakni lima persen.

Meski kaget, para bankir umumnya bisa menerima peraturan itu. Direktur Utama BNI, Sigit Pramono, mengatakan peraturan itu bagus sekali untuk mengawasi bank. Persoalannya, tidak ada sosialisasi atau diskusi sebelum peraturan ekstraketat itu diberlakukan. Dia mengakui bank punya salah juga, yaitu tidak tanggap ketika Bank Indonesia mengeluarkannya pada Januari lalu. "Baru ketika diadopsi Maret 2005, kita terkejut," katanya.

Sigit melihat peraturan itu sangat kaku bagi bank-bank di Indonesia yang baru saja melewati masa krisis yang hebat. Kalau melihat debitor bank yang terbagi dalam tiga kluster, perlu ada keluwesan dalam penerapannya. Terutama soal konsep one debtor yang tidak cocok digunakan di Indonesia karena ekonominya belum pulih betul.

Kelompok itu adalah debitor yang sebelum, ketika, dan sesudah krisis memang tidak bermasalah. Golongan lainnya adalah debitor yang utangnya direstrukturisasi. Dan kelompok terakhir adalah pengutang yang masuk kembali ke bank setelah dibeli dari BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Dia mencontohkan kredit Raja Garuda Mas (RGM).

Di BNI, kredit grup ini termasuk lancar. Prospek usahanya bagus, kondisi keuangan baik, dan perusahaan milik Sukanto Tanoto ini bisa membayar utangnya. Karena itu, BNI memasukkannya dalam kategori lancar. Namun, ternyata ada satu bank yang terlibat dalam sindikasi kredit itu mengelompokkan utangnya dalam kategori lima alias macet. "Masa, kami harus mengikuti bank lain," katanya. Bagi BNI, jika aturan BI diikuti, kredit RGM mesti di-downgrade, jadi macet. Akibatnya, rasio kredit seret BNI akan terseret ke bawah.

Karena dampaknya besar, Sigit meminta Bank Indonesia memberi beberapa pengecualian atau meluweskan penerapannya. Kalau tidak, peraturan ekstraketat itu bisa membuat kucuran kredit makin seret, bahkan stagnan. Konsep one debtor membuat kucuran kredit baru, jika terkait dengan grup yang kreditnya macet, harus dicadangkan. "Ini ibarat kita sakit berat, dokter menyuruh minum obat, diet, dan olahraga sekaligus. Akhirnya lemas," kata Sigit. Namun, para bankir memang tak punya pilihan selain mengikuti aturan yang mengadopsi praktek perbankan internasional Basel II, yang jauh lebih berhati-hati, meski waktunya dianggap belum tepat. Sigit mengatakan, BNI belum menerapkan peraturan itu dalam hitungan laba-ruginya per Maret 2005. Hal itu dilakukan BNI karena bank terbesar kedua di Indonesia itu belum mengetahui kolektibilitas debitor di bank lain.

Informasi dari Bank Indonesia juga tak seketika bisa didapat. Dengan informasi belum sempurna itu, BNI baru bisa membuat beberapa simulasi dari kondisi yang terjelek hingga yang terbaik. Skenario terjelek, kata Sigit, kredit seret kotor bisa naik dari 5,5 persen pada laporan keuangan Maret 2005, yang belum disesuaikan, menjadi 7-9 persen. "Bahkan bisa sampai 10 persen," katanya.

Keuntungan bersih mungkin akan turun Rp 63 miliar, akibat pencadangan menggelembung, menjadi Rp 848 miliar. Menurut Sigit, rasio kredit seret yang naik akan diatasi dengan melakukan write-off (mengeluarkannya dari neraca bank) atau melakukan ekspansi kredit.

Bagi Bank Permata, benturannya tak sekeras itu. Direktur Bank Permata, Elvyn G. Massasya, mengatakan banknya lebih banyak mengalirkan kredit kepada usaha menengah kecil. Sebesar 67 persen kredit bank ini mengalir ke kelompok usaha itu dengan nilai maksimum Rp 15 miliar. Bank berlogo berlian ini juga sangat konservatif dengan menerapkan provisi besar.

Sementara Bank Indonesia mewajibkan pencadangan 100 persen untuk kredit macet (kategori lima), Bank Permata mematok angka sekitar 200 persen. Wajar kalau pengaruhnya tak signifikan. Apalagi, porsi kredit seret bersih Permata cuma 1,3 persen. "Angka kotornya 3,3 persen, masih di bawah lima persen," kata Elvyn.

Peraturan BI itu hanya berakibat pada provisi yang mengecil. Dia berharap laba bersih tahun ini juga tidak akan berkurang banyak. Elvyn mengatakan, banknya bisa menerima konsep penyeragaman kolektibilitas debitor. Hanya, katanya, sebaiknya BI memberi waktu setahun bagi bank untuk melakukan penyesuaian, karena kondisi debitor di tiap bank berbeda. Itu pun mestinya hanya berlaku bagi kredit yang dibiayai bersama sejumlah bank, atau melalui kredit sindikasi.

Sementara Sigit dan Elvyn setuju mengadopsi peraturan itu dengan catatan, Bank Central Asia mengaku tak punya masalah. Direktur Keuangan BCA, Yahya Setiaatmadja, kepada Maria Ulfah dari Tempo mengatakan kredit bermasalah BCA hanya 1,5 persen. Dia juga setuju kolektibilitas debitor diseragamkan. "Mekanismenya saja yang diatur," katanya.

Siti mengatakan belum punya data komplet mengenai dampak peraturan itu. Apalagi, baru Bank Mandiri yang berani menerapkan aturan baru ini. Bank Indonesia, kata Siti, akan memantau setiap bank melalui sistem informasi debitor. Dia berharap semua bank sudah mengadopsinya dalam laporan keuangan triwulan kedua tahun ini. Pada saat itu, mungkin sudah akan terlihat mana bank yang bakal menghadapi kesulitan, mana bank yang aman-aman saja.

Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus