Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH baku-diskon tarif angkutan udara lebih dari empat tahun terakhir, mulai banyak maskapai penerbangan bersiap mengerek bendera putih. Star Air berhenti terbang sejak 1 Juni. Kini beredar kabar, Bouraq Airlines dan Jatayu Airlines bakal menyusul. Sebelumnya pun sudah ada yang "patah sayap", seperti Indonesian Airlines, Seulawah Air, Kartika Air, Bayu Air, dan Airmark.
Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA), Tengku Burhanuddin, menuding perang tarif sebagai penyebab rontoknya sejumlah maskapai itu. Namun, masih banyak faktor lain, sebut saja modal tak kuat, salah pilih armada, atau salah urus manajemen.
Star Air, misalnya, masih memiliki tingkat isian penumpang (load factor) yang tinggi. "Pelayanannya juga masih bagus," kata Tengku. Tapi modal perusahaan diperkirakan tak tahan lama akibat harga avtur yang melompat di tengah perang tarif yang tak kunjung padam.
Bila dihitung sejak akhir 2003, kata Tengku, agregat kenaikan bahan bakar sudah mencapai 100 persen, dari Rp 2.450 per liter ketika itu menjadi Rp 4.632 saat ini. Bahkan sebelumnya harga avtur hampir menyentuh Rp 5.000 per liter. Akibatnya, biaya operasi meningkat tajam. Dalam kondisi seperti itu, masih ada saja maskapai penerbangan yang tak mau menyesuaikan tarif, takut penumpang lari ke maskapai lain. "Itu sama saja dengan bunuh diri," kata Tengku.
Menurut Direktur Angkutan Udara Departemen Perhubungan, Santoso Eddie Wibowo, keadaan serba salah itu memang tak bisa dielakkan, meski perusahaan penerbangan masih memiliki ruang untuk menyesuaikan tarif. Sebab, harga tiket pesawat saat ini masih jauh di bawah tarif batas atas yang ditetapkan pemerintah.
Tapi, masih ada maskapai yang tenang-tenang saja. Sebutlah Lion Air, yang menyatakan tak mau menaikkan tarif tapi malah akan menambah armada. Garuda Indonesia juga masih menjadi maskapai dengan kemampuan mengangkut penumpang terbesar, meski harga tiketnya tinggi.
Star Air juga sebetulnya masih memadai. Manajer Humas Star Air, Nurwulan Handayani, pun mengakui load factor maskapainya mencapai 90 persen. Tapi, karena pendapatan tidak menutupi biaya operasional, akhirnya rugi juga. Meskipun demikian, menurut Dirjen Perhubungan Udara Departemen Perhubungan, Cucuk Suryo Suprojo, kerugian Star Air yang disebut-sebut Rp 1 miliar sebulan semestinya masih bisa diatasi dengan efisiensi.
Ia memperkirakan, pendapatan Star bisa mencapai Rp 40 miliar sebulan. Itu berarti kerugian hanya 2,5 persen dari omzet Star Air. "Kerugian sebesar itu kan masih bisa diatasi dengan efisiensi," kata Cucuk. Sumber Tempo di Departemen Perhubungan juga yakin, masalah yang dihadapi Star bukan sepenuhnya karena kenaikan harga bahan bakar.
"Saya yakin ini masalah dagang," katanya. Pemilik Star Air, Ale Sugiarto, memang ingin menjual Star. Beredar kabar, ada selusin investor yang berminat membeli Star Air. Persoalan yang mirip tampaknya juga dialami Bouraq Airlines dan Jatayu Air. Meski masih mengudara, kondisi kedua perusahaan itu juga sedang lesu darah. Tapi hanya Bouraq yang kedengaran mencari investor.
Sumber Tempo di industri penerbangan mengungkapkan, pada saat ini Bouraq tinggal mengoperasikan satu pesawat dari sebelumnya delapan pesawat. "Sepertinya ada masalah manajemen di maskapai ini," kata sumber itu. Santoso juga tak menampik kesulitan yang dihadapi Bouraq dan Jatayu. "Tapi saya tak tahu persis masalah kedua maskapai itu," katanya.
Sekretaris Perusahaan Bouraq, Boy Mamahit, mengakui maskapainya sedang dirundung rugi operasi. "Tapi saya kira maskapai lain juga menghadapi masalah sama," katanya. Boy tak membantah kabar soal gaji karyawan Bouraq yang terlambat dibayar. Itu karena biaya operasi terus melambung, sedangkan tarif sulit dinaikkan sampai ke angka yang wajar karena persaingan. Namun, bila tak beroperasi, keadaan perusahaan justru akan makin sulit.
Karena itu, Bouraq tetap terbang sembari mencari investor strategis. "Bahkan kami rencananya akan menambah tiga pesawat Boeing 737-200," katanya. Bagaimana dengan Jatayu? General Manager Jatayu Air, Agus Sugiarto, mengatakan kini Jatayu hanya mengoperasikan tiga dari 12 pesawat mereka.
Untuk menghemat biaya operasi, Jatayu telah mengembalikan delapan Boeing 727-200 kepada pemiliknya. Jenis pesawat ini menggunakan bahan bakar 25 persen lebih boros dari Boeing 737-200. Agus tak menyangka biaya bahan bakar bakal naik gila-gilaan. "Padahal tadinya hitung-hitungan kami tak ada masalah dengan menggunakan pesawat itu," ujarnya.
Untungnya, kata Agus, modal maskapai yang berkantor pusat di Medan ini masih mencukupi. Karena itu, pihaknya juga tak ada rencana berhenti terbang. Upaya yang bisa dilakukan saat ini adalah meningkatkan efisiensi dan mengurangi rute yang tak lagi menguntungkan. Soalnya, biaya bahan bakar saat ini sudah lebih dari separuh biaya operasi.
Kelesuan yang dialami sejumlah maskapai penerbangan ini membuat bimbang perusahaan yang tadinya ingin ikut meramaikan lalu-lintas udara. Sebut saja Air Paradise dan Asia Avia Megatama. Meski sudah mengantongi surat izin usaha penerbangan, keduanya tak kunjung mendapatkan air operator certificate (AOC) agar bisa masuk pasar. Karena sudah lewat batas toleransi, akhirnya izin kedua perusahaan itu dibekukan pemerintah.
"Sebulan sejak keluar surat pembekuan, saya akan cabut izin kedua maskapai ini," kata Menteri Perhubungan Hatta Radjasa. Begitu juga dengan Golden Air, Eka Sari Lorena, dan Efata Papua Air. Meski katanya serius akan terbang, bila sampai nanti diberikan surat pembekuan tak terbang juga, izinnya juga akan dicabut.
Hatta juga memastikan tidak akan ada maskapai yang menerapkan tarif di bawah tarif referensi lolos dari audit penerbangan. Bahkan bisa diaudit investigatif. "Senin nanti (hari ini), tarif referensi rencananya akan dikeluarkan setelah dihitung bersama INACA," kata Hatta. Bila hasil audit itu membuktikan ada maskapai yang sengaja memangkas biaya-biaya yang terkait dengan keselamatan penerbangan, izin maskapai itu bisa dicabut. Namun, Hatta mengingatkan tarif referensi bukan tarif batas bawah yang wajib diterapkan airlines, melainkan hanya alat pemerintah untuk mengawasi maskapai agar bersaing secara sehat.
Taufik Kamil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo