Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lemuru, Di Mana Kamu?

Sejumblah pabrik pengalengan ikan di muncar, ja-tim dan bali sedang suram. pasalnya, ikan lemuru sulit didapat. nelayan pun terpukul, meski harganya menjadi mahal. untung belum ada phk.

16 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUASNYA laut, ternyata, belum menjamin perusahaan pengalengan ikan (canning) memperoleh suplai ikan dalam jumlah cukup. Buktinya, pekan lalu, lima pabrik pangalengan ikan di Bali menjerit sulit mendapatkan ikan lemuru (oil sardine) untuk pembuatan sarden -- hingga kebanyakan dari mereka kini hanya bekerja 20%. "Kadang kami malah hanya bekerja satu atau dua hari dalam sebulan," kata seorang staf Bali Maya Permai. Kesulitan itu sesungguhnya mulai terasa benar sejak Januari lalu. Menjelang berakhirnya musim angin barat itu seluruh ikan yang masuk ke tempat pelelangan ikan (TPI) Pengambengan tercatat hanya 778 ton, dan di bulan-bulan berikutnya turun jadi 500 ton, hingga di bulan Juni tinggal 297 ton. Dari jumlah itu, ikan lemurunya sekitar 90%. Secara keseluruhan memang, dua tahun terakhir ini, produksi lemuru dari perairan Bali cenderung merosot. Pada 1984, lemuru yang bisa diangkat masih 34.562 ton, tapi setahun kemudian turun jadi 22.235 ton. Dan pada kuartal pertama ini hanya sekitar 1.800 ton. Menurut dugaan Anak Agung Gde Harmoni, Kepala Dinas Perikanan Bali, penurunan produksi mungkin disebabkan perubahan musim. Karena itu, Harmoni menganjurkan agar pengusaha, "Tak semata bergantung pada lemuru, jadi perlu diversifikasi." Ekonomis tidaknya menggantikan lemuru, jelas, hanya pengusaha yang tahu. Yang sudah pasti, harga ikan itu di Bali, karena banyak peminat di tengah menipisnya suplai, kini sudah bergerak dari harga normal Rp 150-Rp 200, jadi sekitar Rp 575 per kg. Toh, pengusaha tetap menubruknya. "Yah, terpaksa, daripada pabrik berhenti," kan Yustinus Guiso, pimpinan Bali Raya. Nelayan sendiri tidak gembira melihat keadaan itu, sekalipun menurunnya hasil tangkapan itu bisa dikompensasikan dengan kenaikan harga. Lihat saja, dari kebutuhan empat pabrik pengalengan di Pengambengan yang 300 ton sehari, mereka hanya bisa memenuhi 10 ton. Karena suplai ikan anjlok, maka perusahaan seperti Bali Raya kini hanya mampu menghasilkan sarden satu sampai lima ton sehari -- padahal kapasitas terpasang mesinnya 40 ton. Karena suplai ikan jatuh, pabrik pukul rata hanya bekerja 10 hari sebulan. Ikan kalengan yang bisa dihasilkannya juga turun, tidak sesuai lagi dengan desain mesin, yang dibuat berkapasitas 20 ton. "Kalau bisa bekerja sampai 10 ton sehari sudah bagus," kata seorang staf Bali Raya. Enam pabrik pengalengan di Muncar, Jawa Timur, seberang Gilimanuk (Bali) kabarnya juga menghadapi kelangkaan suplai lemuru kendati di sini di masa normal jumlah lemuru yang masuk per tahun bisa 12 ribu ton. Menurut taksiran seorang ahli, kebutuhan lemuru harian di Muncar tercatat 300 sampai 400 ton. Sekitar 120 ton di antaranya diserap pabrik pengalengan, 50 ton diasapkan, 60 ton diasinkan dan 100 sampai 200 ton untuk pabrik pemroses makanan ikan. Usaha memperbanyak tangkapan ikan sebenarnya sudah dilakukan para nelayan dengan memperkenalkan jaring kapal purse seiner, yang mampu menangkap lebih banyak dibandingkan dengan gill net. Di perairan sekitar Bali itu, termasuk di Selat Bali, kini beroperasi 300 purse seiner -- dan 170 di antaranya berpangkalan di Muncar. Namun, jumlah ikan yang masuk Muncar tahun 1984 lalu, tetap anjlok ke angka 9,7 ribu ton -- sebelumnya bisa 11 ribu ton. "Siapa yang menyangka ikan yang dulu banyak sekarang mendadak seperti hilang," kata Hardy Atmadjaja, pimpinan Blambangan Raya, pengalengan ikan di Banyuwangi. Dalam keadaan seperti itu, sejumlah pabrik tetap berusaha tidak sampai memecat karyawannya. Hanya saja, karena penghasilan perusahaan turun, apa boleh buat, gaji mareka lalu disunat. Seorang karyawan Bali Raya, yang dulu menerima upah harian Rp 2.000, sekarang hanya diberi Rp 1.300. "Bahkan ada yang cuma dapat Rp 700," katanya, sambil sembunyi-sembunyi. Ketika diingatkan perusahaan sedang mengalami kesulitan, dia malah menjawab, "Lho, itu 'kan sudah risiko pengusaha." E.H. Laporan Jalil Hakim dan I Nengah Weja (Biro Ja-Tim)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus