MANA mungkin pengusaha, yang mentraktir main golf para pejabat selama seminggu d Bali, menyebut nama dan jabatan mereka dalam surat pemberitahuan pajak. Tapi, bila-ingin laba kotor perusahaan kena pajak kecil, maka nama dan jabatan lobby itu perlu disebut, supaya pengeluaran untuk menghibur pejabat tadi bisa digolongkan sebagai biaya. Risikonya tentu ada: bisa-bisa dijauhi proyek pemerintah. Risiko seperti itu jelas tidak termuat dalam edaran Dirjen Pajak Salamun A.T. yang dikeluarkan belum lama ini, untuk menegaskan bahwa pengeluaran entertainment, representasi, dan jamuan tamu, termasuk biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Karena itu, ketiganya bisa digolongkan sebagai biaya untuk mengurangi laba kotor perusahaan. Penegasan itu dipandang perlu dikemukakan mengingat banyak wajib pajak masih merasa ragu untuk memasukkan tiga jenis pengeluaran itu sebagai biaya dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan. Tapi supaya peneluaran-pengeluaran itu bisa dipertanggungjawabkan, wajib pajak harus bisa membuktikannya, dengan mengisi daftar nominatif. Di situ, mereka diminta mengungkapkan tempat, jenis, dan kapan wajib pajak menyelenggarakan hal itu -- di samping memaparkan nama, posisi, jenis, dan nama perusahaan relasi usaha mereka. Kata Salamun, rincian dalam daftar nominatif itu diperlukan, "Supaya jangan ada manipulasi terhadap jenis pengeluaran ini." Edaran itu juga dianggap perlu dikeluarkan mengingat, sebelum UU PPh 1984 berlaku, "Besarnya biaya entertainment itu hanya ditentukan dengan semacam tawar-menawar," tambahnya. Tawar-menawar antara petugas dan wajib pajak itu bisa saja disalahgunakan untuk menghindari laba kena pajak lebih besar meskipun, menurut peraturan pelaksanaan UU No. 8 tahun 1970 mengenai pajak perseroan, biaya entertainment dan sejenisnya sudah ditetapkan maksimum 2% dari penghasilan bruto. Penghitungan biaya itu pun dulu dilakukan oleh akuntan publik. "Sekarang, karena tidak ada keistimewaan dari akuntan publik, pemerintah perlu mengeluarkan peraturan baru bagi seluruh kategori biaya," kata Salamun. "Mengenai besarnya biaya, sekarang tidak ada batas maksimum." Pembatasan mengenai besarnya biaya untuk memelihara pendapatan itu dipandang tidak perlu, mengingat tiap perusahaan berbeda pengeluaran dan jenis usahanya. Kesempatan bagus, 'kan? Ternyata, tidak semua pengusaha mau memanfaatkan peluang itu. Arifin Panigoro, Direktur Utama Meta Epsi Drilling Co. (Medco), misalnya, merasa sangat riskan kalau harus merinci nama dan posisi lobby-nya dalam SPT PPh perusahaannya, karena dianggap hanya akan menjerumuskan. "Jangankan pejabat pemerintah, pengusaha swasta pun akan takut," katanya. Daripada merinci nama dan posisi relasi, serta menyebut jenis entertainment yang diberikan, Arifin menduga akan banyak pengusaha lebih baik tidak memasukkan jenis pengeluaran itu, kendati harus merugi. Sebab, biasanya, kalau pengusaha pengeboran minyak ini mentraktir relasi main golf di Bali, biaya tiket dan akomodasi ditanggungnya juga. Belum lagi kalau relasi itu minta "teman istimewa". "Peraturan itu seperti mau memberi kelonggaran, tapi juga pengin nangkep yang lain," katanya. Ketika biaya entertainment hanya diperbolehkan 2% dari penghasilan bruto, kata Arifin, pengeluaran Medco untuk pos itu sering mencapai 5%. Tahun lalu, misalnya, biaya untuk pos ini mencapai Rp 150 juta tapi hanya dimasukkan Rp 60 juta saja atau sekitar 2% dari penghasilan bruto. Tidak hanya makan siang atau makan malam saja jenis entertainment itu. Tapi juga dengan memberikan kesempatan berlibur ke luar negeri bagi relasi -- sendirian atau dengan keluarga. Toh, kalau para pengusaha itu ditanya tujuan pengeluaran itu, pasti bukan dimaksudkan untuk memenangkan mereka memperoleh proyek. "Kami 'kan bisnis, kalau ingin memperoleh ikan harus memberi umpan," kata Trigustoro, Direktur Utama Pending Melati, Bandung, "Kalau tangkapannya besar, ya umpannya harus besar juga." Ungkapan kontraktor dari Bandung itu ada benarnya. Dan untuk memenangkan proyek pemerintah, persaingan belakangan berlangsung sengit, di tengah-tengah makin menciutnya volume dan nilai APBN. Menurut Erwin Pardede, Ketua Gabungan Pelaksana Nasional Indonesia (Gapensi), kemenangan kini tidak cukup hanya dengan membanting nilai penawaran. "Tapi juga ditentukan dalam melakukan pendekatan," katanya. Sebagai kontraktor yang memimpin PT Lanze, Erwin mengaku memberikan entertainment wajar, "paling juga makan" yang anggarannya rata-rata Rp 50 juta setahun. Para kontraktor, apalagi kalau bisnis mereka bergantung pada APBN atau APBD, memang tak akan bisa menghindari pengeluaran untuk pos itu. Selama mereka masih ingin memperoleh proyek dari situ, kontak dengan pejabat pemerintah atau pimpinan proyek memang tak terelakkan. Tidak jarang, karena kontraktor ngebet ingin memenangkan tender, mereka sampai tak sungkan memberikan "entertainment yang peka". "Karena itu, kami tidak pernah memakai bon untuk pengeluaran jenis ini," kata Maman Rachwan Wansaatmadja, Direktur Utama Pasir Pogor, Bandung. Tak jelas apakah setelah Dirjen Pajak Salamun mengeluarkan edaran kepada para Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak itu para pejabat dan pimpinan proyek segan untuk ditraktir lagi. Kalau kemudian pengusahanya sendiri masih mau mentraktir mereka dengan imbauan tidak akan menyebut nama dan posisinya, maka laba kotor yang bakal terkena pajak jelas akan besar. Bila semua pengusaha bersikap begitu, Dirjen Pajak Salamun jelas senang. "Bagus sekali, sebab akan menaikkan penerimaan negara," katanya. Eddy Herwanto Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini