Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tergelar Lagi Di Amerika

Ruu jenkins bill yang akan menggunting pasar tekstil di as gugur di parlemen. meski as mengenakan kuota, masih ada peluang untuk meningkatkan ekspor, misalnya ke eropa. api dikagetkan dengan hilangnya se. (eb)

16 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEKSTIL kita masih boleh digelar lebih lebar di pasar Amerika. Sebab, rancangan undang-undang yang, antara lain, hendak menggunting pasar tekstil Indonesia di AS sudah gugur dalam pemungutan suara anggota parlemen, Rabu pekan lalu. Matilah sudah RUU yang dilontarkan seorang anggota parlemen dari Georgia, Edgar L. Jenkins, dan yang sebenarnya sudah diveto Presiden Reagan sejak akhir tahun silam. Industriwan tekstil di sini tak perlu kebat-kebit lagi. Mereka boleh "mensyukuri" kematian Jenkins Bill itu karena AS merupakan penyerap terbesar tekstil ekspor Indonesia. Tahun silam, ekspor tekstil menghasilkan devisa US$ 560 juta, sekitar 50% di antaranya diraih dari pasar AS. Seandainya rancangan Jenkins itu lolos menjadi undang-undang, maka ekspor tekstil Indonesia ke negara itu harus dikembalikan ke posisi 1984 (US$ 234 juta) untuk kemudian boleh dinaikkan 6% setiap tahun. Dengan gagalnya Jenkins Bill, berarti, ekspor Indonesia hanya akan dibatasi lewat sistem kuota jenis tekstil sesuai dengan perundingan kedua negara. Menurut beberapa pengusaha tekstil, kondisi perjanjian bilateral itu masih lebih baik daripada rancangan Jenkins. "Jenkins Bill" itu seharusnya ditujukan AS kepada eksportir tekstil raksasa-raksasa Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan," begitu komentar E.A. Pravinata, Direktur dan General Manager PT Busana Rama Textile & Garment. Sebab, merekalah yang menguasai sekitar 60% pasaran tekstil di AS. Satu pabrik di Hong Kong saja, misalnya, mampu mencaplok sekitar 30% seluruh kuota Indonesia. Dan dari sekitar 100 jenis tekstil produksi Indonesia yang diekspor ke AS, menurut Ian Daskian dari PT Primatexco, sudah kira-kira 60 jenis yang kena kuota. Di tahun-tahun mendatang, mungkin akan meningkat lagi. Apalagi, dalam perundingan MFA (MultiFiber Agreement -- perundingan internasional antara negara-negara eksportir dan importir tekstil) awal Agustus ini, AS berhasil memaksakan penghitungan kuota atas produk-produk dari semua jenis serat. "Dulu hanya serat kapas, wol, dan serat buatan yang diperhitungkan," tutur Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Frans Seda. Kendati ada batasan-batasan kuota oleh AS, API melihat masih ada faktor-faktor yang bisa dianggap sebagai peluang meningkatkan ekspor. 'Kan bukan hanya AS penyerap tekstil Indonesia? "Yordania, misalnya, pekan lalu mau mengimpor pakaian tentara. Tapi harga belum cocok," ujar Frans Seda. Tahun silam, negeri itu sudah mengimpor kain tekstil Indonesia dengan nilai US$ 36.200, dan tahun ini sudah membuka LC untuk impor pakaian anak-anak. Sejauh ini menurut sumber TEMPO, ekspor tekstii Indonesia sudah berlangsung ke 67 negara di semua benua. Pasaran Eropa kini mulai menarik lagi seperti enam-tujuh tahun silam. Selain karena belum mengenakan kuota (kecuali Inggris, Italia, dan Jerman Barat), mata uangnya juga lebih kuat dibandingkan rupiah yang lebih sering terpaut pada kekuatan dolar. Harga pemasaran Eropa rata-rata diakui memang tidak setinggi di AS, tapi tidak terlalu ketat proteksinya. Lagi pula, menurut Frans Seda, ekonomi Eropa tampaknya sudah mulai bergerak lebih dinamis lagi. Tapi API, tampaknya, masih dalam suasana kaget karena kehilangan insentif subsidi pemerintah dalam bentuk SE. Secara tak langsung, Frans Seda mengungkapkan hal itu. Menjelang 30 Juni 1986, yakni akhir masa pemberian SE, semua pabrik seperti dipacu. Mesin-mesin di pabrik serat di hilir, menurut Frans Seda, dalam semester awal tahun ini bekerja 95%. Sedangkan pabrik-pabrik pemintalan, pertenunan, dan produksi kain lembaran yang bekerja rata-rata 65% pada tahun lalu, rata-rata naik 10% pada enam bulan pertama tahun ini. Pabrik-pabrik pakaian jadi bahkan mengalami peningkatan kegiatan 15% dengan bekerja sampai 80% dari kapasitas. Semua itu berpacu menjelang habisnya SE. Alhasil, diduga ekspor tekstil enam bulan awal 1986 ini mencapai US$ 500 juta, atau hampir sama dengan devisa yang diraih tekstil seluruhnya tahun 1985. Kini sesudah masa SE habis, API memperkirakan semester akhir 1986 ini hanya sekitar US$ 200 juta lagi yang bisa diraih. Tak semua pabrik mandek dengan hapusnya SE. PT Busana Rama, menurut Direktur E.A. Pravinata, sejak Januari mengekspor tanpa bantuan SE. Supaya tidak rugi, pabrik meningkatkan mutu produknya. Ketika masih mendapatkan SE, perusahaan itu menjual kemeja berharga US$ 30 per lusin dengan nilai tambah US$ 18. Sekarang, Busana Rama mampu menjual produk lebih bermutu dengan harga US$ 45 per lusin, nilai tambah US$ 24. Bahkan, kata Pravinata, mutu masih bisa ditingkatkan sehingga bisa dijual dengan harga US$ 70 dengan nilai tambah US$ 35. Tapi tak semua perusahaan selincah itu. "Perlu waktu untuk mengurus izin," begitu antara lain alasan Ketua Bandung Garment Club, Thomas Anwari. Lagi pula, menurut sumber pengusaha tekstil di Jakarta, "Untuk minta izin pun perlu bayar Rp 500.000 di Kanwil Perdagangan." Dan keluhan ini kalau benar, bukanlah hal baru. Max Wangkar Laporan Biro-Biro & Bambang Harymurti (Washington)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus