RATUSAN ribu ekor kambing dan sapi dibantai setiap menjelang Idulfitri dan -Lebaran Haji. Setiap harinya dari rumah pemotongan hewan jumlah binatang yang dlsembelih juga cukup besar. Mestinya, kulit mentah yang kemudian tersedia di pasar besar jumlahnya. Tapi kenapa, akhir-akhir ini, pengusaha sepatu dan penyamakan kulit sulit mendapatkan bahan baku itu? Kenapa persoalan itu muncul di saat ekspor kulit dan hasil-hasilnya justru sedang melar -- yang biasanya menunjukkan gejala kelebihan suplai -- dari US$ 38,5 juta (1984) jadi US$ 59 juta (1985)? Pada mulanya, belum lama ini, hanya industri sepatu yang secara terbuka mengeluh kekurangan kulit hingga menyebabkan sejumlah penghasil sepatu kecil terpaksa menghentikan produksi. Asosiasi Persepatuan Seluruh Indonesia (APSI) minta agar pemerintah mengatur kembali tata niaga kulit mentah dan kulit setengah jadi (pickle dan wet blue) serta kulit jadi (crust) untuk menjamin kelangsungan pemasokan kulit ke industri sepatu. Misalnya dengan membatasi atau mengenakan pajak ekspor tambahan atas ekspor kulit jadi dan setengah jadi. Sementara jalan keluar mengatasi persoalan itu belum terjawab, anggota Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI) juga mengeluh sulit mendapatkan kulit mentah. Yang tidak mengeluh ternyata hanya Asosiasi Kerajinan Kulit (Askrakindo), Eksportir Perkulitan (AEPI), dan Pengumpul Kulit Mentah (APKMI). Federasi Perkulitan Indonesia (liPI), yang membawahkan lima asosiasi itu, rupanya merasa perlu menjelaskan duduk soal kesulitan sejumlah anggotanya lewat surat yang, pekan lalu, dikirimkan ke Menteri Perdagangan, Keuangan, dan Perindustrian. Menurut pandangan FPI, jika suplai kulit dari pelbagai hewan bisa ajek dipertahankan 12.800 ton setahun, seperti pernah tercapai pada periode 1977-1985, kebutuhan kulit untuk pelbagai industri itu memang bisa terpenuhi. Tapi, karena kepentingan dan persoalan yang dihadapi setiap anggota federasi bertentangan, maka kelangkaan bisa saja mendadak dihadapi oleh sektor industri tertentu. "Muncul persaingan tajam di antara penyamak, eksportir, dan produsen pengolah kulit untuk mendapatkan kulit," kata Ishak Noor, Ketua II FPI. Eksportir yang umumnya menjual kulit mentah dan kulit setengah jadi, misalnya, belakangan memang kelihatan agresif merlcari kulit basah dan kering untuk mereka olah sebelum akhirnya diekspor. Harga di pasar luar negeri, terutama sejak India dan Pakistan melarang pengusahanya mengekspor kulit mentah dan setengah jadi tiga tahun lalu, sedang baik. Kulit kambing setengah jadi, umpamanya, harga ekspornya kini US$ 2,10 (fob) -- sementara di pasar lokal hanya Rp 1.800 per kaki persegi. Selain harganya lebih baik, para pembeli di luar negeri umumnya membayar secara kontan. Tidak seperti di pasar lokal, para pembeli industri sepatu, misalnya, kebanyakan minta cara pembayaran denan kredit tiga sampai empat bulan, dan kadang malah meleset. "Yang membayar kontan jarang sekali," kata Jefferson Dau, Direktur Pelaksana Suka Jujur Leather Factory Ltd., yang juga Ketua AEPI. Dengan ekspor, perputaran modal bisa lebih lancar. "Kalau kami menghadapi stagnasi modal enam bulan pengaruhnya terhadap produks besar sekali," katanya. Sikap seperti itu juga ditemput pihak Uprindo Utama di Bandung. Dari sekitar 4.000 lembar kuli setengah jadi dan kulit jadi yang dihasilkannya setiap hari, sekitar 75% di antaranya diekspor, lalu sisanya dijual ke pasar lokal untuk industri pembuatan jaket dan sabuk miliknya. Tahun 1984 lalu, perusahaan ini bisa mengekspor satu juta lembar kulit pascasamak. Tapi tahun lalu dan tahun ini ekspornya turun. "Permintaan sebenarnya meningkat, tapi tak bisa dipenuhi, karena kami sulit mencari bahan baku meskipun sudah mencari ke Sumatera dan Sulawesi," kata Maryono, Manajer Pemasaran Uprindo. Yang beruntung bisa memenuhi kenaikan permintaan itu, agaknya, hanya Rajawali Nusindo, Surabaya, karena tak sulit memperoleh bahan baku. Tahun lalu ekspornya mencapai 1,3 juta lembar kulit dengan nilai Rp 3,5 milyar lebih. Dan pada semester pertama tahun ini ekspornya sudah bernilai Rp 1,8 milyar. Tentu, bukan hanya Rajawali yang berusaha memanfaatkan baiknya pasar dan cara pembayaran para pembeli di luar negeri. Eksportir kulit lain pun, yang kini jumlahnya tercatat tak kurang dari 39 perusahaan, juga seolah berlomba menjangkau kesempatan itu. Maka, jangan kaget kalau tiga tahun terakhir ini, ekspor kulit mentah, setengah jadi, dan kulit jadi dari sini mendaki terus secara pasti: dari US$ 24,5 juta, lalu US$ 33,7 juta, dan tahun lalu mencapai hampir US$ 40 juta. Sialnya lagi, kulit yang diekspor itu umumnya berkualitas no. 1 sampai no. 3. Akibatnya kemudian, bisa diduga, kulit yang tersisa di dalam negeri kualitasnya jelek -- sementara itu volumenya juga makin terbatas. Dan yang menerima getahnya, lagi-lagi, para pengusaha sepatu yang harus pandai-pandai memilih kulit sisa yang keras, kasar, dan gampang menyusut itu. "Kalau keadaan seperti ini terus dibiarkan, kami bisa mati kutu, kalah bersaing dengan sepatu produk luar negeri," kata Rendi Kusbianto, Direktur Pabrik Sepatu Canadian Shoes. Produsen sepatu terbesar di Bandung itu, yang kini mampu menghasilkan 200-an pasang sepatu setiap hari, syukur belum menemukan kesulitan memperoleh kulit kendati membelinya masih secara kredit. Tapi industri sepatu bukan hanya Canadian Shoes. Di seluruh Indonesia, menurut APSI, tercatat sekitar 500 produsen sepatu besar dan kecil yang mempekerjakan hampir 400 ribu bnruh. Setiap tahun mereka menghasilkan 70 juta pasang sepatu. Bisa dibayangkan betapa sengit persaingan di antara mereka untuk mempertahankan hidup. Gambaran serupa juga tampak dari industri penyamakan kulit yang beranggotakan 50 pabrik. Di saat kini harga kulit di luar negeri sedang bagus, penyamakan kulit harus bersaing ketat dengan para eksportir untuk mendapatkan bahan baku. Dan itu tidak mudah. Lihat saja yang dihadapi Sinar Obor Yogyakarta, yang sudah setengah tahun terakhir mengaku sulit mencari kulit kering dan kulit basah untuk disamak. Malangnya lagi, harga kedua bahan baku itu masingmasing naik dari Rp 3.500 jadi Rp 4.000 dan Rp 1.500 jadi Rp 1.800 per kg. Di tengah situasi suram itu Sinar Obor kini hanya bisa menghasilkan kulit samakan, bahan sepatu, kurang dari tiga ton sehari. Dan sudah tiga bulan terakhir ini produksinya cenderung anjlok. "Kalau sekarang bisa menghasilkan dua ton sehari saja sudah bagus," kata Edy Samsudin dari bagian pengawasan produksi Sinar Obor. Bagi dia tak jelas mengapa kulit basah dan kering kini sulit diperoleh. "Mungkin diekspor atau dibeli pabrik krecek yang kini makin menjamur," katanya. Boleh jadi pengusaha krecek, yang kini menjamur di Yogya dan Jawa Tengah, juga punya andil dalam menghabiskan suplai kulit kering dan basah itu. Nilai tambah untuk sektor usaha ini kabarnya juga cukup lumayan. Tapi, untuk mengatasi kesulitan memperoleh kulit bagi industri sepatu dan penyamakan itu, rupanya hanya bisa diatasi dengan membatasi ekspor kulit mentah yang pasar ekspornya bagus -- bukan dengan melarang berdirinya pabrik krecek baru. "Tapi para eksportir masih ragu-ragu," kata Ishak Noor, Ketua II FPI. Sebab, kalau kemudian eksportir hanya memasok kulit setengah jadi dan kulit jadi, berarti akan menghilangkan kesempatan kerja bagi sektor industri hilir di negeri pengimpor. Hingga tak heran, demi melindungi kepentingan industri di dalam negerinya, negeri itu mengenakan bea masuk tinggi atas kulit setengah jadi dan kulit jadi impor. "Sementara itu, kalau eksportir nanti harus mendirikan pabrik pembuat kulit jadi, memerlukan biaya investasi mahal," tambah Ishak. Namun, ada juga suara yang menyarankan agar pemerintah membuka keran impor untuk memenuhi kebutuhan kulit samakan industri sepatu. Sementara itu untuk industri samakan, mereka diperbolehkan mengimpor kulit basah dan kering. Tapi, kalau negara semacam Pakistan dan India sudah melarang ekspor kulit tak diolah dalam bentuk apa pun, dari mana mereka bisa beli?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini