"BELAKANGAN ini, pelataran parkir kantor saya sering kosong," ujar Ketua BKPM Ir. Suhartoyo, ketika meresmikan terminal bahan kimia curah PT Dharma Karya Perdana di Muara Baru, Jakarta Utara, Maret lalu. "Buat saya, ini merupakan indikator kelesuan kegiatan penanaman modal." Saat itu, banyak di antara pengusaha kakap yang hadir tertawa mendengar ucapan bernada kelakar ini. Padahal, bagi Suhartoyo, lengangnya pelataran parkir BKPM bukan sekadar gurau. "Sampai sekarang masih sepi," katanya kepada Bambang Harymurti dari TEMPO, pekan lalu. Dari data triwulan I/1984 terlihat, hanya ada tujuh proyek baru PMDN yang disetujui, dengan nilai investasi Rp 22.562 juta (Lihat: Grafik). Dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya, terlihat penurunan jumlah proyek 85,1 %, dan penurunan nilai investasi 87,8%. Perubahan nilai investasi triwulan I/1984 tercatat Rp 29.600 juta, turun 95,7% dibandingkan dengan triwulan yang sama 1983, yang mencatat Rp 687.514 juta. Perkembangan investasi PMA lebih menyedihkan. Sementara pada triwulan I/1983 tercatat 11 proyek baru dengan nilai investasi USS 1.191.047.00, periode Januari-April tahun ini belum mencatat sebuah pun proyek baru yang disetujui. Penurunan nilai investasi mencapai 100,5%. Antara lain dengan enam proyek PMA yang beralih status menjadi PMDN dengan nilai investasi US$ 25,7 juta, di samping adanya kekosongan proyek baru PMA. Penurunan ini, agaknya, sudah diperhitungkan pemerintah. "Tahun ini BKPM memang tidak menentukan target," kata Suhartoyo. Ia tidak membantah bahwa kebijaksanaan baru yang meniadakan sama sekali fasilitas pajak bagi PMA dan PMDN berpengaruh dalam surutnya minat para penanam modal (TEMPO, 12 November 1983). Untuk Tanri Abeng, Presiden Direktur PT Multi Bintang, "Perubahan kebijaksanaan selalu membuat para pengusaha berhati-hati, menunggu pelaksanaan peraturan tersebut." Toh, Tanri mengaku, tahun ini perusahaannya menambah investasi sekitar Rp 1 milyar. Mengapa? "Penambahan kapasitas produksi memerlukan waktu," sahut Tanri. Kalau tak disiapkan sekarang, nanti terlambat. Tahun lalu, perusahaannya menambah investasi Rp 4 milyar. Tahun ini diperkirakan "sedikit di bawah itu." Perusahaan bir yang sempat berproduksi hampir dengan 100% kapasitas pada awal 1983 itu sudah dua kali kena pukulan berat. April 1983 terjadi kenaikan cukai bir dari Rp 145 per liter menjadi Rp 200 per liter. Oktober 1983 cukai itu menjadi Rp 250 per liter. Kenaikan cukai pada saat daya beli merosot, menurut Tanri, "perlu dipertimbangkan betul." Bisa timbul reaksi berantai yang memperlemah daya beli itu. Soal ini jadi penting, bila mengingat strategi BKPM, yang mengandalkan pasar lokal (domestic market) dalam menarik penanam modal. Di Indonesia, dengan pasar lokal yang besar, produksi juga dapat dilakukan dalam skala besar sehingga harga produk mempunyai competitive margin bila dilempar ke luar Indonesia. Strategi ini, diakui Suhartoyo, diandalkan untuk menjadikan Indonesia menjadi "pusat suplai" yang menarik minat para pengusaha multinasional. Ketua BKPM itu memang tidak menganggap kelesuan penanaman modal dalam triwulan I/1984 ini drastis. "Masih normal," katanya. Masih adanya investor, walaupun kecil, dianggap memadai sebagai basif load (beban dasar). Hanya, tiadanya investasi besar menyebabkan peak load (beban puncak) belum tercapai. Optimisme Suhartoyo ternyata beralasan. Di tengah pengusaha yang bersikap menunggu sekarang ini, toh ada yang tetap melakukan investasi. Misalnya PT Inti Ganda Utama, yang baru mendapat izin BKPM dua bulan lalu. "Ini usaha bersama antara para asembler, termasuk grup Astra dan Suzuki," kata Sofyan Wanandi, Presiden Direktur PT Garuda Mataram Company, dan pemimpin beberapa perusahaan lain. "Saya ikut sedikit," katanya menambahkan. Bekerja sama dengan Mitsubishi, perusahaan ini mempunyai investasi sekitar Rp 15 milyar. Mereka bergerak dalam pembuatan rear axle (gandar belakanG) kendaraan niaga. "Kita harus merealisasikan program lokalisasi industri otomotif nasional," ujar Sofyan, bersemangat. Tetapi, masalah bisnis memang tidak dengan sendirinya terlupakan. Seperti diakui Sofyan, "Secara komersial, usaha ini memang feasible." Pemerintah, yang mencanangkan program lokalisasi industri otomotif nasional ini, tentu siap dengan seperangkat mekanisme proteksi. Resesi dunia dan kelesuan ekonomi nasional diakui Sofyan ikut menumbuhkan sikap menunggu para pengusaha. Juga masalah penyelundupan, yang membuat para penanam modal di bidang elektronik menjadi ragu. Tetapi faktor-faktor ini, ditambah banyak hal lagi, tidak membuat Sofyan pesimistis. Ia yakin, pemerintah mencapai target peran swasta pada Pelita IV. "Tahun pertama, 1984/1985, memang berat," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini