SETELAH bersidang selama tiga hari di Jakarta, para menteri ekonomi ASEAN V pekan lalu menyetujui suatu rencana besar yang lama tersendat-sendat: didirikannya empat proyek industri bersama swasta ASEAN. Sidang juga menyetujui untuk mendirikan suatu pabrik farmasi bernilai US$ 8 juta di Singapura. Keputusan untuk mendirikan proyek industri bersama itu, yang dikenal sebagai ASEAN Industrial Joint Ventures (AIJV), pada prinsipnya sudah disetujui dalam pertemuan para menteri ekonomi ASEAN di Bangkok November tahun lalu. Itu pun setelah menempuh perundingan selama tiga setengah tahun, dan didesak oleh suatu task force, (TF), yang terdiri dari 15 orang, tiga dari setiap negara ASEAN. Para swasta ASEAN yang ikut mendesak, antara lain dalam sidang Kadin ASEAN di Manila tahun lalu, serta merta menyambut keputusan penting itu. AIJV, kalau sampai terwujud, dengan sendirinya akan mendorong bidang investasi dalam skala ASEAN, dan meningkatkan perdagangan regional. Menurut perjanjian, setiap produksi yang kelak dihasilkan patungan swasta ASEAN -- dengan syarat 51% sahamnya dimiliki dua atau lebih perusahaan swasta ASEAN -- bisa menikmati potongan tarif sebanyak 50%, kalau paling sedikit dua peserta swasta ASEAN itu menyetujuinya. Setelah berproduksi selama empat tahun para anggota, termasuk yang dari semula tak ikut serta, juga akan ditawari kemudahan bea masuk, berdasarkan pengaturan perdagangan preferensi, Preferential Trading Arrangement (PTA). Sidang juga menyetujui untuk meningkatkan jumlah komoditi yang mendapat PTA dari 12.000 menjadi 18.000 macam. PTA adalah sistem yang ingin merangsang perdagangan antara ASEAN dengan pemberian potongan bea masuk. Adapun empat proyek swasta ASEAN, yang disetujui para menteri, itu dipilih berdasarkan daftar investasi sebanyak 21 buah, yang disodorkan para pengusaha swasta ASEAN tahun lampau. Antara lain, bagian suku cadang elektronik sepeda motor, termasuk lampu, bahan penggilap keramik, alat-alat mekanik, dan bagian kemudi (power steering). Tak disebutkan swasta negara mana saja yang akan ikut, tapi, menurut beberapa peserta, proyek industri bersama itu boleh saja dimulai setiap waktu. Adapun proyek farmasi di Singapura, yang akan membuat vaksin hepatitis B, dengan lisensi dari perusahaan Merc & Co, dari AS, menurut rencana akan dimulai tahun depan. Komposisi modal dari pabrik vaksin yang berkapasitas 6 juta dos setahun itu, sebanyak 46% akan ditanggung pemerintah Singapura, 50% akan dicari dari kelompok swasta Singapura, selebihnya yang 4% dari anggota ASEAN yang lain, kecuali Brunei. Anggota keenam, yang tersohor makmur itu, kabarnya juga belum menyatakan minatnya untuk turut serta dalam proyek industri swasta ASEAN yang sudah disepakati. Tapi beberapa pengamat beranggapan, kera sama ekonomi ASEAN itu masih bergerak lamban, terutama dalam menilai lis kemungkinan investasi yang dikemukakan kelompok swasta dan ASEAN. Anggota TF yang 15 itu ditunjuk oleh pemerintah masing-masing, tapi mereka bebas berbicara secara pribadi. Sekalipun, seperti kata Prof. Sadli yang menjadi salah seorang anggotanya, tak sebebas Komisi Willy Brandt. Toh kabarnya TF bidang ekonomi, yang terdiri dari kalangan universitas, bisnis dan pejabat, menilai para menteri ASEAN perlu mengambil keputusan yang lebih cepat, dan harus mengatasi birokrasi ASEAN yang berbelit-belit. Seperti kata seorang peserta dari Singapura, "Dihitung-hitung, pertemuan tingkat menteri ekonomi sudah sebanyak 16 kali, dan sekitar 70 kali tingkat pejabat tinggi." Orang Singapura itu, yang terkenal efisien, mungkin tidak sabaran. Tapi itulah gerak ASEAN, yang setiap kali perlu mencari konsensus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini