Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

LIPI: Subsidi Elpiji 3 Kg Sudah Tidak Sehat

LIPI menyatakan perkembangan besaran subsidi elpiji 3 kilogram sudah berada dalam kondisi yang tidak sehat.

24 Oktober 2017 | 13.52 WIB

Subsidi Elpiji Tertutup Terancam Batal
Perbesar
Subsidi Elpiji Tertutup Terancam Batal

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI melalui Pusat Penelitian Ekonomi menyatakan perkembangan besaran subsidi liquefied petroleum gas atau elpiji 3 kilogram sudah berada dalam kondisi yang tidak sehat. LIPI menilai konversi minyak tanah ke elpiji yang sebelumnya memberikan penghematan anggaran telah bergeser menjadi beban.

Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Maxensius Tri Sambodo, mengatakan saat ini pemerintah sedang kekurangan anggaran pembiayaan pembangunan. Hal tersebut dapat dilihat dari defisit APBN.

"Salah satu langkah yang bisa dilakukan, di samping menggenjot penerimaan pajak, pemerintah bisa berupaya mengurangi subsidi," kata Maxensius di Indonesia Science Expo Balai Kartini, Jakarta, Selasa, 24 Oktober 2017.

Menurut Maxensius, salah satu subsidi yang masih punya ruang untuk bisa dikendalikan adalah subsidi elpiji. LIPI melihat besaran subsidi elpiji 3 kilogram sudah melebihi besaran subsidi minyak tanah sebelum program konversi ini berjalan.

"Tahun 2017 data APBNP subsidi Rp 45 triliun subsidi LPG. Tahun 2018 dalam RAPBN itu disebutkan sekitar 40,7 triliun," ucap Maxensius.

Baca: Subsidi Elpiji Disalurkan Lewat Kartu Keluarga Sejahtera

Maxensius mengatakan harga elpiji pada 2017 cenderung naik. "Hal ini menjadi kekhawatiran kami," katanya.

Ia menilai RAPBN 2018 terkait dengan subsidi terlalu optimistis. Sebab, ada tendensi harga elpiji naik dan pengguna terus bertambah.

"Kami melihat pagu subsidi elpiji yang ditetapkan sebesar Rp 40 triliun di 2018. Tampaknya, kami yakin, akan terlampaui lebih dari itu. Bisa jadi di atas Rp 45 triliun," tuturnya.

Dari data LIPI, jumlah penggunaan elpiji terus meningkat sejak 2007 hingga 2016. Tercatat pada 2016 mencapai 6 juta kiloliter. "Ini menunjukkan adanya suatu permintaan baru untuk elpiji 3 kilogram," kata Maxensius.

Maxensius menilai subsidi sangat memberatkan karena Indonesia masih mengimpor elpiji. Dari data Oktober 2015, sebanyak 65 persen dari total konsumsi LPG di Indonesia berasal dari impor atau 4,3 juta MTon, dan hanya 35 persen yang merupakan produksi domestik atau 2,27 MTon.

Menurut Maxensius, ketika harga dunia naik, akan berpengaruh pada kondisi pasokan dalam negeri. Ia mengatakan fenomena elpiji sama seperti BBM. "Keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya."

HENDARTYO HANGGI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus