Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Macet Atas-Bawah

Monorel masih menunggu utang. MRT baru akan negosiasi ulang.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI cinta berubah dongkol, begitulah kini buncah hati para pengguna jalan di sekujur Ibu Kota. Pada medio Juni dua tahun lalu, banyak yang berharap ketika Gubernur Sutiyoso memancangkan tiang-tiang penyangga lintasan kereta ringan monorel. Proyek sejenis di Thailand mampu meng­angkut 300 ribu penumpang tiap hari.

Diharapkan, sebanyak itu pula yang bisa dipindahkan dari padatnya jalan­ ra­ya Jakarta, dengan dua lintasan yang ­di­ren­canakan. Lintasan pertama di­sebut jalur hijau, sepanjang 14,3 kilometer de­ngan 27 stasiun. Melingkar da­ri Dukuh Atas, melalui Jalan Rasuna ­Sa­id–Gatot Subroto–Sudirman–­Se­na­yan–S. Parman ke Pejompongan hingga ­Du­kuh Atas lagi.

Lintasan kedua biru warnanya. Memiliki 16 pemberhentian, membentang 13,5 kilometer dari Kampung Melayu di Jakarta Timur, melalui Casablanca–Tanah Abang–Grogol, dan berujung di ­depan Mal Taman Anggrek, Jakarta Barat. Tapi, sejak mula banyak yang tak pasti. Terutama: dari mana duit Rp 5 triliun untuk membangun proyek ini?

Orang ramai maklum, Sutiyoso ber­sikeras kereta monorel harus sudah meluncur pada pertengahan 2007. Berte­patan dengan berakhirnya masa jabatan keduanya sebagai gubernur. Proyek inilah salah satu modalnya untuk impian berikutnya: membangun kawasan me­gapolitan, yang menggabungkan Jakarta dan daerah-daerah penyangganya.

Adapun Presiden Megawati, yang me­resmikan pemancangan tiang pertama di Jalan Asia Afrika, 14 Juni 2004, memerlukan sukses proyek ini menjelang pemilihan presiden langsung.

Dilingkupi dua kepentingan besar be­gini, sepertinya urusan biaya agak di­gampangkan. Padahal, PT Jakarta Mo­norail, yang ditunjuk mengerjakan proyek hanya dua pekan sebelum peresmian, masih tak jelas isi kantongnya. Belum lagi, di tengah jalan perusahaan ini malah pecah kongsi dengan mitra­nya, Omnico Singapore Pte. Ltd.

Dua tahun berlalu. Selama itu pula orang dipaksa membuang umur lebih ba­nyak di jalanan yang makin sempit ka­rena proyek ini. Harapan muncul lagi se­kembalinya Sutiyoso cari pinjaman ke Hong Kong dan Dubai, Uni Emirat Arab.

Dubai Islamic Bank mau memberi utang, tapi dengan syarat risiko operasional dijamin oleh pemerintah pusat. Maklum, investasi ini hanya akan balik modal kalau ada sedikitnya 160 ribu penumpang per hari, selama 30 tahun masa konsesi. Kurang dari itu, mereka minta pemerintah menombok.

Lewat tarik-ulur menjengkelkan, per­tengahan Agustus lalu syarat dipenuhi pemerintah pusat dengan membagi ra­ta beban bersama Pemerintah DKI. ”Maksimal US$ 125 juta untuk lima t­ahun,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang besaran yang dicadangkan ­da­ri kantong pemerintah pusat. Ber­modal jaminan itulah, Dubai Islamic Bank ba­ru akan menerbitkan surat utang senilai US$ 650 juta.

Nasib proyek transportasi massal ce­pat, atau mass rapid transit (MRT), lebih tak jelas. Masih berbasis angkutan di atas rel, tadinya proyek sekitar US$ 870 juta ini sudah hampir disetujui J­apan Bank for International Cooperation (JBIC) se­bagai calon pemberi utang.

Tahap pertama akan terbentang 14,3 kilometer dari Lebak Bulus, melalui Jalan Fatmawati hingga Senayan. Sa­mpai di sini lintasan kereta akan dibuat melayang di atas tanah. Baru dari Sena­yan, lintasan akan masuk ke terowong­an ba­wah tanah alias subway, dan keluar di sta­siun Dukuh Atas.

Tapi yang kita dengar kemudian, pem­bicaraan dengan Jepang mentok. Me­reka ingin pinjaman bersifat mengikat, yakni berbunga 0,4 persen per tahun. Tapi semua komponen pelaksana utama, mereka yang menentukan. Sementara itu, pemerintah ingin agar utang dibuat tak mengikat, agar menyerap komponen lokal lebih banyak, meski bunga sedikit lebih tinggi, yakni 0,6 persen per tahun.

”Kami coba negosiasi ulang,” kata Syah­rial Loetan, Sekretaris Menteri Pe­rencanaan Pembangunan Nasional, Kamis pekan lalu. Untuk MRT, pemerintah ”masih rapat terus” sampai akhir tahun. Kalaupun lancar, paling cepat 2010 ha­rapan itu baru akan terwujud.

Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus