Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI cinta berubah dongkol, begitulah kini buncah hati para pengguna jalan di sekujur Ibu Kota. Pada medio Juni dua tahun lalu, banyak yang berharap ketika Gubernur Sutiyoso memancangkan tiang-tiang penyangga lintasan kereta ringan monorel. Proyek sejenis di Thailand mampu mengangkut 300 ribu penumpang tiap hari.
Diharapkan, sebanyak itu pula yang bisa dipindahkan dari padatnya jalan raya Jakarta, dengan dua lintasan yang direncanakan. Lintasan pertama disebut jalur hijau, sepanjang 14,3 kilometer dengan 27 stasiun. Melingkar dari Dukuh Atas, melalui Jalan Rasuna Said–Gatot Subroto–Sudirman–Senayan–S. Parman ke Pejompongan hingga Dukuh Atas lagi.
Lintasan kedua biru warnanya. Memiliki 16 pemberhentian, membentang 13,5 kilometer dari Kampung Melayu di Jakarta Timur, melalui Casablanca–Tanah Abang–Grogol, dan berujung di depan Mal Taman Anggrek, Jakarta Barat. Tapi, sejak mula banyak yang tak pasti. Terutama: dari mana duit Rp 5 triliun untuk membangun proyek ini?
Orang ramai maklum, Sutiyoso bersikeras kereta monorel harus sudah meluncur pada pertengahan 2007. Bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan keduanya sebagai gubernur. Proyek inilah salah satu modalnya untuk impian berikutnya: membangun kawasan megapolitan, yang menggabungkan Jakarta dan daerah-daerah penyangganya.
Adapun Presiden Megawati, yang meresmikan pemancangan tiang pertama di Jalan Asia Afrika, 14 Juni 2004, memerlukan sukses proyek ini menjelang pemilihan presiden langsung.
Dilingkupi dua kepentingan besar begini, sepertinya urusan biaya agak digampangkan. Padahal, PT Jakarta Monorail, yang ditunjuk mengerjakan proyek hanya dua pekan sebelum peresmian, masih tak jelas isi kantongnya. Belum lagi, di tengah jalan perusahaan ini malah pecah kongsi dengan mitranya, Omnico Singapore Pte. Ltd.
Dua tahun berlalu. Selama itu pula orang dipaksa membuang umur lebih banyak di jalanan yang makin sempit karena proyek ini. Harapan muncul lagi sekembalinya Sutiyoso cari pinjaman ke Hong Kong dan Dubai, Uni Emirat Arab.
Dubai Islamic Bank mau memberi utang, tapi dengan syarat risiko operasional dijamin oleh pemerintah pusat. Maklum, investasi ini hanya akan balik modal kalau ada sedikitnya 160 ribu penumpang per hari, selama 30 tahun masa konsesi. Kurang dari itu, mereka minta pemerintah menombok.
Lewat tarik-ulur menjengkelkan, pertengahan Agustus lalu syarat dipenuhi pemerintah pusat dengan membagi rata beban bersama Pemerintah DKI. ”Maksimal US$ 125 juta untuk lima tahun,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang besaran yang dicadangkan dari kantong pemerintah pusat. Bermodal jaminan itulah, Dubai Islamic Bank baru akan menerbitkan surat utang senilai US$ 650 juta.
Nasib proyek transportasi massal cepat, atau mass rapid transit (MRT), lebih tak jelas. Masih berbasis angkutan di atas rel, tadinya proyek sekitar US$ 870 juta ini sudah hampir disetujui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sebagai calon pemberi utang.
Tahap pertama akan terbentang 14,3 kilometer dari Lebak Bulus, melalui Jalan Fatmawati hingga Senayan. Sampai di sini lintasan kereta akan dibuat melayang di atas tanah. Baru dari Senayan, lintasan akan masuk ke terowongan bawah tanah alias subway, dan keluar di stasiun Dukuh Atas.
Tapi yang kita dengar kemudian, pembicaraan dengan Jepang mentok. Mereka ingin pinjaman bersifat mengikat, yakni berbunga 0,4 persen per tahun. Tapi semua komponen pelaksana utama, mereka yang menentukan. Sementara itu, pemerintah ingin agar utang dibuat tak mengikat, agar menyerap komponen lokal lebih banyak, meski bunga sedikit lebih tinggi, yakni 0,6 persen per tahun.
”Kami coba negosiasi ulang,” kata Syahrial Loetan, Sekretaris Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Kamis pekan lalu. Untuk MRT, pemerintah ”masih rapat terus” sampai akhir tahun. Kalaupun lancar, paling cepat 2010 harapan itu baru akan terwujud.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo