Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Main-Main Cengkih

Panen raya cengkih di sulawesi utara, heboh oleh pungli. opstib turun tangan. dikeluarkan keputusan, tidak ada pungli cengkih, hanya sumbangan. pedagang cengkih hanya dijual ke buud kecamatan.

22 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUBERNUR Hein Victor Worang (57), segera menyalami Laksamana Sudomo dan Menpan Sumarlin, yang baru saja mendarat di lapangan terbang Sam Ratulangi, Mapanget, Kamis minggu lalu. Dengan sigapnya, gubernur yang belakangan ini sangat populer karena tuduhan pungli cengkeh menggiring tim Opstib Pusat yang lebih dari 30 orang itu ke ruang tamu penting -- salah satu hasil 'sumbangan' pedagang cengkeh di sana juga Belasan wartawan Manado segera mengepung Sudomo. Yang dikepung, mendahului ngomong: "Kami datang bukan untuk mencari-cari kesalahan. Tapi untuk mendudukkan persoalan pada proporsi sebenarnya " Kunjungan Sudomo dan Sumarlin ini bagaikan gong. Sebelumnya sudah didatangkan seorang perwira Opstib sebagai pendahulu. Juga adaorang-orang Minahasa yang dikirim ke sana secara diam-diam, untuk mencari informasi bagi Sudomo. Kunjungan rombongan Opstib terbesar ini - di dalamnya ada tiga Irjen dan dua Dirjen - sudah tertunda dua kali. Mula-mula diberitakan Opstibpus mau datang 5 Oktober, lalu 8 Oktober. Tapi jadinya baru 13 Oktober. Makanya seperti dikemukakan tajuk Kompas Sehin lalu, unsur pendadakan hampir tak terjadi. Komentar agak sinis Gustaf Mokalu, ketua Angkatan Muda Sulawesi Utara (Amsut) di Jakarta pada TEMPO: "Skenario sudah disiapkan. Peran sudah dibagi. Termasuk tugas DPRD Minahasa mensahkan sumbangan pedagang cengkeh yang Rp 200/kg." Kendati demikian, kunjungan hari pertarma di desa Rumoong Atas, Kecamatan Tareran, sempat membuat bupati J.F. Lumentut kecele menunggu rombongan di tempat lain. Anggota Dirsus Pemda Sulut yang menunggu di empat lain, jadi kalang kabut karena Sudomo tak disangka singgah di Tareran. Sayangnya, dialog antara petani dan Sudomo di kantor Hukum tua (lurah) yang sempit, malam hari, berlangsung agak tersendat-sendat. Tapi untunglah masih ada petani yang buka suara di depan gubernur yang cukup besar sawabnya bagi orang sana. Seorang petani yang punya 500 pohon cengkeh, mengaku jadi korban ijon karena pungli di BRI. Akibatnya, karena sudah diijon satu dua tahun sebelum panen, cengkehnya hanya berharga Rp 1.250 per kilo. Padahal menurut peraturan, harga terendah seharusnya Rp 3.500 sekilo. Kumaat HS, pensiunan Letnan, termasuk paling berani dalam kesempatan itu membuat Gubernur Worang agak naik pitam. Kata petani itu, waktu menjual cengkehnya kepada BUUD sekitar bulan Juli - Agustus lalu, cengkehnya yang dihargai Rp 3.700 sekilo telah dipotong Rp 100 oleh petugas pembelian BUUD. Katanya, Rp 50 untuk kas BUUD dan Rp 50 untuk desa. Ucap Kumaat: "petugas bilang potongan 100 rupiah itu camat yang suruh." Mambu, Sekretaris BUUD Tareran ketika dikonfrontir dengan bekas tentara menolak tuduhan itu. Sambil memandang Worang, kata Mambu: "BUUD hanya memungut Rp 100 dari pedagang, bukan dari petani. Itu sebagai marge (laba) BUUD, sesuai dengan petunjuk bapak gubernur." Worang kontan membela bawahannya. "Apa ngana (anda) baca surat camat yang berisi pungutan itu?" Kumaat menggeleng: "Saya memang tidak baca surat aslinya, tapi Hukum tua menuliskan perintah itu di papan pengumuman." Namun pungutan itu tak berlangsung lama. Ketika Kumaat menjual cengkehnya sehara Rp 4.000/kg Oktober ini, pungutan tadi sudah hilang. Katanya: "Itu karena rakyat terus memberi reaksi, termasuk saya. Sebagai TNI, keberanian masih ada pada diri saya." Jenderal Worang sudah tak sabar lagi "Mungkin ngana salah mengerti, katanya menunjuk Khumaat dengan kelima jarinya yang penuh cincin bermata besar. Sementara Sudomo dau Sumarlin diam saja menyaksikan suasana seperti pengadilan itu, Worang menuduh petani yang bekas perwira Kodam VIII/Brawijaya itu sebagai "orang yang suka merongrong". Kumaat yang agak surut he belakang, kecut juga dibuatnya. Tapi ia masih berani membantah. "Terserah pak Gubernurlah saya mau dituduh begitu. Tapi saya memang agak takut sekarang. Saya sudah pensiun sejak 1966, dan sekarang saya tak punya senjata," sahut Kumaat, yang kabarnya sudah lama menunggu kedatangan Sudomo di desanya. Tiba-tiba Sudomo memotong percakapan antara si petani dan Worang, sang hulubalang (Tonaas). Cerita dari petani meman banyak. Sementara Sudomo terus disanding Worang setiap gerak langkahnya. Makanya beberapa anak buah Sudomo diam-diam menyebar ke kecamatan-kecamatan dengan menyewa kendaraan umum, agar lebih bebas dengar pendapat dengan kalangan bawah. Di desa Teep misalnya, pungutan 10 liter cengkeh kepada setiap petani masih berlaku hingga saat itu. Di desa Rerer, Kecamatan Kombi, gedung Hukumtua seharga Rp 5 juta (hanya Rp 300 ribu bantuan desa dari Pusat) dibangun dengan mengandalkan 'partisipasi' petani cengkeh. Camat Kombi sendiri pernah menahan petani yang mau membawa cengkehnya keluar desa. Si petani itu kemudian diberikan kwitansi sebesar Rp 50 ribu, untuk ditukarkan di BUUD setempat. Juga sang camat pernah membcli cengkeh mentah (basah) seharga Rp 600/kg (harga pasaran waktu itu Rp 700 kg) langsung di kebun petani yang perlu uang buat ongkos memetik cengkehnya. Karena tak punya modal, BUUD di Tondano - pasaran cengkeh yang paling ramai -- terpaksa menunjuk para petani cengkeh yang kaya sebagai unit pembeliannya. Ketika Sudomo datang berkunjung, harga pembelian cengkeh sudah mencapai Rp 4.250 per kilo. Karuan saja petani dari kecamatan tetangganya berbondong ke sana menjual bunga emasnya. Tak heran kalau satu CV yang bertugas sebagai unit pembelian BUUD seharinya dapat rnembeli cengkeh sampai 20 ton atau senilai Rp 85 juta. Apa rahasia perputaran uang yang begitu cepat di Tondano? "Manajer kami mungkin satu-satunya yang berani di Sulut ini," ujar Warouw, pemilik unit pembelian BUUD itu. Maksudnya, dia hanya mau melayani pedagang cengkeh yang pasang harga pembelian paling tinggi. Tak peduli punya surat kontrak dari Puskud di Manado atau tidak. Bahkan pabrik kretek seperti Jarum dan Gudang Garam yang menurut surat kontrak Puskud tak boleh beli cengkeh di Manado dilayaninya juga. Begitu pula Kencana Tulus, yang memakai nama Puskud Sulut dan sebenarnya hanya boleh beli cengkeh di Manado, naik ke gunung untuk beli cengkeh. MELIHAT contoh itu, banyak petani curiga bahwa BUUD mendapat modalnya dari para cukong. Tapi ketika dikumpulkan Sudomo di kantor gubernur, para pedagang lebih bersikap diam. Atau memberikan angka pembelian cengkeh yang kurang masuk akal. Dan ketika ditanyakan kerelaan mereka membayar sumbangan partisipasi, keiklasan atau entah apa namanya yang Rp 200/kg itu, bagai ekor semuanya menjawab: "Relaaa." Maka tim Opstib Pusat pun, setelah berapat dengan Pemda Sulut Sabtu pagi 15 Oktober lalu, mengambil tiga keputusan. Pertama: di Sulut tidak ada pungli. Kedua: sumbangan cengkeh yang Rp 200/kg itu boleh jalan terus, tapi harus disetop langsung ke Pemda Sulut. bukan ke Yayasan Manguni Rondor (lihat: Sang Burung Tergunting Sayapnya?). Dan ketiga: pedagang boleh teken kontrak langsung dengan BUUD di Kecamatan. Tak perlu lagi lewat Puskud di Manado. Lantas apa kata Worang, ketika melepas rombongan dari Jakarta? Selesai membacakan laporannya di depan Sudomo, Sumarlin, para Irjen, Dirjen dan segenap Muspida Sulutteng, HV Worang yang tampak puas dengan keputusan itu tak lupa kirim salam kepada Menteri Perdagangan Radius Prawiro - yang pernah dengan tegas menyatakan ada pungli cengkeh di Minahasa. Katanya: "Sampaikan kepada Menteri Perdagangan yang tercinta, tidak ada apa-apa di Pemda. Sekali lagi, salam kepada Menteri Perdagangan yang tercina, eh, tercinta." Gerrr. Kembali ke Jakarta, Sudomo mungkin sudah disibukkan dengan masalah lain yang bakal menambah rambut putihnya. Sabtu sore itu juga, Sinar Harapan sudah menyambut rombongan dari Manado dengan tajuknya yang bertanya: "Sumbangan Sukarela" Tidak Termasuk Pungli? Mengutip buku biru Sudomo sendiri, koran itu berpendapat bahwa "sumbangan sukarela" termasuk perbuatan terlarang dan dapat dikwalifikasikan sebagai "pungutan liar." Mengapa? Karena sejalan dengan salah satu pengertian pungli, yakni'uang ikhlas dan 3S (senang sama senang)." SH juga mengutip kembali Pidato Presiden 16 Agustus lalu yang melarang para pejabat menerima bingkisan Lebaran dan godaan materiil lain, apapun motif dan alasannya. Namun Sudomo, juga sudah siap dengan tangkisannya. Kepada wartawan TEMPO yang mencegatnya di lapangan terbang Kemayoran, dia bilang: "Ah, Sinar tak mengerti persoalan. Definisi pungli, kan harus bersifat paksaan, tidak sah, dan untuk kepentingan pribadi. Sedang sumbangan yang Rp 200/kg itu, dilindungi oleh UU No. 5/1974, tentang Pemerintahan Di Daerah. Di situ disebut, Pemda berhak menerima sumbangan dari fihak ketiga untuk membiayai pembangunan daerah. Jadi Undang-Undang inilah yang harus diperbaiki dulu . . . " Tapi yang masih menjadi pertanyaan: Adakah keputusan DPRD Minahasa itu sudah disahkan Menteri Dalam Negeri?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus