TERPAAN keras akibat gebrakan Sumarlin sampai juga ke Bursa Efek Jakarta. Tak tanggung-tanggung, terpaan itu mengempaskar Indeks Harga Saham Gabungan yang baru saja bangkit. Selasa pekan lalu, indeks yang sempat mendaki sampai angka 427 tiba-tiba terkapar lagi di angka 379. Ihwal persoalan cukup jelas. Mana ada investasi saham yang bisa melawan bunga deposito setinggi 30 persen setahun. Ini berarti dengan goyang-goyang kaki, modal sudah kembali dalam waktu tiga tahun lebih sedikit. Tanpa risiko sedikit pun. Saham, sebaliknya, cuma bisa menawarkan dividen paling banter 2% setahun. Katakanlah, orang berburu saham bukan untuk dividen, tapi untuk capital gain. Namun, siapa yang berani menjamin harga saham di Bursa Jakarta. Apalagi sudah setahun pasar terus-terusan lembek. Maka, dari dalam negeri, jangan lagi diharapkan orang memborong saham. Seirama dengan ini, PT Pentasena mengubah strategi. Inilah perusahaan pialang pertama yang suasananya serba nyaman di daerah elite Kebayoran, Jakarta. Tujuannya: menjaring sebanyak mungkin pelanggan lokal yang memang punya banyak uang untuk diputar-putar. Ketika dulu pasar marak, kiat Pentasena ini berhasil baik. Sekarang, Dirut Pantasena, Tito Sulistio sudah berancang-ancang untuk banting setir. Dulu 95 persen penjualannya ditubruk oleh pelanggan ibu-ibu kaya Kebayoran, tetapi sekarang ia mesti mencari pemodal asing yang sedia bertransaksi di situ. "Paling tidak fifty-fifty," tutur Tito menyebut targetnya. Langkanya dana lokal di bursa tecermin dari tindakan yang diambil Pesero Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). Ketika pasar sedang marak, tak kurang dari Rp 200 milyar dana Astek ditanamkan di bursa. "Patokannya, 30 persen dari seluruh dana investasi Astek akan disimpan di bursa," kata Djunaedi Ak., direktur keuangannya. Apa boleh buat. Patokan tinggal patokan jika suasana muram seperti sekarang ini. Apalagi sebagai BUMN, Astek juga diminta ikut membeli SBI. Akibatnya, tersunatlah dana yang disisihkan untuk investasi di bursa. Kini, total investasi Astek paling banyak Rp 90 milyar. Sebagian besar obligasi. Kalau toh ada saham, semuanya saham perusahaan industri yang dianggap masih punya prospek baik pada jangka panjang. "Jelas, saham sudah tidak menarik," kata Djunaedi, hambar. Kalau pemodal lokal sudah tersengal-sengal, harapan tinggal pada orang asing. Dan nilai transaksi selama pekan lalu menunjukkan bahwa masih ada secercah sinar. Nilai transaksi rata- rata mencapai Rp 29,2 milyar lebih per hari, dihitung selama delapan hari sejak Sumarlin meluncurkan penyedotan dana itu. Artinya, masih ada pemborongan besar. "Saya berani memastikan 80 persen perdagangan dikuasai asing," kata Tito. Bisa jadi Tito benar. Pemodal asing yang hendak masuk ke Indonesia tentu saja tidak membandingkan investasi saham di sini dengan suku bunga deposito. "Kan mereka tak ingin membeli rupiah," kata Wakil Presiden Bankers Trust Securities, Philip Brewer. Harga saham sekarang terhitung cukup rendah, jadi memang waktunya buat mereka untuk membeli. Mengapa arus tak sederas dulu lagi? Pemodal asing tampaknya masih menimbang-nimbang betul kondisi Indonesia. Pertama, tentu mereka menghitung dampak suku bunga yang sedemikian tinggi pada iklim usaha. Jika ini berlangsung lama, tentu saja pertumbuhan dunia usaha tak akan bisa dipacu, malah mungkin minus. Kedua, pilihan semakin banyak. Bursa Muangthai dan Korea Selatan dalam waktu dekat akan mengalami deregulasi. Mereka membolehkan investor asing langsung masuk membeli saham. Sebelumnya, pemodal asing hanya boleh menyalurkan dananya lewat Reksa Dana atau Investment Fund yang memang dibentuk untuk menampung mereka. "Itu memang tantangan bagi Bursa Indonesia," kata Ketua Bapepam, Marzuki Usman, mengakui. Maka, ia mengimbau semua pelaku bursa, untuk bersikap sebagai profesional benar-benar. Kelebihan lain bursa tetangga itu adalah harganya. Ditinjau dari segi PER, yakni perbandingan antara harga saham dan keuntungan yang didapat, angka di sana sebanding dengan Indonesia yakni antara 16 dan 19 kali. Bedanya, Indonesia men- capai rata-rata PER sebesar itu setelah harga di Jakarta merosot drastis dari indeks di atas 630, April tahun lalu. Artinya, harga saham di Jakarta tadinya terlalu tinggi dan sekarang baru berada pada taraf yang paling pantas. Di negara-negara tetangga, ruang gerak untuk naik ke atas masih luas karena pertumbuhan mereka masih tetap tinggi. Dari semula, ketika bursa sedang bagus-bagusnya, Bapepam tidak membatasi harga saham ketika pertama kali ditawarkan. Itu sebabnya perusahaan yang sedang terjun ke bursa memasang harga setinggi mungkin. Toh waktu itu tetap saja ada yang beli. Sekarang, mekanisme pasar bekerja dan mengembalikan harga ke tempat yang pantas. Jelas, harga yang sudah pas ini susah untuk bergerak cepat dalam waktu singkat. Tak heran bila banyak pihak beranggapan bahwa berbagai kejadian yang memukul pasar modal Indonesia belakangan ini adalah berkah yang tak diduga-duga. "Ada hikmahnya. Sekarang pasar menjadi lebih sehat," kata J.A. Sereh, bekas Direktur Utama PT Danareksa yang sekarang menjadi direktur perusahaan sekuritas. Sejalan dengan mulai menurunnya suku bunga dan redanya spekulasi devisa, bursa tampak berdenyut kembali. Senin ini indeks naik cukup tajam, delapan titik, menjadi 398,4. Pernyataan Pak Harto rupanya benar-benar obat manjur untuk menenteramkan para pelaku bursa. Yopie Hidayat dan Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini