Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Georgia mundur, bob terus

Georgia pasific internasional akan keluar dari indonesia dan menarik diri dari 3 kegiatan patungan di bidang pengusahaan hutan, kayu lapis dan pabrik kertas. (eb)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEORGIA Pacific International, perusahaan kertas dan industri kayu terbesar di Amerika itu akhirnya jadi juga angkat kaki dari Indonesia. Semula GPI diberitakan hanya akan menarik diri dari usaha patungan mendirikan pabrik kertas di Lhok Seumawe, Aceh, yang sudah diteken perjanjiannya November 1982, (TEMPO, 6 Agustus). Tapi pekan lalu, Bob Hasan, rekan usahanya di sini selama hampir 15 tahun, sudah memastikan bahwa GPI juga akan menarik. diri dari tiga kegiatan patungan di bidang kayu lapis dan pengusahaan hutan di Kalimantan Timur. Perundingan mengenai pengalihan saham GPI di PT Georgia Pacific Indonesia, Santi Murni Plywood, dan Kalimanis Plywood Industries kepada Bob Hasan sudah dimulai sejak awal Agustus. "Kami akan berpisah baik-baik, dan saya sudah memastikan akan membeli seluruh saham," ujar Bob kepada wartawan TEMPO, Marah Sakti pekan lalu. Berapa harga beli seluruh saham GPI di ketiga perusahaan itu, Bob menolak mengatakannya. Dia hanya memberikan ancar-ancar bahwa pembayarannya akan "dicicil". Dengan cara itu, dia mengharapkan GPI yang punya 169 jaringan pemasaran di seluruh dunia, akan tetap membantu memasarkan kayu lapis milik mereka. Dan GPI, demikian Bob, juga sudah menyanggupi bakal mendukung pembinaan manajemen. "Jadi soalnya buan karena tidak punya uang," katanya. Penyertaan modal GPI di ketiga perusahaan patungan itu ditaksir meliputi US$ 40 juta. Mula-mula perusahaan itu (1969) mendirikan usaha patungan Georgia Pacific Indonesia yang membabat hutan seluas 350 ribu ha di Kal-Tim. Sesudah 10 tahun, sesuai dengan ketentuan pemerintah, Bob kini jadi pemegang saham mayoritas (75%) di perusahaan yang mengekspor kayu gelondongan tadi. Hampir delapan tahun kemudian keduanya mendirikan perusahaan patungan lagi yang khusus bergerak di bidang industri pengolahan kayu lapis: PT Kalimanis Plywood di Samarinda. Kebutuhan kayu untuk industri ini dipenuhi dari kawasan hutan 350 ribu yang mereka miliki, dan baru 56 ribu ha di antaranya yang diolah. Hampir sebagian besar kayu olahan Kalimanis, yang 50% sahamnya dikuasai Bob, dipasarkan ke AS. Keduanya kemudian mendirikan lagi perusahaan patungan Santi Murni Plywood -- saham GPI di sini 60% -- yang juga menghasilkan kayu lapis, dan punya konsesi hutan 300 ribu ha. Secara gabungan kedua perusahaan patungan itu tahun lalu telah mengekspor 1,2 juta ton kayu lapis, dan tahun ini merencanakan bisa mengekspor 2,3 juta. Adapun sebab utama mundurnya GPI, kata pelbagai sumber, merupakan beleid baru dari direksi baru GPI di Atlanta, Georgia, AS. Karena perusahaan sedang mengalami tekanan keuangan berat, boss perusahaan itu dikabarkan lebih suka bersikap konservatif dalam menjalankan pelbagai perusahaan patungannya. GPI di luar Amerika masih menduduki tempat teratas di antara 31 perusahaan kertas dan industri kayu di AS. Dan tahun lalu, di tengah resesi, hanya meraih keuntunan US$ 52 juta, sedang 1981 hampir US$ 90 juta. Bisnis pembuatan rumah diduga akan meningkat dari 1,1 juta tahun lalu jadi sekitar 1,5 juta unit tahun ini. Tapi GPI yang penjualannya tahun lalu mencapai US$ 5,4 milyar itu, malah menciutkan kegiatannya. Tak hanya di Indonesia, "di Chili kami juga menarik diri," ujar Gerald William White, yang mewakili kepentingan GPI di sini. Penarikan diri GPI berbeda dengan kasus Weyerhaeuser. Industri kayu nomor 2 dari Amerika ini (penjualan tahun lalu US$ 4 milyar) dua tahun lalu tak mau mengalihkan sebagian sahamnya kepada All Truba Indah, rekan usahanya dalam pengusahaan hutan 600 ribu ha di Kalimantan Timur. Sesuai dengan ketentuan pemerintah, sesudah 10 tahun beroperasi, All Truba seharusnya jadi pemegang saham mayoritas di situ, tapi Weyerhaeuser menolak. Pertikaian berakhir dengan keluarnya Weyerhaeuser dari sini akhir 1981. Ketua BKPM Suhartoyo tak melihat keluarnya GPI akan mempengaruhi iklim penanaman. Itu menurut Suhartoyo biasa dilakukan PMA di mana pun di saat induknya mengalami kesulitan keuangan. Salah satu yang sampai sekarang melakukan penciutan, akibat kesulitan keuangan yang diderita induknya di Kanada, adalah perusahaan nikel Inco Indonesia di Soroako, Sul-Sel. Demikian pula PT National Semiconducter (PMA Australia) yang melepas buruhnya dari 2.500 menjadi hanya 700 orang. Dalam hal rencana pendirian pabrik kertas di Lhok Seumawe, Bob Hasan jalan terus. Menurut dia, Bank Eksim di Jepang sudah menyanggupi kredit komersial US$ 167 juta, dan Bob sendiri tengah giat mencari pinjaman sindikasi. Proyek kertas di Aceh berkapasitas 175.000 ton setahun itu, tadinya terdiri dari Georgia Pacific 25%, PT Alas Helau 25%, dan 50% pemerintah Indonesia. Biaya total yang diperkirakan US$ 410 juta itu menurut Suhartoyo memang terasa "berat". Namun Bob Hasan boleh merasa senang, karena proyek itu rupanya tak terkena oleh gunting penjadwalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus