GEORGIA Pacific International, perusahaan kertas dan industri
kayu terbesar di Amerika itu akhirnya jadi juga angkat kaki dari
Indonesia. Semula GPI diberitakan hanya akan menarik diri dari
usaha patungan mendirikan pabrik kertas di Lhok Seumawe, Aceh,
yang sudah diteken perjanjiannya November 1982, (TEMPO, 6
Agustus).
Tapi pekan lalu, Bob Hasan, rekan usahanya di sini selama hampir
15 tahun, sudah memastikan bahwa GPI juga akan menarik. diri
dari tiga kegiatan patungan di bidang kayu lapis dan
pengusahaan hutan di Kalimantan Timur. Perundingan mengenai
pengalihan saham GPI di PT Georgia Pacific Indonesia, Santi
Murni Plywood, dan Kalimanis Plywood Industries kepada Bob Hasan
sudah dimulai sejak awal Agustus. "Kami akan berpisah baik-baik,
dan saya sudah memastikan akan membeli seluruh saham," ujar Bob
kepada wartawan TEMPO, Marah Sakti pekan lalu.
Berapa harga beli seluruh saham GPI di ketiga perusahaan itu,
Bob menolak mengatakannya. Dia hanya memberikan ancar-ancar
bahwa pembayarannya akan "dicicil". Dengan cara itu, dia
mengharapkan GPI yang punya 169 jaringan pemasaran di seluruh
dunia, akan tetap membantu memasarkan kayu lapis milik mereka.
Dan GPI, demikian Bob, juga sudah menyanggupi bakal mendukung
pembinaan manajemen. "Jadi soalnya buan karena tidak punya
uang," katanya.
Penyertaan modal GPI di ketiga perusahaan patungan itu ditaksir
meliputi US$ 40 juta. Mula-mula perusahaan itu (1969) mendirikan
usaha patungan Georgia Pacific Indonesia yang membabat hutan
seluas 350 ribu ha di Kal-Tim. Sesudah 10 tahun, sesuai dengan
ketentuan pemerintah, Bob kini jadi pemegang saham mayoritas
(75%) di perusahaan yang mengekspor kayu gelondongan tadi.
Hampir delapan tahun kemudian keduanya mendirikan perusahaan
patungan lagi yang khusus bergerak di bidang industri pengolahan
kayu lapis: PT Kalimanis Plywood di Samarinda.
Kebutuhan kayu untuk industri ini dipenuhi dari kawasan hutan
350 ribu yang mereka miliki, dan baru 56 ribu ha di antaranya
yang diolah. Hampir sebagian besar kayu olahan Kalimanis, yang
50% sahamnya dikuasai Bob, dipasarkan ke AS. Keduanya kemudian
mendirikan lagi perusahaan patungan Santi Murni Plywood -- saham
GPI di sini 60% -- yang juga menghasilkan kayu lapis, dan punya
konsesi hutan 300 ribu ha. Secara gabungan kedua perusahaan
patungan itu tahun lalu telah mengekspor 1,2 juta ton kayu
lapis, dan tahun ini merencanakan bisa mengekspor 2,3 juta.
Adapun sebab utama mundurnya GPI, kata pelbagai sumber,
merupakan beleid baru dari direksi baru GPI di Atlanta, Georgia,
AS. Karena perusahaan sedang mengalami tekanan keuangan berat,
boss perusahaan itu dikabarkan lebih suka bersikap konservatif
dalam menjalankan pelbagai perusahaan patungannya. GPI di luar
Amerika masih menduduki tempat teratas di antara 31 perusahaan
kertas dan industri kayu di AS. Dan tahun lalu, di tengah
resesi, hanya meraih keuntunan US$ 52 juta, sedang 1981 hampir
US$ 90 juta.
Bisnis pembuatan rumah diduga akan meningkat dari 1,1 juta tahun
lalu jadi sekitar 1,5 juta unit tahun ini. Tapi GPI yang
penjualannya tahun lalu mencapai US$ 5,4 milyar itu, malah
menciutkan kegiatannya. Tak hanya di Indonesia, "di Chili kami
juga menarik diri," ujar Gerald William White, yang mewakili
kepentingan GPI di sini.
Penarikan diri GPI berbeda dengan kasus Weyerhaeuser. Industri
kayu nomor 2 dari Amerika ini (penjualan tahun lalu US$ 4
milyar) dua tahun lalu tak mau mengalihkan sebagian sahamnya
kepada All Truba Indah, rekan usahanya dalam pengusahaan hutan
600 ribu ha di Kalimantan Timur. Sesuai dengan ketentuan
pemerintah, sesudah 10 tahun beroperasi, All Truba seharusnya
jadi pemegang saham mayoritas di situ, tapi Weyerhaeuser
menolak. Pertikaian berakhir dengan keluarnya Weyerhaeuser dari
sini akhir 1981.
Ketua BKPM Suhartoyo tak melihat keluarnya GPI akan mempengaruhi
iklim penanaman. Itu menurut Suhartoyo biasa dilakukan PMA di
mana pun di saat induknya mengalami kesulitan keuangan. Salah
satu yang sampai sekarang melakukan penciutan, akibat kesulitan
keuangan yang diderita induknya di Kanada, adalah perusahaan
nikel Inco Indonesia di Soroako, Sul-Sel. Demikian pula PT
National Semiconducter (PMA Australia) yang melepas buruhnya
dari 2.500 menjadi hanya 700 orang.
Dalam hal rencana pendirian pabrik kertas di Lhok Seumawe, Bob
Hasan jalan terus. Menurut dia, Bank Eksim di Jepang sudah
menyanggupi kredit komersial US$ 167 juta, dan Bob sendiri
tengah giat mencari pinjaman sindikasi. Proyek kertas di Aceh
berkapasitas 175.000 ton setahun itu, tadinya terdiri dari
Georgia Pacific 25%, PT Alas Helau 25%, dan 50% pemerintah
Indonesia.
Biaya total yang diperkirakan US$ 410 juta itu menurut Suhartoyo
memang terasa "berat". Namun Bob Hasan boleh merasa senang,
karena proyek itu rupanya tak terkena oleh gunting penjadwalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini