Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaga Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (Extractive- Industries Transparency Initiative atau EITI) kembali melakukan penilaian terhadap tata kelola industri energi di Indonesia. Itu sebabnya pelaksana tugas Direktur Eksekutif EITI, Eddie Rich, menemui sejumlah pejabat di Tanah Air. Salah satunya komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Laode Muhammad Syarif. Pertemuan itu membahas kerja sama pemberantasan korupsi, khususnya di bidang penjualan minyak.
Sejak menjadi anggota EITI delapan tahun lalu, Indonesia berupaya menerapkan standar untuk transparansi data kepemilikan perusahaan, termasuk transaksi keuangannya. “Akuntabilitas tata kelola di sektor minyak dan gas ini bertujuan mendorong pertumbuhan industri yang optimal,” kata Rich. Di sela-sela kunjungannya ke Jakarta, Rich menerima Putri Adityowati dan Retno Sulistyowati dari Tempo di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, Kamis dua pekan lalu.
Anda bertemu dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Apa hasilnya?
Kami berdiskusi tentang bagaimana reformasi telah berjalan di sektor energi dan bagaimana EITI dapat mendukung serta membawa semua stakeholder di sektor ini berdiskusi berdasarkan data dan fakta. Tujuannya agar pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sipil bisa sama-sama sepakat tentang fakta yang terjadi, apa akibatnya, dan bagaimana kebijakan harus diambil. Kami juga berbicara tentang Filipina, Myanmar, Papua Nugini, dan Indonesia, serta mekanisme setiap negara untuk membuat perusahaan lebih transparan.
Masalah apa yang sering terjadi?
Sangat sulit mengumpulkan setiap data di industri ekstraktif. Ini terjadi di semua negara. Pemilik perusahaan bisa menempatkan perusahaan di perusahaan cangkang atau negara suaka pajak. Walhasil, sulit menemukan pemilik sebenarnya. Jadi tantangannya adalah bagaimana bisa masuk ke perusahaan cangkang itu.
Apakah peraturan di Indonesia membuat bisnis sektor energi membaik?
Saya lihat situasinya terus berubah. Iklim untuk berbisnis makin mudah. Misalnya dalam hal pendaftaran, kebijakan fiskal, dan perjanjian kontrak, meski saat ini masih banyak perdebatan tentang kebijakan cost recovery dan banyak pertanyaan mengenai manajemen badan usaha milik negara. Kami berharap dapat mendiagnosis layaknya seorang dokter, dan diagnosis itu dibuktikan dengan data.
KPK menyatakan hampir 24 persen perusahaan mineral tidak membayar pajak dan negara kehilangan sekitar Rp 20 triliun....
Fakta ini terlihat setelah melalui proses yang jelas. Saya melihat selama ini produksi mereka (perusahaan) selalu sama, tidak berubah, tapi pendapatan kok terus meningkat. Mereka makin maju, tapi saya yakin masih banyak uang yang bocor dari sistem yang ada. Dari situlah kita mencoba masuk lewat implementasi standar EITI. Anda harus dapat menerangkan setiap proyek dari setiap perusahaan, berapa biaya yang telah dibayarkan, dan berapa produksinya. Dengan demikian, Anda dapat mengecek apa saja hal yang bertentangan dengan perjanjian kontrak, atau perizinan, atau perilaku melawan hukum. Jika itu ditemukan, harus ada rekonsiliasi: berapa yang harus mereka bayarkan. Seperti yang dilakukan KPK.
Seberapa krusial implementasi peta jalan tentang beneficial ownership?
Ini isu yang sangat penting. Ada dua aspek masalah yang ada. Pertama, uang ini bisa sewaktu-waktu dibawa keluar dari satu negara ke negara lain. Misalnya seseorang mendirikan perusahaan dan justru mendaftarkannya di British Virgin Islands, kemudian menyatakan di sanalah perusahaannya beroperasi. Artinya, dia tidak membayar pajak di sini. Yang krusial adalah langkah untuk mencegah permainan pajak dan pencucian uang. Ini juga berhubungan dengan hal-hal bermotif politik. Jika ini menyangkut kepentingan publik, kita harus bisa melihat di mana uang seharusnya ditaruh, dan apakah mengalir ke seseorang yang memiliki kepentingan politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo