MUSIM dingin di RRC dan Taiwan seperti sekarang ini, biasanya
oleh petani sayur di Tanah Karo, Sumatera Utara, dijuluki
sebagai "musim madu". Harga kubis (kol) menggairahkan mereka.
Permintaan pun banyak mengalir masuk dari Singapura atau Penang.
Karena sayur dari RRC dan Taiwan, dua negara saingan utama sayur
Indonesia tak banyak memasuki pasaran Singapura.
Tapi saat ini kenyataannya berlainan. "Harga kol hanya Rp 20
sekilo," keluh Perjeki Ginting, 50 tahun, petani kol dari desa
Lingga, Kabupaten Tanah Karo. Sore itu, Ginting sedang mendorong
gerobak penuh berisi sayur-mayur ke halte kolt, sambil
berhenti untuk mengatur nafas ia melanjutkan: "Harga itu hanya
pas-pasan untuk makan. Tapi kalau tak dijual sayur kami bisa
busuk," ujarnya. Padahal di Singapura pasaran kol minggu lalu
mencapai S$ 18 per pikul (1 pikul = 60,5 kg) atau jika dikurs
sekitar Rp 85,10/kg.
Nasib petani sayur di Kabupaten Tanah Karo ini memang lemah.
Lebih mending nasib para eksportir. Mereka tak punya risiko
merugi meskipun sayurnya busuk.
Tergilas
"Memang kami pakai modal Singapura," ujar Koran Karo-karo, 50,
salah satu dari 14 eksportir sayur dengan terus terang. Dengan
begitu eksportir tak punya risiko, dan "itu lebih enak," ujar
Karo-karo yang menjabat Ketua Gabungan Eksportir Sayur Sum-Ut.
Namun sebenarnya posisi mereka tak lebih dari orang gajian,
mengumpul sayur lalu mengirimkannya kepada taukenya di Singapura
atau Penang (Malaysia Barat). Kemudian tinggal terima pembagian
keuntungan, dan beres.
Kondisi ini mengakibatkan Koran Karokaro dkk tak mungkin
menerima keuntungan besar sebagaimana mungkin dapat diraih oleh
eksportir sungguhan. Tapi untuk menjadi eksportir sungguhan
mereka rasakan risikonya terlalu besar. "Pasar dikuasai mutlak
oleh para pedagang Singapura," katanya. Ini dibenarkan oleh
Deradjat Hasibuan, anggota DPRD yang juga Ketua Dewan Koperasi
Sum-Ut. Menurut Hasibuan, kerjasama antara pedagang Singapura
dengan eksportir sayur di Medan "bagaikan mata rantai baja" yang
sulit dihapus. Eksportir yang tak bergabung dengan tauke
Singapura akan tergilas.
Usaha pemasaran sendiri pernah dicoba oleh seorang eksportir
tahun lalu. Tapi ia tak mampu menembus rantai baja itu.
Akibatnya, sayur-mayur itu bukan saja tidak laku dan busuk,
malah terpaksa dibawa kembali ke Medan. Hasibuan keberatan
menyebut nama pedagang sayur Medan yang tergilas itu. Tapi
menurut cerita anggota DPRD Medan itu, akibatnya pengusaha lain
jera mengekspor sendiri.
Kendati demikian, Deradjat Hasihuan tidak putus asa. Apalagi
setelah NTUC (National Trade Union Cooperative) Singapura,
semacam koperasi di sini, bersedia menampung 4000 ton sayur,
terutama kol Indonesia (baca Sum-Ut) setiap bulan. Sayur ini
akan disalurkan kepada 13 super market anggotanya. Syaratnya,
selain harus dimasukkan dalam peti kemas harus diangkut pula
dengan kapal yang memiliki kamar pendingin agar sayur tetap
segar sampai kepada konsumen. Dengan koperasi sayur yang
anggotanya terdiri dari para petani, Hasibuan mengharapkan akan
dapat menembus pasar sekaligus menyaingi sindikat eksportir.
"Suatu ide yang bagus tapi sulit dilaksanakan," komentar
kalangan eksportir. Alasannya sampai kini Indonesia belum
memiliki kapal khusus untuk mengangkut sayur. Lagipula dermaga
peti kemas baru ada di Tanjung Priok.
Ekspor sayur mayur dari Sum-Ut sekitar 20.000 ton setahun. Di
antaranya 60% terdiri dari kol. Sisanya berupa kcntang, bawang
merah dan tomat. Ketika EWP Tambunan mulai menduduki kursi
Gubernur Sumatera Utara, 19 bulan lalu, ia pernah mengatakan
akan menjalankan program terpadu di bidang sayur. Yaitu dengan
mengikut sertakan semua instansi yang terlibat untuk
menggalakkan ekspor sayur ini, termasuk akan menyediakan 3 buah
kapal pengangkut sayur masing-masing berbobot 300 DWT
dilengkapi dengan alat pendingin. Tapi sampai sekarang tampaknya
rencana itu masih tersimpan dalam laci Gubernur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini