ADA satu hal yang masih berat menggayuti RAPBN kita. Utang. Kali ini pembayaran utang dianggarkan lebih besar. Hampir Rp 14,4 trilyun harus dikeluarkan untuk membayar bunga dan cicilan utang. Rp 14,2 di antaranya untuk membayar utang-utang luar negeri. Akibatnya, hampir separuh anggaran rutin tersedot kemari. Dan rutinitas utang ini akan terus terjadi, sampai Indonesia, misalnya, tidak patuh lagi melunasi utang-utangnya. Angka yang semakin besar dari tahun ke tahun memang tak terelakkan. Banyak utang yang dibuat pada tahun 1970-an sudah jatuh tempo, untuk mulai dicicil plus dibayar bunganya. Demikian juga utang-utang baru, yang masa tenggang atau grace period-nya sudah lewat. Lima tahun yang lalu, jumlah cicilan dan bunga untuk utang luar negeri "cuma" Rp 5 trilyun lebih. Lalu terus bertambah sampai di tahun 1991-92, menjadi lebih dari Rp 14 trilyun. Dari tahun ke tahun pertumbuhan cicilan dan bunga yang dibayar juga makin besar, jika dibanding dengan besarnya utang baru. Malah, sejak 1988 cicilan yang dibayar setiap tahun sudah lebih besar dari utang baru yang didapat. Untuk RAPBN sekarang, pemerintah cuma menargetkan akan mendapat utang baru dari luar negeri sebesar Rp 10,4 trilyun. Bisa saja ditafsirkan, gelagat ini menunjukkan semangat pemerintah untuk menekan utang. Atau bisa juga sebagai pertanda semakin sulitnya mencari utang dari luar. Selama ini, utang dari luar negeri, yang di APBN kita disebut Penerimaan Pembangunan, ada dua macam. Bantuan program, yang bisa dianggap sebagai dana tunai dan bantuan proyek, yang berupa proyekproyek yang sudah dipaket oleh negara pengutang. Bantuan proyek ini tak bisa dikutik-kutik lagi. Sedangkan dana dari bantuan program bisa dengan luwes dimanfaatkan oleh pemerintah. Dibelanjakan untuk pembangunan. Lebih enak lagi kalau bantuan program berupa special assistance loan atau bantuan khusus, yang syaratnya lunak dan punya masa tenggang cukup lama. Susahnya, negara donor sekarang semakin pelit. Indonesia, yang sejak 1986 mendapat banyak bantuan gara-gara ambruknya harga minyak, dianggap semakin mampu membiayai program pembangunannya dengan dana milik pemerintah sendiri. Tak pelak lagi, semakin lama semakin terasa betapa sulit mencari bantuan program. Khusus untuk pos yang satu ini, yang dikenal paling "murah hati" adalah Jepang. Kerepotan ini juga tercermin pada RAPBN, yang cuma berani memasok target bantuan program sebesar Rp 1,5 triIyun. Jauh lebih rendah dibanding anggaran tahun lalu, yang hampir Rp 2,9 trilyun. Padahal, "Tak ada utang baru. Itu semuanya komitmen tahun lalu, yang baru dicairkan tahun anggaran mendatang," kata Menteri Keuangan Sumarlin. Tampaknya itu belum cukup. "Mestinya, kalau lebih besar, ya, saya lebih senang," tutur Menteri Negara Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Saleh Afiff. Persoalannya, memang tak gampang mencari pinjaman. Jepang, misalnya, yang sudah menganggarkan 883 milyar yen untuk bantuan luar negeri, sudah panjang diantre negara Eropa Timur. Selain barisan antre yang panjang tadi, alasan Indonesia untuk mendapatkan bantuan khusus juga semakin lemah. "Bantuan itu selalu dikaitkan dengan dua hal," kata Afiff menjelaskan. Yang pertama, negara pengutang tak akan ragu memberi bantuan khusus, jika anggaran pembangunan kita sedang "bengek". Maksudnya, tabungan pemerintah sedemikian minim sehingga perlu dipompa bantuan khusus untuk belanja pembangunan. Alasan kedua yang bisa dipakai: jika neraca pembayaran terancam defisit. Untuk negara minyak seperti Indonesia, kadang harga minyak mau tak mau dibawa-bawa juga. Maka, jika harga minyak sedang panas seperti sekarang, semakin sulit mencari bantuan khusus yang lunak itu. Menyerah? Belum. Indonesia tampaknya masih akan mengutus Prof. Widjojo Nitisastro ke Jepang untuk merundingkan bantuan. Senjata yang bisa dibawa adalah neraca pembayaran kita yang agak mengkhawatirkan. Untuk tahun 1991-92 nanti, ditargetkan masih ada sedikit surplus sebesar US$ 904 juta. Cuma dasar perhitungannya agak rawan. Defisit pada transaksi berjalan misalnya masih akan tetap besar, diperkirakan mencapai US$ 2,4 milyar. Ini pun sudah dengan perhitungan yang sangat optimistis. Target ekspor nonmigas, misalnya, dipasang jauh tinggi pada angka US$ 18,7 milyar, dibanding perkiraan realisasi tahun ini yang cuma US$ 15,9 milyar. Tentu perlu usaha keras untuk mencapai target yang agak ambisius itu. Sementara itu, proyeksi impor nonmigas cuma diperkirakan sebesar US$ 20,7 milyar, dibanding perkiraan realisasi tahun ini, yang tercatat US$ 18,7 milyar. Jika merujuk pertumbuhan impor selama setahun terakhir, tampaknya impor nonmigas akan jauh lebih besar dari proyeksi itu. Apalagi investasi sepanjang tahun lalu meledak keras sebesar Rp 60 trilyun. Investasi sebesar ini jelas akan memicu pertumbuhan impor yang luar biasa pula. Dengan proyeksi yang sangat optimistis itu pun, masih terselip bantuan program sebesar US$ 278 juta. Jadi, paling tidak harus ada bantuan program sebesar itu, untuk menjaga agar neraca pembayaran kita tetap plus US$ 904 seperti yang diharapkan. Dan bahwa kemungkinan target-target tidak tercapai, hal itu belum diperhitungkan. Maka, untuk selamat, memang ada dua cara. Bekerja keras agar semua target tercapai. Atau bekerja keras meyakinkan Jepang, agar memberi bantuan khusus lebih besar lagi buat kita, di tahun 1991-92 ini. YH TABEL --------------------------------------------------------- . Peranan pembayaran utang luar negeri . dalam pengeluaran rutin 1987/88-1991/92 . (dalam milyar rupiah) --------------------------------------------------------- Tahun Bunga dan cicilan Jumlah Anggaran Utang luar negeri Pengeluaran rutin Persentase --------------------------------------------------------- 1987/88 8.165,5 17.481,5 46,7 1988/89 10.826,6 20.739,0 52,2 1989/90 11.789,9 24.331,1 48,5 1990/91 12.739,2 26.648,1 47,8 (APBN) 1991/92 14.129,5 30.557,8 46,2 (RAPBN) ---------------------------------------------------------
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini