Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mosi tidak percaya agaknya bakal segera dilayangkan ke Komite Minyak Sawit Lestari (Roundtable on Sustainable Palm Oil—RSPO). Lembaga ini didirikan bersama oleh pelaku industri sawit seperti pekebun dan pabrikan, konsumen, serta lembaga pemerhati lingkungan di Zurich, Swiss, pada 8 April 2004. ”Forum ini dibentuk karena peran industri sawit yang makin signifikan dalam penyediaan pangan,” kata Derom Bangun, Wakil Presiden II RSPO.
Saat ini, ada 382 anggota RSPO dari 38 negara—74 di antaranya dari Indonesia. Setelah terbentuk, RSPO lantas menetapkan 8 prinsip dan 39 kriteria industri sawit lestari. Separuh dari prinsip atawa rukun wajib itu erat kaitannya dengan masalah lingkungan, antara lain penggunaan praktek terbaik oleh perkebunan dan pabrik, tanggung jawab lingkungan dan konservasi alam, pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab, serta komitmen terhadap perbaikan wilayah.
Derom mengatakan prinsip dan kriteria yang ditetapkan RSPO bersifat sukarela. Tapi, dalam prakteknya, hal itu menjadi semacam lisensi yang wajib dikantongi pelaku industri sawit. ”Jika ingin mendapat pengakuan internasional sebagai produsen yang bertanggung jawab kepada lingkungan,” katanya.
Untuk memperoleh sertifikasi produsen sawit lestari, pekebun atau pabrikan wajib menjalani audit oleh lembaga yang ditunjuk RSPO. Tentu saja semua ini tak gratis. Derom memerinci, harga yang kudu dibayar untuk proses sertifikasi dari praaudit, audit, hingga penilaian laporan audit berkisar US$ 20 per hektare lahan. ”Prosesnya bisa sampai tujuh bulan,” ujarnya.
Di Indonesia saat ini baru tiga perusahaan yang mengantongi sertifikat RSPO, yaitu PT PP London Sumatera, PT Hindoli (Cargill), dan PT Musim Mas. Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, mengakui ada semacam keengganan pelaku mengurus sertifikat RSPO karena tak ada kompensasi langsung. ”Sekalipun sertifikat sudah didapat, harga yang diperoleh toh sama saja, bukan harga premium,” katanya.
Ada alasan yang lebih menohok. Fadhil mengungkapkan, saat ini, pelaku industri sawit Indonesia cenderung tak percaya kepada RSPO lantaran minimnya peran lembaga itu dalam menyelesaikan masalah. Anggota dari Indonesia, kebanyakan dari komponen pekebun dan pengolah, merasa ditekan terus-menerus oleh isu perusakan lingkungan dan tak mendapat fasilitas penyelesaian dari RSPO.
Salah satunya kasus penghentian pembelian minyak sawit dari Sinarmas oleh Unilever dan Nestle menyusul laporan Greenpeace yang menuding raksasa sawit Indonesia itu merusak hutan di Kalimantan. ”Persoalan itu tak diselesaikan di forum RSPO, padahal pihak-pihak yang bermasalah itu tercatat sebagai anggota,” ujarnya.
Tony Hermawan Koerhidayat, Wakil Presiden Direktur Astra Agro Lestari, mengatakan pekebun sebenarnya menggantungkan harapan besar pada RSPO. Tapi posisinya makin tak imbang. ”Hanya dipandang merusak lingkungan.” Direktur Eksekutif Yayasan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia Purwo Susanto menambahkan, kini tak ada lagi kesetaraan seperti yang terkandung dalam filosofi RSPO. ”Meja itu kini tak lagi bundar,” katanya.
Kepentingan pekebun sawit dari Malaysia, Indonesia, Amerika Latin, dan Papua Nugini kerap kalah lantaran posisinya tak dominan dalam badan eksekutif RSPO. Dari 16 anggota badan eksekutif, porsi pekebun hanya empat orang. Sisanya kebanyakan berasal dari negara Uni Eropa. ”Tak heran kalau voting kalah terus,” kata mantan anggota badan eksekutif RSPO ini.
Karena pengaruh negara Eropa begitu kuat, kerap terjadi pemaksaan penerapan kriteria standar. Purwo mencontohkan penetapan kategori hutan primer serta lahan gambut. Aturan Indonesia membolehkan penanaman baru di atas lahan gambut dengan kedalaman kurang dari tiga meter. ”Namun ada pemaksaan standar organisasi tertentu yang sama sekali melarang penanaman di hutan gambut,” ujarnya.
Agar tak terus diobok-obok, Kementerian Pertanian lantas menggodok rancangan untuk pedoman penanaman sawit berjulukan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Butir-butirnya antara lain merujuk pada prinsip RSPO yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. ”Rancangannya tengah dimatangkan dengan mengakomodasi masukan pihak-pihak terkait,” kata Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Achmad Mangga Barani.
Hanya, kata Derom, ada satu soal yang bakal rumit, yakni pengakuan internasional atas pengelolaan sawit yang mengakomodasi konsumen. ”Ibarat izin mengemudi, belum tentu SIM lokal diakui secara internasional.”
Fery Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo