Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<Font size=2 color=#FF0000>Industri Sawit</font><br >Ekspansi di Tengah Ancaman

SMART menunjuk konsultan independen CUC dan BIS untuk memverifikasi tuduhan Greenpeace tentang pelanggaran lingkungan. Ekspansi tidak berhenti.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKTU tidur Daud Dharsono terganggu beberapa pekan terakhir. Presiden Direktur PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. alias SMART ini terpaksa merampungkan pekerjaan kantor di rumah. Jam kerjanya tersita untuk melayani telepon dari sana-sini, termasuk teleconference dengan Unilever. Perusaha­an Belanda ini merupakan salah satu pembeli minyak sawit SMART. ”Tiap malam, berkas satu tas penuh saya bawa pulang,” kata dia kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Kesibukan Daud meningkat sejak Unilever Global memutuskan perjanjian jual-beli CPO dengan SMART pada 13 Maret lalu. Produsen consumer goods terbesar dunia itu tidak memperpanjang lagi kontrak yang berakhir pada 1 April 2010. Eh, sepekan berikutnya, giliran produsen makanan dunia Nestle melakukan hal yang sama. Bedanya, kontrak Nestle baru kedaluwarsa pada akhir April.

Pemutusan kontrak itu adalah buntut dari laporan Greenpeace: ”Caught Red-Handed: How Nestlé’s Use of Palm Oil is Having a Devastating Impact on Rainforest, the Climate and Orang-utans”. Hasil investigasi yang dirilis pada Desember 2009 itu menyebutkan Sinar Mas Group mengkonversi lahan secara tidak benar alias ilegal dengan menanam sawit di lahan gambut, hutan alam, dan habitat orangutan.

Aktivis Greenpeace unjuk rasa ke kantor pusat Nestle di Inggris, Jerman, dan Belanda, 10 Maret lalu. Sebagian mengenakan kostum orangutan, mereka meminta produsen makanan dan mi­numan dunia itu menyetop pembelian minyak sawit dari produsen CPO terbesar Indonesia itu, termasuk pembelian dari pihak ketiga (Cargill), yang menampung CPO SMART. Mereka menuntut SMART menghentikan pembukaan hutan dan lahan gambut di area konsesi.

Cargill merespons. Mereka menganggap isu tersebut sangat serius. Maka, ­Senin pekan lalu, produsen dan pemasar produk pangan, pertanian, serta jasa keuangan internasional itu meminta ­kla­rifikasi. Seorang manajemen Cargill telah menghubungi petinggi SMART. Roundtable Sustainable Palm Oil atawa RSPO—lembaga yang menaungi para pemangku kepentingan industri minyak sawit—pun didesak meninjau masa­lah ini.

Cargill memberikan tenggat kepa­da Sinar Mas untuk memberikan jawaban pada akhir bulan ini. Bila RSPO menguatkan tuduhan Greenpeace, dan Sinar Mas tidak mengambil tindakan perbaikan, Cargill juga akan memutus kontrak.

Sinar Mas tak tinggal diam diserang dari segala penjuru. Perusahaan milik keluarga Widjaya ini pun menunjuk dua perusahaan konsultan global, Kamis pekan lalu. Peterson-Control Union Certification, lembaga sertifikasi asal Belanda, dan British Standard Institution, bermarkas di London. Menurut Daud, Sinar Mas bekerja sama dengan kantor perwakilan CUC di Kuala Lumpur, Malaysia, dan BSI cabang Singapura.

Penunjukan konsultan tersebut, kata Daud, melalui proses konsultasi dengan Unilever, termasuk kerangka kerja sebagai acuan. Juga telah mendapat restu RSPO. Diharapkan mereka bekerja profesional, ilmiah, dan membuahkan kesimpulan yang obyektif. Sehingga tidak perlu lagi verifikasi ulang. Dengan langkah ini, kata Daud, Sinar Mas ingin menunjukkan komitmen perusahaannya terhadap produksi minyak sawit berkelanjutan.

Ancaman Unilever, Nestle, dan Cargill tentu tak bisa dianggap enteng. Juru bicara Unilever Indonesia, Maria Dewantini Dwianto, mengatakan bahwa per­usahaannya memesan 47 ribu ton dalam kontrak yang dibikin pada September 2009 senilai US$ 35 juta. Sedangkan Nestle mengkonsumsi 4.000 ton setahun. Cargill, dalam laporan Greenpeace, adalah pembeli utama Sinar Mas. Cargill lalu mengapalkan CPO Sinar Mas ke India, Belanda, Italia, dan Jerman, salah satunya ke Nestle.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joefly Joesoef Bahroeny mengkhawatirkan, persoalan ini tidak hanya akan meluruhkan penjualan Sinar Mas, tapi juga mencoreng nama Republik Indonesia. Makanya, ia melanjutkan, pemerintah mesti aktif membantu menyelesaikan masalah ini. ”Jangan sampai meluas,” katanya.

Gapki berharap betul, ­negosiasi SMART dengan para konsumennya ber­akhir bagus. Daud mengungkapkan, SMART terus berkomunikasi dengan Unilever, Nestle, Cargill, dan mit­ra lain. Intinya, tuduhan terhadap SMART masih harus diverifikasi. Karena itu, penunjukan lembaga sertifikasi asal Belanda dan Inggris itu segera dikabarkan kepada para kolega.

Saat ini SMART menunggu hasil kerja konsultan independen. Nantinya, laporan mereka akan diumumkan. Namun belum ada kepastian apakah Unilever akan mengubah kebijakan bila tim independen menyatakan SMART benar. Hal tersebut tidak termasuk poin yang dinegosiasikan. Juru bicara Unilever, Maria, mengatakan, begitu ada bukti bahwa laporan Greenpeace tidak benar, atau SMART telah melakukan perbaikan, Unilever Global siap mempertimbangkan keputusan.

Toh, rencana menyandingkan kajian tim independen dengan laporan Greenpeace tak membuat lembaga swadaya masyarakat internasional itu keder. Juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Joko Arif, optimistis lembaganya tidak mengeluarkan laporan asal-asalan. Intinya, kata dia, apa yang disampaikan Greenpeace bisa dibuktikan bahwa Sinar Mas memang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan.

l l l

Kasus Sinar Mas agaknya tak membuat industri sawit Indonesia surut. Industri sawit bahkan tak mengoreksi target produksi yang telah ditetapkan sebanyak 23 juta ton tahun ini. Sebab, Joefly menambahkan, permintaan minyak nabati dunia luar biasa. Kebutuhan Cina dan India terus bertambah. Kalaupun pasar Eropa menutup pintu sama sekali, produksi CPO Indonesia masih bisa dikapalkan ke negara lain.

Menurut Direktur PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra ini, ekspansi lahan dan produksi akan terus dilakukan untuk mengejar mimpi memproduksi 40 juta ton pada 2020. Rencananya, lahan baru akan dibuka rata-rata 500 ribu hektare setahun. Tahun lalu, realisasi pembukaan area baru 150 ribu hektare. Tahun ini akan diupa­yakan sejuta hektare, sehingga total kebun sawit nasional menjadi 8,3 juta ­hektare.

SMART, misalnya. Kendati ­dilanda gonjang-ganjing, tetap berencana membuka lahan baru 30 ribuan hektare di Kalimantan Barat. Sehingga meningkatkan luas kebun yang saat ini 120-130 ribu hektare. Secara keseluruhan, Sinar Mas nantinya akan memiliki konsesi 500 ribu hektare, termasuk 110-130 ribu hektare area plasma.

Namun tak mudah mendapatkan lahan. Daud mengatakan SMART tidak mengklaim tidak pernah melakukan kesalahan dalam membuka kawasan. Ia mengakui kontraktor di lapangan pernah kebablasan ”mencaplok” la­han yang ganti ruginya belum dibayar. Selain itu, mereka pernah mene­rabas ­area gambut meskipun sudah diberi tanda untuk tidak dibuka. Bila hal itu terjadi, kata Daud, mereka diminta mundur dulu, menyelesaikan ganti rugi, atau memperbaiki lahan dengan menanam kembali.

Soal lain adalah tumpang-tindihnya aturan antara pemerintah pusat dan daerah. Di suatu kabupaten, misalnya, kata dia, suatu kawasan masuk kategori area penggunaan lain. Tapi, menurut Kementerian Kehutanan, tergolong hutan produksi terbatas, sehingga tidak bisa dipakai. Jika hendak memperluas area sawit, Joefly berharap pemerintah segera membereskan masalah itu. ”Itu barang lama, cara-cara kuno,” kata Joko Arif. Ia mengatakan sistem yang tumpang-tindih itu kerap dijadikan tameng industri. Mestinya peng­usaha mendorong pemerintah membuat aturan yang baik. ”Jangan justru bersembunyi di balik itu.”

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan juga menegaskan, tidak ada aturan pusat-daerah yang bentrok. Ia menjelaskan, ketentuan penggunaan hutan sudah pasti. Hutan konversi untuk flora dan fauna, hutan lindung untuk resapan air. Keduanya tak boleh digarap. Bila ada yang nekat, ancaman 10 tahun penjara telah menanti.

Kawasan lain, hutan produksi boleh ditebang, lantas ditanami kembali. Hutan konversi boleh diubah menjadi perkebunan sawit, waduk, dan lainnya. Syaratnya, ada pelepasan lahan atawa tukar lahan. Masih ada area penggunaan lain, meliputi 40 persen luas daratan, yang boleh dimanfaatkan untuk apa saja.

Masalahnya, kata Zulkifli, saat ini banyak perkebunan sawit ilegal. Kalaupun mengantongi izin, cuma sampai tingkat bupati. Pemerintah tengah me­nertibkan kebun-kebun haram itu. Kementerian Kehutanan telah membentuk tim terpadu yang melibatkan kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pembe­rantasan Korupsi. Pelaku usaha liar diminta segera menertibkan diri. ”Kalau sudah ditangani tim, tidak ada pilihan: pidana.”

Retno Sulistyowati, Fery Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus