Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<Font size=2 color=#FF0000>Terigu</font><br />Mengadang Terigu Turki

Terigu impor dari Turki bakal terkena bea masuk antidumping. Produsen makanan akan sulit mendapatkan terigu murah.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah berpagar besi putih dan bercat tembok hijau di Perumahan Bukit Waringin Blok E7 Nomor 25, Kedung Wari­ngin, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor, terlihat asri. Sri rejeki dan anggrek tertata rapi di sudut sudut teras. Bambu bambuan dan beberapa pohon besar di taman depan rumah menambah teduh hunian tipe 21 itu.

Di rumah minimalis itu, ­Azuddin Achmad, 52 tahun, menggerakkan PT Tigajaya Cahaya Lestari, perusahaan kecil kecilan penyalur tepung terigu impor dari Turki. Untuk menjaring pembeli, akuntan di sebuah per­usahaan swasta nasional ini memasang iklan penawaran di Internet. ”Pemesanan bisa lewat e mail atau langsung menghubungi saya,” kata Azuddin di Bogor, Kamis pekan lalu.

Azuddin tak sendirian. Di dunia maya belakangan ini bermunculan perusahaan yang menjajakan terigu asal Turki. Promosinya menarik. Harga terigu dari negeri dua benua ini memang jauh lebih murah dibanding harga terigu lokal, yang rata rata mencapai Rp 6.000 per kilogram. Sekilo terigu impor dari Turki hanya dijual Rp 4.800 5.000.

Miringnya harga terigu Turki itulah yang membuat produsen terigu di Indonesia gerah. Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) pun menuding para eksportir terigu Turki menjual harga produknya di Indonesia lebih murah dibanding di dalam negeri­nya sendiri alias melakukan dumping. Sesuai dengan perjanjian Badan Perdagangan Dunia (WTO), setiap negara dilarang melakukan dumping.

Ditemui Tempo di ruang kerjanya pekan lalu, Direktur Eksekutif Aptindo Ratna Sari Loppies menyodorkan beberapa data. Harga terigu di Turki, kata dia, setara dengan Rp 138 ribu per sak (25 kilogram). Tapi harga ekspornya ke Indonesia hanya Rp 85 ribu per sak. Di pasar, terigu tersebut dijual Rp 92 93 ribu per sak, lebih murah dibanding terigu lokal, yang sampai Rp 115 ribu. ”Produsen dalam negeri dirugikan,” katanya.

Tudingan dumping sebenarnya tak hanya ditujukan kepada terigu dari Turki, tapi juga terigu dari Sri Lanka dan Australia. Kisahnya bermula tiga tahun lalu. Pada Oktober 2007, PT Eastern Pearl FM, PT Sriboga Raturaya, dan PT Panganmas Inti Persada mengajukan petisi ke Komite Anti Dumping Indonesia agar mengenakan bea masuk antidumping bagi terigu dari trio negara tersebut.

Komite lalu menggelar investigasi sejak Oktober 2007 hingga November 2008. Komite telah mengumumkan hasilnya pada 28 Desember tahun lalu. Kesimpulannya, kata Ketua Komite, Halida Miljani, eksportir terigu tiga negara itu terbukti membanting harga. Tapi impor terigu dari Sri Lanka dan Australia tidak berdampak negatif terhadap industri terigu nasional lantaran jumlahnya terus menurun.

Sebaliknya, terigu dari Turki berdampak negatif bagi terigu lokal karena jumlahnya terus meningkat. Walhasil, Komite merekomendasikan ha­nya terigu Turki yang diberi sanksi bea masuk antidumping 8 21 persen. Rekomendasinya sudah disampaikan kepada Menteri Perdagangan. ”Menteri Perdagangan juga sudah mengusulkannya kepada Menteri Keuangan,” ujar Halida, yang juga anggota staf ahli Menteri Perdagangan.

Alih alih memutuskan, Kementerian Keuangan melemparkan bola panas ini ke kantor Menteri Koordinator Perekonomian. Tiga bulan sudah berlalu, tapi sampai kini Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa belum juga membuat keputusan. Hatta belum bisa dimintai tanggapan. Pertanyaan Tempo lewat pesan pendek (SMS) belum direspons hingga artikel ini naik cetak.

l l l

Sejatinya terigu bukan pangan asli Indonesia karena bahan bakunya gandum yang masih diimpor. Tapi terigu sudah menjadi bahan pangan strategis bagi masyarakat Indonesia. Kebutuh­annya juga besar, mencapai 4 juta ton per tahun. Produsen terigu dalam negeri mampu memasok sekitar 3,3 juta ton per tahun. Sisanya, 600 ribu ton, diimpor.

Selama ini, pasar terigu nasional hanya dikuasai lima produsen besar. PT Bogasari Flour Mills masih merajai pasar dengan pangsa 57 persen, kemudian Eastern Pearl, Sriboga, Panganmas, dan Pundi Kencana menguasai sekitar 20 persen, dan 7,8 persen diperebutkan oleh belasan produsen terigu kecil. Porsi terigu impor hanya 15,5 persen. Total jenderal, fulus yang berputar di bisnis ini mencapai Rp 25 triliun setahun.

Besarnya dominasi Bogasari di pasar terigu tak pelak menimbulkan kecurigaan. Ribut ribut permintaan bea masuk anti dumping terigu Turki didu­ga tak lepas dari kepentingan perusahaan milik Grup Salim itu. ”Pangsa pasar Bogasari akan makin tergerus bila terigu Turki tak dibendung,” kata sumber Tempo di Jakarta pekan lalu. Bogasari dan kawan kawan juga akan kehilangan pendapatan lumayan gede karena duit Rp 1,5 triliun pindah ke importir terigu Turki.

Dia membisikkan, ada sepuluh importir terigu Turki. Beberapa di antaranya merupakan perusahaan makanan dan biskuit. Importir itu antara lain PT Siantar Top dan PT Shindo Tiara Tunggal (unit usaha Siantar Top). Keduanya produsen makanan anak anak, biskuit, dan mi. Selanjutnya ada PT Jaklin Komoditindo, PT Tekindo Impex, PT Exindokarsa Agung, PT Global Agri Sejahtera, PT Jakarta Sereal, dan PT Ultra Prima Abadi. Ultra Prima merupakan unit usaha Orang Tua Group yang memproduksi wafer Tango. ”Beberapa importir itu menjual terigu dari Turki ke Mayora, Danone, dan lainnya,” katanya di Jakarta pekan lalu.

Seandainya bea masuk antidumping terigu Turki diterapkan, kata sang sumber, Bogasari jelas paling diuntungkan. Terigu impor menjadi tak menarik lagi. Buntutnya, perusahaan perusahaan ma­kanan tadi harus menambah pembelian terigu ke Bogasari. ”Harga juga akan bergantung ke Bogasari karena mereka penentunya.”

Franciscus Welirang, Wakil Direktur Utama PT Indofood Sukses Makmur Tbk., induk usaha Bogasari, membantah tudingan miring itu. Menurut Franky—sapaan akrabnya—Boga­sari tak termasuk perusahaan yang mengajukan petisi kepada Komite Anti Dumping. ”Kawan kawan yang berkepentingan,” katanya di Jakarta pekan lalu. Bogasari, ujar Franciscus, merasa serba salah. Ikut atau tidak dalam petisi, Bogasari tetap akan dituding berada di balik tiga perusahaan yang mengajukan proteksi dagang.

Ratna Sari Loppies mengakui produsen makanan dan mi non Indofood merupakan konsumen utama terigu dari Turki. Tapi dia membantah Bogasari berada di balik usul pengenaan bea masuk antidumping itu. ”Bogasari hanya mendukung,” ujarnya. Ratna meyakinkan, pengenaan bea masuk antidumpingerigu Turki hanya untuk melindungi produsen terigu kecil. Jika tidak ada tambahan pajak impor, kata dia, itu justru akan makin memicu Bogasari dan importir Turki memonopoli pasar terigu nasional. ”Produsen lain akan kolaps,” paparnya.

Rencana pemerintah memutuskan bea masuk antidumpingatas terigu ­Turki tampaknya akan membentur batu karang. Asosiasi Pengusaha Industri Pa­ngan Indonesia (Aspipin) dengan lantang menolak tambahan pungutan impor itu. Alasannya, menurut Ketua ­Aspipin Boediyanto, para produsen pangan merupakan konsumen utama terigu dari Turki. Mereka terdiri atas perusahaan mi skala kecil dan menengah, perusahaan biskuit, dan perusahaan makanan lainnya. Bila bea masuk antidumping direalisasi, harga terigu Turki akan melonjak tajam. ”Pengusaha pangan akan kehilangan kesempatan mendapatkan bahan baku murah,” ujarnya.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha ikut nimbrung dalam urusan ini. Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha Didik Akhmadi mengingatkan, dalam struktur pasar terigu yang oligopolistik, pengenaan bea masuk antidumping terigu Turki justru akan membuat persaingan usaha makin tak sehat. ”Bisa mendorong penyalahgunaan posisi dominan oleh perusahaan tertentu,” katanya.

Buntutnya, ujar Didik, konsumen dan industri hilir akan dirugikan karena tak bisa mendapatkan terigu murah. Pengamat pertanian H.S. Dillon menambahkan, bea masuk antidum­ping terigu tak tepat karena memproteksi konglomerat. ”Tidak ada petani yang dilindungi,” ujarnya.

Sejauh ini, Kedutaan Turki di Jakarta belum mau buka suara. Pertanyaan Tempo kepada atase perdagang­annya belum direspons. Adapun Sekretaris Jenderal Asosiasi Perdagangan Turki Indonesia (TITA) Cemalettin Aydogan meminta pemerintah Indonesia tidak emosional dalam memutuskan sanksi perdagangan, yang justru bisa kontraproduktif bagi hubungan bisnis kedua negara.

Padjar Iswara, R.R. Ariyani, Nieke Indrietta, Diki Sudrajat (Bogor)

Impor Terigu dari Turki (ton)

200544.235
200657.553
2007172.827
2008227.472
2009382.145

Sumber: Badan Pusat Statistik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus