Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak banyak yang tahu bahwa Didi Petet mampu membaca kitab-kitab yang ditulis dengan aksara Arab Jawi. Memang, kemampuan unik yang dimiliki aktor senior itu kini agak berkurang. Namun, Didi boleh berharap dapat kembali mengasah kebisaannya itu setelah tabloid Cahaya Nusantara terbit. Menurut Syu’bah Asa, Pemimpin Redaksi Cahaya, ini adalah tabloid pertama di Indonesia yang menggunakan aksara Arab Jawi sebagai medium komunikasinya.
Didi mempelajari Arab Jawi saat duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dulu. Arab Jawi adalah aksara Arab gundul yang dibaca dalam bahasa Indonesia (pegon) dan ditulis dari kanan ke kiri sebagaimana bahasa induknya, Arab. Tak mengherankan, saat mendengar Cahaya Nusantara yang menggunakan huruf pegon telah terbit, dia amat antusias. “Sekalian untuk memperlancar kembali kemampuan membaca,” katanya. Sudah lama, memang, Didi tak bertemu buku atau naskah beraksara Arab Jawi.
Cahaya Nusantara terbit pertama kali pada Oktober 2006. Hingga kini Cahaya yang dicetak 20 ribu eksemplar setiap edisi ini sudah mengancik edisi kelima. Taufik Effendy, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, yang mencetuskan ide penerbitan tabloid khas itu. Kendati belajar di sekolah umum dan kemudian berkarier di kepolisian, Taufik memang sangat dekat dengan dunia pesantren. Dia adalah keturunan ketujuh ulama besar dari Banjarmasin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjar.
Cita-cita menerbitkan tabloid beraksara Arab Jawi memang sudah lama dipendamnya. Dia risau karena dari hari ke hari pemakai aksara ini kian sedikit. Taufik khawatir budaya beraksara Arab Jawi bakal tergilas tulisan Latin. Memang, masih ada naskah-naskah kuno di museum yang menggunakan aksara Arab Jawi. “Tapi yang mampu membacanya hanya segelintir,” kata dia. “Padahal, Arab Jawi lebih dulu dikenal masyarakat Indonesia.”
Alasan lainnya, dia juga iri melihat sejumlah koran berbahasa Tionghoa dapat tumbuh dan bertahan di Indonesia. Maka, ia memancang tekad merawat aksara pegon dengan menerbitkan tabloid ini. Dia berharap komunitas pesantren bakal menerimanya.
Secara matematis, perhitungan Taufik cukup beralasan. Di Indonesia saat ini sekurang-kurangnya ada 68 ribu pesantren dan 120 ribu madrasah. Belum lagi sekolah milik Muhammadiyah dan sekolah tinggi agama lainnya. Di luar itu masih ada organisasi Islam dan lembaga keuangan syariah yang diharapkan juga kepincut pada media baru ini.
Namun, urusan pasar tak semudah itu. Penghalang pertama, kata Syu’bah, adalah tak banyak lagi anggota masyarakat yang masih mengenal Arab Jawi, apalagi yang fasih membaca huruf-huruf Arab Jawi ini. Bisa jadi, Didi Petet adalah salah satu perkecualian. Di lingkungan pesantren pun, kata dia, hanya 50 persen yang masih paham. Toh, mereka maju terus.
Alasan utama untuk tidak surut, kata Pemimpin Umum Cahaya Nusantara, Dini Kusdiani, adalah karena penerbitan tabloid ini bukan proyek untuk mencari keuntungan. Itu sebabnya, sejauh ini Cahaya masih dibagikan secara gratis ke pesantren-pesantren dan lembaga lain. Untuk bertahan, tabloid itu mengandalkan modal awal dan iklan. Ternyata hasilnya pun masih cekak. Pernah, memang, mereka mencoba menjajakan Cahaya Nusantara ke pasar, tetapi kios-kios koran ogah menjualnya. “Bahkan sekadar hanya untuk memajangnya pun tidak,” kata Dini.
Bagaimana dengan isi? Meski Cahaya Nusantara sudah diposisikan sebagai tabloid budaya dan agama, Syu’bah dan timnya mengaku masih meraba-raba selera pembacanya. Tak mengherankan jika tema-tema tulisannya merentang jauh, mulai dari memperbincangkan naskah Islam kuno, konflik di Poso, sampai urusan energi alternatif biosolar, pembalap Alexandra Asmasoebrata, atau tanaman hias adenium.
Kendati demikian, dengan keunikannya itu, Cahaya Nusantara mencoba bertarung di pasar media di Indonesia yang sangat padat ini. Syu’bah yakin, kalau komunitas Arab Jawi kelak terbentuk, tabloidnya bakal langgeng. “Kan tidak ada pesaingnya,” katanya.
Sapto Pradityo, Reh Atemalem
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo