Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Pasir Gelap ke Negeri Singa

TNI Angkatan Laut menangkap lima tongkang penyelundup pasir ke Singapura. Sudah berlangsung sejak 1976.

12 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDUNG hitam menggelayut di langit Selat Singapura, Selasa dini hari pekan lalu. Angin menebas muka laut, membuncahkan ombak setinggi tiga meter. Di tengah cuaca tak bersahabat itu enam kapal perang RI (KRI) berpatroli, didukung satu pesawat Nomad (patroli) yang melayang rendah. ”Kami menutup jalur perairan menuju Singapura,” kata Laksamana Muda TNI Muryono, Panglima Armada RI Kawasan Barat.

Ini bukan tugas rutin. Biasanya cuma tiga kapal perang yang berpatroli. TNI AL memang curiga: penyelundup pasir memanfaatkan cuaca buruk untuk beraksi. Kecurigaan ini kemudian terbukti. Radar KRI Siliman menangkap gerakan sebuah tongkang yang bergerak dari Pulau Moro, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, mengarah ke Singapura.

Tongkang ini dihadang di kawasan Selat Combol, Riau. Tongkang berbendera Singapura dengan nama Winstar Victory itu mengangkut 1.650 meter kubik pasir. Winstar kemudian digiring menuju dermaga Tanjung Balai Karimun.

Dalam perjalanan, KRI Siliman mendapat informasi ada tongkang lain sedang membelah Selat Riau dengan kecepatan 3-4 knot per jam menuju Singapura. Dari kecepatannya, tongkang itu dipastikan membawa beban berat. ”Kami sudah menduga mereka mengangkut pasir,” kata Laksamana Pertama Denny Novendy, Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Barat. Informasi itu diteruskan ke KRI Anakonda, yang posisinya berdekatan dengan Selat Riau.

Dengan kecepatan 18 knot, KRI Anakonda memburu tongkang yang kemudian diketahui bernama Asia Queen itu. Sekitar tiga mil menjelang perbatasan Singapura, tongkang berbendera Mongolia itu ditangkap pada pukul 04.00. ”Jika sudah berada di perairan Singapura, kami tidak bisa menangkapnya,” kata Denny. Di atas Asia Queen ditemukan 850 meter kubik pasir.

Dalam operasi yang dilakukan sejak pukul 00.00 hingga 16.30 WIB itu, TNI Angkatan Laut menangkap lima tongkang pengangkut pasir ke Singapura, termasuk Winstar dan Asia Queen. Tiga lainnya adalah Sing Lian Huat (berbendera Indonesia), Golden Anchor (Indonesia), dan LCH 8978 (Singapura).

Secara formal, semua tongkang itu mengangkut pasir milik perusahaan lokal yang berkantor di kawasan Kepulauan Riau. Misalnya Winstar. Menurut data TNI AL, tongkang ini mengangkut pasir milik PT Citra Karimun Aditya. Perusahaan milik Ahmad Yani ini beralamat di Karimun, tapi nomor telepon kantornya tak bisa dihubungi.

Asia Queen mengangkut pasir milik PT Arena Bahari Tirtatama. Identitas pemiliknya tak jelas. Golden Anchor mengangkut pasir milik PT Buana Bangun Sejati. Pemiliknya bernama Herman. Ketika telepon selulernya dihubungi, seorang wanita menjawab dengan bahasa Indonesia cadel, ”Saya tak kenal Helman.”

Muryono berjanji menuntaskan perkara ini. Menurut dia, penangkapan tak hanya sebatas pada anak buah. ”Kami segera menangkap pengusahanya,” kata Muryono. Adapun nakhoda dan awak kapal yang berjumlah 30 orang itu saat ini diperiksa di Tanjung Balai Karimun dan Tanjung Uban.

Kegiatan mengirim pasir ke Singapura ini sudah berlangsung sejak 1976. Ketika itu, Singapura mulai menguruk laut untuk meluaskan daratannya. Direncanakan, luas yang semula 580 kilometer persegi akan menjadi 760 kilometer persegi.

Perluasan yang mencapai 31 persen itu diperkirakan akan terwujud pada 2010. Pemerintah Singapura membutuhkan 7,1 miliar meter kubik pasir. Itulah sebabnya muncul perusahaan pengekspor pasir, terutama di sekitar Kepulauan Riau.

Dampaknya, penyelundupan dan pencurian pasir pun terjadi. Selama bertahun-tahun, aksi ini tak pernah tersentuh hukum. Hingga pada 2001 luas Singapura bertambah dari 580 menjadi 646 kilometer persegi.

Pada Agustus 2001, muncul sebuah kapal berbendera Belanda yang mencuri pasir di perairan Indonesia. Kapal ini membawa alat yang mampu menyedot 10 ribu meter kubik pasir dalam sejam. Belakangan, melalui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2002, pemerintah melarang ekspor pasir laut untuk reklamasi pantai Singapura.

Namun larangan ini dianggap angin lalu. Tak satu pun perusahaan terkena imbas hukum karena melanggar peraturan ini. Bahkan tujuh kapal pengangkut pasir yang pernah ditangkap pada pertengahan 2001 juga dibebaskan.

Karena itu, nelayan di sana menyindir, larangan ini hanyalah untuk me-ningkatkan harga pasir di Singapura. Sebab, harga pasir yang semula 0,70 sen menjadi Sin$ 31. Apalagi, setelah itu, pemerintah membuka lagi keran ekspor pasir melalui Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 pada 23 Mei 2002.

Kebijakan ini kembali dianulir pada Maret 2003. Tapi tetap tak ada pengaruhnya. Penyelundupan pasir jalan terus. Bahkan, menurut data yang diperoleh wartawan Tempo di Batam, Singapura mengerahkan 16 kapal pengeruk pasirnya ke Indonesia. Pemerintah daerah juga tetap mengeluarkan izin ekspor pasir itu.

Menurut pemantauan TNI AL, ekspor pasir laut menjadi merajalela tak terkendali. Eksploitasi pasir secara besar-besaran dilakukan di Gunung Kijang, Trikora, Lobam, dan Senggarang. Bahkan Pulau Sebaik hampir rata dengan laut. ”Tak tampak lagi perbukitan di pulau itu,” kata Muryono. Menurut data TNI AL, setiap tahun 9 juta ton pasir dan tanah dari Kepulauan Riau diboyong ke Singapura.

Dengan pasir itulah, menurut Muryono, Singapura membangun gedung pencakar langit dan mereklamasi pantainya. Hingga kemudian daratan Singapura bertambah lagi 2 mil ke arah laut. Ini jelas merusak perbatasan dengan Indonesia. ”Ini kan kegoblokan,” katanya. ”Sejumlah orang cuma mengutamakan perut sendiri.”

Itulah sebabnya TNI AL sangat menentang pengiriman pasir itu. Menteri Perdagangan lalu mengeluarkan lagi larangan ekspor pasir pada 23 Januari lalu. Pemerintah memberikan batas waktu 5 Februari pukul 24.00, sebelum mengambil tindakan tegas. ”Artinya, kalau ada pe-ngiriman pasir melewati batas waktu itu, kami tangkap,” kata Muryono.

Namun, operasi TNI AL ini tak mendapat sambutan gembira di Karimun dan Batam. ”Penangkapan seperti itu sudah berkali-kali, tapi penyelundupan pasir juga tak akan berhenti, kok,” kata seorang warga.

Nurlis E. Meuko, Heri Susanto (Jakarta), Rumbadi Dalle (Batam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus