Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Memantau kejujuran

Penerimaan pphp 1989-1990 masih terlalu kecil di banding dengan yang diharapkan. belum semua wajib pajak (wp) melapor penghasilannya dengan benar. dirjen pajak akan melakukan pemeriksaan kepada setiap wp.

18 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENYIDIK jumlah orang kaya di Indonesia bukan perkara mudah. Tadinya, timbul dugaan, orang terkaya itu adalah mereka yang diberi piagam penghargaan sebagai pembayar pajak penghasilan perorangan (PPhP) terbesar. Ternyata, dugaan itu tak seluruhnya benar. "Masih banyak pengusaha, yang lebih besar dan kami, yang tak masuk daftar penyetor PPhP terbesar," kata seorang pengusaha yang pekan lalu masuk salah satu dari 150 orang, yang menerima piagam penghargaan Tingkat Wilayah DKI Jakarta. Suara senada dikemukakan oleh Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad. Kata dia, jumlah PPhP 1989-90 yang terkutip, sebesar Rp 179,2 milyar, masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan yang diharapkan. Sayang, Mar'ie enggan menyebutkan besarnya PPhP yang ditargetkan Pemerintah. Yang pasti, untuk tahun anggaran 1990-91, penerimaan pemerintah dari PPhP diproyeksikan akan melewati Rp 1,5 trilyun. Untuk mencapai angka segede itu, tak gampang. Apalagi, kalau menengok pengalaman di tahun lalu, bisa dipastikan belum semua wajib pajak (WP) yang mau melaporkan penghasilannya dengan benar, dan jujur. Buktinya? Dengan perolehan PPhP Rp 179,2 milyar -- yang dikutip dari 783.402 WP -- berarti setiap WP rata-rata hanya menyetor PPh Rp 228.740. Taruhlah setiap WP menyetor 15% dari penghasilannya. Maka, pendapatan rata-rata mereka per tahun hanya Rp 1,5 juta lebih, atau cuma sekitar Rp 250 ribu per bulan. Nah, dari perhitungan itu saja, ada sebuah "kejanggalan" yang perlu dipertanyakan: Benarkah orang yang berpenghasilan Rp 250 ribu sebulan, di Indonesia ini, masih kurang dari 800 ribu? Lantas ke mana orang-orang yang setiap bulannya berpendapatan di atas Rp 1 juta? "Saya juga heran, kenapa masih banyak bos yang belum masuk ke dalam daftar pembayar PPhP terbesar," kata seorang pejabat di Ditjen Pajak. Tapi, sebenarnya, aparat pajak sendiri tak perlu merasa aneh dengan munculnya kenyataan itu. Sebab, seperti dikemukakan Sunaria Tajudin, Direktur Pemeriksaan Pajak, "Kami tak bisa mengecek apakah seorang WP mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)nya dengan jujur atau tidak." Pendapat serupa juga dikemukakan Mar'ie, "Saya tidak berani mengatakan semua WP sudah jujur." Itulah sebabnya, kata dia, kerja aparat pajak kini akan lebih diintensifkan. "Jika terdapat kejanggalan atau kelainan pada jumlah PPhP yang disetorkan WP, kami akan melakukan pemeriksaan," tuturnya. Memang, Mar'ie tak mau menuding bahwa WP yang tak benar mengisi SPT identik dengan WP yang tak jujur. Kesalahan, menurut Mar'ie, bisa saja dilakukan tanpa sengaja. Contohnya, tidak sedikit WP yang mendelegasikan pengisian SPT-nya kepada orang lain. Akibatnya, tak semua penghasilan masuk dalam rincian. Padahal, yang namanya pendapatan perorangan bukan hanya sekadar gaji. Tapi, misalnya, ada capital gain, dividen, bunga deposito, dan penghasilan lain sebagai komisaris atau apa pun namanya. Kesalahan "yang tak disengaja" itu, ternyata, dipantau juga oleh para wakil rakyat di DPR. Bahkan, Aberson Sihaloho, anggota DPR RI dari Komisi APBN, meragukan penerima piagam PPhP terbesar sebagai pembayar pajak terbaik. Bukan hal yang tidak mungkin, "Masih ada pendapatan yang belum mereka laporkan," kata Aberson. Lantas apa yang harus dilakukan Pemerintah? Aberson mengusulkan agar setiap WP -- baik badan maupun perorangan memiliki pembukuan yang standar dan mudah diperiksa. Selain itu, Pemerintah juga harus bertindak tegas terhadap WP yang ketahuan nakal. Aberson menunjuk contoh di AS, "tak sedikit WP yang mondar-mandir ke pengadilan karena kasus penggelapan pajak." Ya, itu kan di Amerika, Bung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus