SUASANA lesu masih berkepanjangan di lantai bursa Jakarta. Pelataran parkir gedung yang terletak di ujung Jalan Merdeka Selatan itu memang masih selalu penuh seperti biasa, tetapi orang tampaknya lebih suka meneropong saja. Tak heran jika transaksi makin lemah. Jumat pekan lalu, misalnya, total transaksi sehari hanya mencapai Rp 14,8 milyar lebih. Jauh di bawah rata-rata yang biasanya bisa mencapai Rp 30 milyar sehari. Jika perdagangan melembek, harga pun kedodoran. Indeks harga saham gabungan atau IHSG malah sudah turun melewati ambang 600. Rata-rata sepanjang Juni sampai Juli kemarin, indeks ini masih berada di atas 620. Bahkan sempat sedikit di atas 630. Jumat pekan silam IHSG malah turun jauh menjadi 591,9. Banyak pihak menganggap, sejauh ini situasi masih belada dalam batas normal. "Soalnya kelesuan kan terasa di mana-mana," kata Micky Thio, Presiden Direktur PT Deemte Arthadarma, perusahaan pialang yang cukup besar di bursa. Ia pun menunjuk ketatnya likuiditas di pasar uang sebagai biang keladi. Demikian pula dengan Ketua Badan pelaksana Pasar Modal (Bapepam), Marzuki Usman, yang menilai turun naiknya harga dalam sebuah pasar itu gejala yang masih wajar. "Justru naik turun itu yang enak," katanya bergurau. Di tengah suasana lesu dari Bapepam muncul kabar baru: mulai bulan depan proses go public sebuah perusahaan akan ditangani oleh penjamin emisi atau underwriter. Menurut aturan, underwriter memang bertanggung jawab agar penjualan saham sebuah perusahaan yang go public habis dibeli pemodal. Kalau tidak habis, merekalah yang harus membeli saham-saham itu. Selama ini, sebenarnya para penjamin emisi juga yang menjalankan proses itu. Cuma sejak awal, prosesnya selalu melibatkan Bapepam, bahkan rapat-rapat sering diadakan di kantor Marzuki Usman juga. "Nanti, kami mau semuanya sudah beres baru dibawa ke Bapepam," kata Marzuki. Sebagai pihak yang bertanggung jawab agar penjualan saham itu berhasil, sudah sepantasnya jika para underwriter itu yang mempersiapkan sendiri langkah-langkah untuk go public itu. Buat Bapepam sendiri, itu berarti langkah untuk membuat para penjamin emisi semakin profesional. Dengan pengalihan pekerjaan sepenuhnya kepada para penjamin emisi itu, menurut Marzuki, Bapepam akan benar-benar bisa berkonsentrasi pada pengawasan dan kontrol. Otomatis, dengan kontrol yang semakin baik, tentu saja para underwriter dituntut untuk bekerja lebih keras agar segalanya benar-benar siap begitu sampai ke tangan Bapepam. Tak cuma sekadar siap, para penjamin emisi juga diharapkan mampu menyajikan dengan jelas, kepada siapa saja saham itu bakal dipasarkannya. Bahkan mereka juga diminta membuat semacam proyeksi yang menunjukkan bagaimana kira-kira penampilan saham tersebut di lantai bursa nanti setelah diperdagangkan secara terbuka. Jika semuanya sudah dianggap memenuhi syarat, barulah Bapepam mempertimbangkan memberi izin penjualan saham kepada masyarakat. Dengan tindakan itu, Bapepam bisa mengharap perusahaan yang masuk benar-benar sangat layak. "Ibarat sekolah, sekarang kami naik status. Dulu diakui, sekarang bursa kita harus berstatus disamakan," tutur Marzuki. Tanggapan penjamin emisi bermacam-macam. "Kami menyambut baik, itu memang sesuai dengan aturan main internasional," kata Dian M. Soedardjo, Direktur Pelaksana PT Wardley James Capel Indonesia, sebuah penjamin emisi patungan. Sedangkan Tito Sulistio, Direktur PT Pentasena Arthasentosa yang juga penjamin emisi, setuju pula dengan langkah Bapepam ini. Cuma, masih ada satu hal yang membingungkannya, soal proyeksi harga saham di bursa. Menurut dia, itu soal yang paling sulit jika underwriter diharuskan melakukannya. "Kalau proyeksi itu tepat, kita bisa jadi orang yang paling kaya di dunia," tuturnya. Di luar suara setuju, ada juga yang mencoba mencari tahu latar belakang keputusan ini. "Bisa jadi izin akan makin sulit," tutur seorang direktur penjamin emisi. Ia melihat keinginan pemerintah ke arah itu cukup besar. Pemasaran Sertifikat Bank Indonesia ke masyarakat disebutnya sebagai contoh langkah pemerintah untuk mengimbangi dana yang tersedot ke pasar modal itu. Jika sebelumnya pemerintah seolah-olah mengembus pasar modal kuat-kuat, sekarang tampak perlu sedikit rem. Salah satu sebab, dana hasil go public sangat sulit dikontrol. Terlebih lagi jika dana hasil go public itu dipakai untuk membayar utang. Tentu saja dana itu akan masuk ke sistem perbankan. "Sistem perbankan kita belum siap untuk menanamkan dana lebih itu ke sektor produktif," sumber ini menjelaskan. Nah, di tengah situasi begini pun antrean perusahaan yang ingin menarik dana dari pasar modal tampak masih terus bertambah. PT Elmi Perdana, misalnya, tetap yakin bahwa pihaknya akan segera bisa melepas saham di bursa. Elmi, yang mengusahakan sebuah hotel bintang tiga di Surabaya, berencana akan menjual lima juta sahamnya di bursa. "Kami tetap yakin, saham Elmi akan mendapat sambutan investor," kata Hayono Isman, direktur utamanya. Keyakinan Hayono itu didasarkan pada analisanya atas prospek pariwisata di Indonesia. "Tahun 2000 nanti pariwisata adalah bisnis terbesar di dunia," katanya. Elmi, yang sekarang sedang membangun hotel bintang tiga juga di Nusa Dua, Bali, berharap boom pariwisata ini bakal dinikmatinya pula. Dari penjualan sahamnya nanti, Hayono mengharapkan bisa menghimpun dana Rp 35 milyar. "Ini semata-mata untuk ekspansi, bukan bayar utang," tuturnya. Meskipun utang Elmi di bank, menurut Hayono, tercatat Rp 3,4 milyar. Dana itu bakal digunakannya untuk menambah kamar dari 140 menjadi 230, plus sebuah ruang pertemuan. Sebagian juga akan digunakan untuk pembangunan Elmi di Bali. Di samping Elmi yang yakin, ada juga perusahaan yang ancang-ancang lebih dulu, seperti PT Dharmala Sakti Sejahtera (DSS). "Kami sedang menjajaki waktunya, bisa jadi beberapa bulan lagi," kata Micky Thio, yang juga Direktur DSS. Marzuki sendiri tak menganggap langkahnya itu untuk pengetatan izin. Ia tetap mempersilakan perusahaan yang berminat agar meneruskan niat kalau memang ingin go public. "Langkah ini memang sudah waktunya dilakukan." Yopie Hidayat & Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini