Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Memperebutkan Segmen Pasar

Penawaran saham Indomarco ikut menaikkan suhu persaingan di sektor eceran. Selain unggul di waralaba, Indomaret pun masuk ke permukiman.

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menawarkan saham ke publik tatkala bursa lesu berat ternyata bukan pilihan yang keliru. Itulah yang dilakukan PT Indomarco Prismatama—pemilik Indomaret—yang Selasa pekan lalu melempar 46 juta lembar saham perdana (initial public offering/IPO) kepada publik.

Sebagian dari dana segar hasil IPO tersebut akan dipakai untuk membayar utang, sisanya untuk ekspansi. Rinciannya, Rp 6,6 miliar untuk menambal utang Grup Salim—perusahaan induk Indomarco. Sisanya sebesar Rp 4 miliar digunakan untuk membuka gerai baru, membeli tanah untuk pusat distribusi dan investasi di bidang teknologi informasi.

Namun, dilihat dari sisi lain, hasil penawaran saham Indomarco diperkirakan berpotensi memanaskan persaingan bisnis eceran di beberapa provinsi di Indonesia—khususnya di Pulau Jawa. Seperti diketahui, saat ini Indomaret mengoperasikan 463 gerai di Bandung, Surabaya, Jakarta dan sekitarnya. Perkembangan bisnis Indomaret, harus diakui, memang cepat. Tiga tahun lalu pendapatan bersihnya baru sekitar Rp 216 miliar. Tahun berikutnya melonjak dua kali lipat. Dan tahun lalu, tiga kali lipat. Hingga semester pertama tahun ini, pendapatan Indomaret tak kurang dari Rp 429,3 miliar.

Pertumbuhan yang begitu pesat tentu tak terlepas dari metamorfosis yang dialami Indomaret tiga tahun lalu. Waktu itu, dari usaha retail yang konvensional, Indomaret berubah menjadi retail waralaba yang pertama di Indonesia. Dengan waralaba, ongkos membuka gerai baru bisa ditekan. Saat ini sepertiga gerai Indomaret merupakan hasil waralaba. Tahun depan, Indomaret akan menambah lagi 150 toko baru—separuh merupakan milik sendiri, setengahnya lagi waralaba. Menurut Direktur Operasional Indomaret, Josep Setiawan Edy, pada masa mendatang, 95 persen Indomaret akan berbentuk toko waralaba.

Keunggulan Indomaret yang lain adalah muncul di kawasan permukiman, khusus untuk menjemput konsumen. Strategi yang sama juga dilakukan Goro, dengan jaringan piramidanya. Dua tahun lalu Goro memiliki tiga pusat perkulakan yang melayani 40 Depot Goro dan sekitar 200 Warung Goro (Wargo). Wargo yang berdiri di kawasan perkampungan ini tampil sebagai minimarket ataupun kios rokok.

Nah, strategi potong kompas Indomaret dan Wargo—dengan memasuki kawasan permukiman—membuat bisnis eceran lain kelabakan. Supermarket seperti Hero, Gelael, atau Golden Truly, yang beroperasi di kawasan perdagangan, telah merasakan dampaknya. Pangsa mereka berkurang karena diserobot minimarket. "Bulan ini penjualan kami terus menurun hingga 10 persen," kata seorang manajer dari Gelael. Mereka kehilangan konsumen, terutama yang berbelanja kecil-kecilan.

Sebelum terancam minimarket, dua tahun lalu supermarket juga dihadang oleh hipermarket milik asing, seperti Carrefour atau Continent. Sejak retail bermodal besar itu diizinkan masuk, pedagang eceran lokal terpaksa berbagi segmen. Sedangkan pangsa pasar yang diperebutkan semua pengecer modern itu hanya 14 persen dari total segmen pasar. Sisanya tetap dikuasai pasar tradisional. Meski pangsanya tak sampai 20 persen, menurut Sigma Research, bisnis retail masih feasible. Setidaknya, selama krisis, mereka masih mampu meraup untung.

Erwan Teguh, analis dari Socgen Securities, menilai keberhasilan Indomaret dan Wargo bisa dicapai setelah keduanya menembak konsumen menengah bawah. "Meski daya belinya rendah, jumlah mereka sangat besar dan belum tergarap," kata Erwan. Apalagi para produsen sudah menyediakan barang dalam bentuk sachet. "Hal itu semata-mata agar bisa dibeli oleh konsumen," kata Erwan. Dia yakin, pada masa mendatang minimarket di permukiman akan menjadi trend berdagang eceran di Indonesia.

Nah, kehadiran minimarket ini telah mengusik dominasi supermarket seperti Hero atau Gelael. Apalagi pasar yang mereka kuasai juga diserang hipermarket. Menurut Erwan, yang bisa dilakukan supermarket lokal ialah cepat mengantisipasi perkembangan pesaing, bukannya berteriak untuk mengubah aturan main dan semacamnya.

Tak urung, minimarket yang masuk jauh ke perkampungan juga mengkhawatirkan pedagang eceran tradisional. Memang, pemerintah berencana mengenakan pajak penjualan (PPn) sepuluh persen di setiap supermarket, untuk barang-barang yang sebelumnya bebas PPn. Upaya tambal sulam semacam ini mungkin sedikit membantu pedagang tradisional, karena mereka bisa menjual 10 persen lebih murah. Tapi, kalau tujuan akhir adalah menciptakan suasana yang sehat di sektor eceran, pembatasan kawasan operasi—untuk retail asing, lokal, minimarket, dan pasar tradisional—sebaiknya segera dilakukan. Jangan sampai warung eceran bernasib bagaikan ayam yang mati di lumbung padi, atau itik yang mati di empang sendiri.

Agung Rulianto, Leanika Tandjung, Rommy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus