Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Widigdo dan Gelagat Putus Asa

Ekonom menduga, penggantian Kepala BPPN adalah cermin rasa frustrasi di kalangan pemerintah. Tujuannya, konon, membentuk tim yang kompak memihak konglomerat.

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah teka-teki tingkat tinggi segera akan terjawab. Pekan ini, mantan direktur utama Bank BNI, Widigdo Sukarman, akan dilantik menjadi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Info bocoran itu dituturkan pejabat BPPN dan langsung bersumber dari tangan kanan Presiden Abdurrahman Wahid. "Keputusan Gus Dur sudah final," kata pejabat tadi.

Noer Mohamad Iskandar S.Q., pemimpin Induk Koperasi Pondok Pesantren (Inkopontren), juga membenarkan selentingan itu. "Pelantikannya Senin ini," katanya. Menurut pengusaha yang pemilik pabrik mi instan Salami ini, Presiden Abdurrahman jatuh hati pada Widigdo, yang dinilai berkomitmen kuat pada ekonomi kerakyatan. Nilai tambah ini muncul setelah Iskandar dan Widigdo beraudiensi ke Istana beberapa bulan silam. Kala itu, Iskandar menceritakan upaya Widigdo membantu Inkopontren. Kesimpulannya, "Gus Dur membutuhkan orang seperti Widigdo."

Sebenarnya, kabar lengsernya Cacuk Sudarijanto dari jabatan Kepala BPPN sudah bertiup dua pekan lalu (Tempo, 23 Oktober 2000). Posisi rangkap Cacuk di pucuk pimpinan BPPN sekaligus Menteri Muda Percepatan Pemulihan Ekonomi dinilai tidak efektif. Solusinya, jabatan Kepala BPPN harus dilepas.

Widigdo memang tidak dengan tegas membenarkan dirinya telah ditunjuk sebagai pengganti Cacuk. Namun, alumni Universitas Harvard ini juga tidak membantah. Widigdo justru meminta, bila benar dirinya jadi Kepala BPPN, masyarakat tidak melulu menyoroti masa lalunya. "Lebih baik melihat masa depan," katanya.

Tampaknya, permintaan Widigdo tak akan terkabul seratus persen. Anggota DPR diduga bakal bereaksi keras. Sebelumnya, Ketua Komisi IX DPR Benny Pasaribu menyerukan perlunya uji kelayakan bagi calon Kepala BPPN. Sebagai lembaga yang bertugas menyehatkan perbankan, BPPN harus pula dipimpin orang yang terbaik di bidang ini. "Dan BI-lah yang paling paham," katanya.

Namun, di sinilah ganjalan muncul. Delapan bulan lalu, BI menyatakan bankir 59 tahun ini tidak lolos uji kelayakan dan kepantasan (fit and proper test). Widigdo pun terpental dari BNI. Ia dinilai sembrono mengucurkan kredit preshipment Rp 9,8 triliun bagi Texmaco, milik Marimutu Sinivasan. Kredit macet yang melanggar batas maksimum pemberian kredit ini sangat berperan dalam membangkrutkan BNI. Bank ini membutuhkan suntikan dana rekapitalisasi tak kurang dari Rp 61,5 triliun.

Analis perbankan Mirza Adityaswara juga merasa perlu menyorot track record Widigdo. Sebagai konsultan investasi, Mirza dituntut meyakinkan investor untuk menanam duit di Indonesia. Tapi upaya ini tak pernah mulus. Para pemodal bereaksi negatif karena clean government tak kunjung terwujud. "Ini buruk bagi investasi," katanya.

Sulit dimungkiri, pengangkatan Widigdo yang tak lulus fit and proper test itu akan memperburuk citra pemerintah. Kemampuan Widigdo menangani BPPN yang beraset total Rp 600 triliun diragukan. Sekarang pun para investor telah mengendus gelagat BPPN yang lebih berpihak pada konglomerat. Kecurigaan ini cukup beralasan. Seorang pejabat Departemen Keuangan menyebut, Widigdo yang dikenal dekat dengan Sinivasan tentu membawa misi penyelamatan Texmaco. Maklumlah, sampai kini restrukturisasi kredit Texmaco masih menyulut debat panas, karena dinilai terlalu menguntungkan Sinivasan.

Adapun pemihakan pada konglomerat, yang tercermin dari berbagai pernyatan Presiden Abdurrahman Wahid, dinilai oleh ekonom Martin Panggabean telah merefleksikan adanya frustrasi di pihak pemerintah. Setelah tiga tahun dibelit krisis, investor asing tak kunjung mampir. Padahal, waktu berlalu, utang membubung, dan rakyat terus mendesak. Di tengah situasi ini, Martin melihat kabinet tak punya pilihan. Akhirnya, "Tim Wahid memanfaatkan konglomerat lokal," katanya. Konglomerat pembobol uang negara—seperti Sinivasan, Sjamsul Nursalim, dan Prajogo Pangestu—diharapkan menciptakan multiplier effect yang menggerakkan ekonomi nasional.

Langkah kontroversial yang mengingkari rasa keadilan ini tentu mengharuskan Presiden mencari tim pendukung yang sepaham. Maka, dipilihlah figur yang sealiran seperti Menko Perekonomian Rizal Ramli, Menteri Keuangan Prijadi, dan, kalau jadi, Widigdo Sukarman sebagai Kepala BPPN. "Satu-satunya kabar bagus," kata Martin. Maksudnya? "Baru kali ini barisan tim ekonomi pemerintah sealiran, sehingga tak akan ada bentrok kebijakan."

Tak dapat tidak, Presiden Abdurrahman Wahid terpaksa "maju perang" dengan taruhan ekstrabesar. Setelah rezim Orde Baru gagal dengan keberpihakan total pada konglomerat, kini Gus Dur yang tak punya pendukung mayoritas di DPR itu tampaknya mau mengulangi resep yang sama. Adakah karena benar-benar frustrasi atau sekadar coba-coba?

Mardiyah Chamim, Agus Hidayat, Wens Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus