Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Klik Boleh, Kring Juga Bisa

Grup Lippo menggebrak pasar dengan mengawinkan konsep belanja lewat telepon dan internet. Bukti kemandulan e-shopping?

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALANAN macet dan rusuh kini bukan lagi penghalang untuk berbelanja. Bermodalkan komputer yang memiliki akses ke internet, Anda cukup mengunjungi situs www.lipposhop.com. Mulai dari barang elektronik hingga kebutuhan rumah tangga tersedia di sana. Jika susah mendapatkan sambungan ke toko di dunia maya ini, tak usah putus asa. Cukup tekan nomor telepon 55-777-000, seorang operator akan menjawab permintaan, dan barang yang Anda inginkan akan tiba di pintu rumah beberapa jam kemudian.

Begitulah kemudahan layanan berbelanja dari Grup Lippo, yang akrab menemui warga Jakarta dalam tiga pekan terakhir. Langkah agresif kelompok usaha yang didirikan oleh bankir Mochtar Riady, untuk menawarkan konsep belanja lewat internet alias e-shopping ini, tak pelak semakin meramaikan berbagai toko virtual yang telah beroperasi di Indonesia, seperti www.sanur.co.id, www.indoflorist.com, dan www.radioclick.com—sekadar untuk menyebut beberapa perintis e-shopping di sini.

Menilik model layanan double-track—lewat internet dan telepon—rupanya Grup Lippo sadar jika mengandalkan konsep e-shopping semata akan menjadi bumerang bagi rencana investasinya yang menelan biaya Rp 100 miliar itu. Sikap hati-hati ini memang paralel dengan berbagai riset e-shopping dewasa ini, yang menunjukkan perkembangan kurang menggembirakan.

Lembaga riset internet terkemuka, Forrester Research, dalam laporan terakhirnya September lalu, misalnya, melansir indeks e-shopping di seluruh dunia tengah anjlok 3 persen. Sebagian besar pengguna internet ternyata lebih suka mengakses ke dunia maya untuk mengirim surat elektronik daripada berbelanja.

Bagaimana di Indonesia? Tak kalah muramnya. Data yang ada menunjukkan total pengguna internet di Indonesia kurang dari satu juta orang. Itu pun sebagian besar menghabiskan waktunya untuk berkirim surat elektronik, mengunjungi (browsing) berbagai situs, dan ngobrol (chatting). Hasil jajak pendapat terhadap 250 eksekutif Jakarta oleh majalah Swa dan Frontier Juli lalu malah menemukan hanya 13,1 persen dari kalangan eksekutif pria yang gemar e-shopping.

Nah, untuk mengamankan mimpi besar e-shopping-nya itu Grup Lippo segera pasang kuda-kuda. Agustus silam mereka membeli Dialmart, sebuah operator belanja via telepon milik artis Lenny Marlina yang telah memiliki 80 ribu pelanggan. Sementara itu, untuk mendukung jaringan pelayanan, Lippo Shop juga menggaet Grup Matahari, yang telah lama bermain di bisnis eceran di republik ini, serta membangun gudang yang mampu menampung 11 ribu item barang di kawasan Sunter, Jakarta, dan menyiapkan 50 armadanya untuk mengantarkan segala pesanan ke rumah pelanggan.

Pendek kata, Anda tinggal mengandalkan ujung jari Anda yang siap mengeklik mouse komputer atau menekan nomor telepon untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Jurus double-track ini ternyata cukup ampuh. Selama dua pekan berturut-turut seusai peresmian, seperti diutarakan oleh Presiden Direktur Lippo Shop, Teddy H. Setiawan, catatan transaksi Lippo Shop yang melalui jalur tradisional (telepon) dan modern (internet) menunjukkan perbandingan 77:23 persen. Itu pun sudah di luar target mereka, "Karena semula kami pikir pengakses melalui internet cuma sekitar 15 persen."

Kecermatan Grup Lippo ini mengundang decak kagum. Kendati begitu, mereka tidak bisa segera menepuk dada. Setumpuk tantangan siap menghadang. Yang segera muncul ke permukaan adalah persoalan pengiriman atau delivery barang pesanan ke pelanggan. Direktur Eksekutif Lippo Shop, Mia Lukmanto, bahkan mengakui pihaknya pernah memasang iklan permintaan maaf gara-gara kehabisan stok dongkrak mobil yang menjadi incaran para pembeli.

Tantangan lainnya kembali pada perilaku belanja konsumen di Indonesia. Dalam hal ini pakar pemasaran, Rhenald Kasali, mewanti-wanti para investor agar tidak gegabah karena masyarakat belum siap seratus persen untuk berbelanja lewat internet.

Misalnya, mereka masih ingin jalan-jalan menghabiskan waktu luang di swalayan atau agar bisa memegang langsung untuk mengetahui kualitas barangnya. Dua hal ini jelas mustahil disediakan oleh penyelenggara e-shopping. Celakanya, kondisi ini diperburuk oleh pemakaian kartu kredit di Indonesia yang rendah karena masih rawan pembobolan sehingga bakal mempersulit transaksi pembayaran via internet.

Kendati begitu, peluang e-shopping belum tertutup. Jika ingin bertahan hidup, sambung Rhenald, ada baiknya penyelenggara e-shopping menoleh pada fasilitas semi-online. Misalnya, dengan tidak meninggalkan konsep belanja lewat telepon untuk mengecek alamat pemesan atau melayani permintaan lain pelanggan. Yang tak kalah pentingnya, penyelenggara e-shopping mesti berani menjamin jika barang kirimannya rusak. Pembeli boleh mengembalikannya sehingga mereka tidak dirugikan.

Siapa berani menempuh tantangan ini?

Widjajanto, I G.G.M. Adi, Gita W. Laksmini, dan Hendriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus