Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah menikmati monopoli di bidang minyak dan gas bumi selama 30 tahun, mulai tahun depan hak istimewa Pertamina akan diakhiri. Atau, akan mulai diakhiri. Tidak mudah memang, merestrukturisasi sebuah kerajaan usaha yang secara resmi menjadi pemegang kuasa eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia, di samping berwenang menangani distribusi dan pemasaran bahan bakar minyak (BBM). Pokoknya, Pertamina, yang selama ini menjadi penguasa migas hulu dan hilir, harus melepas berbagai kekuasaannya, terutama di bidang eksploitasi dan eksplorasi--yang selama ini menangani berbagai kontrak dengan perusahaan asingkepada pemerintah.
Dalam rangka itu, Pertamina harus membubarkan Badan Pengusahaan dan Pembinaan Kontraktor Asing (BPPKA), yang diduga merupakan sumber inefisiensi, korupsi, dan vested interest. "Tugas itu sebetulnya memang tanggung jawab Pemerintah," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro. Kelak, peran BPPKA akan digantikan oleh sebuah badan khusus yang bertanggung jawab pada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Pertamina juga harus menata ulang sumber daya manusianyadari eksekutif puncak sampai level paling rendah. Kualitas karyawan perlu ditingkatkan, sementara kuantitasnya dikempiskanditekan dari 28.000 orang menjadi 17.000 orang.
Semua itu perlu dilakukan agar Pertamina, baik secara organisatoris maupun bisnis, lebih siap menghadapi pasar bebas migas pada 2003. Landasan restrukturisasi Pertamina berupa sebuah cetak biru kabarnya sudah rampung dan tinggal disetujui oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Gagasan restrukturisasi itu sendiri sebetulnya sudah merupakan cerita lama. Sewaktu Martiono Hadianto menjadi bos Pertamina, 1999, ia sudah menunjuk perusahaan konsultan Boston Consulting Group untuk membantu memperbaiki kinerja BUMN yang berlambang kuda laut itu. Gagasan tersebut semakin terpicu hasil audit Pricewaterhouse Coopers, yang mengungkap korupsi dan inefisiensi di Pertamina senilai US$ 6,1 miliar atau sekitar Rp 55 triliun (dengan kurs Rp 9.000 per 1 dolar) pada tahun anggaran 1996/1997 dan 1997/1998. Waktu itu, konsultan asal Amerika tersebut sudah merekomendasi soal perampingan pegawai dan struktur organisasi. Tapi hingga Martiono lengser, saran itu belum juga dijalankan.
Baihaki Hakim, yang menggantikan Mar-tiono, rupanya tak mau lebih lama terbelit kerumitan birokrasi Pertamina. Seminggu setelah dilantik, ia mengumpulkan keenam direktur bawahannya dan memulai lagi program pembenahan. Tapi Baihaki tak menggunakan konsultan asing. "Untuk mengurangi biaya," katanya. Ia hanya membuat perbandingan (benchmarking) dengan perusahaan minyak sejenis seperti Shell, Mobil Oil, dan Caltex.
Dalam konsep direksi yang kemudian diangkat menjadi cetak biru Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP), tergambar upaya perampingan si kuda laut.
Jajaran direksi, yang kini tujuh orang, kelak akan dipangkas tinggal empat orang saja. Mereka terdiri atas satu direktur utama dan tiga direktur, yakni direktur hulu (up stream), yang merupakan fusi dari direktur eksplorasi dan produksi, di samping direktur hilir (down stream), yang merupakan penggabungan dari direktur pengolahan, pemasaran dan pendistribusian dalam negeri, direktur umum, dan direktur perkapalan, komunikasi, dan kebandaraan. Dan tentu, satu direktur keuangan. Pada tahap kedua tahun 2005, jumlah direktur akan dikurangi lagi, "Menjadi dua direktur up stream dan down stream serta satu direktur utama," kata Sekretaris DKPP, Iin Arifin Takhyan. Akan halnya anak perusahaan Pertamina, seperti Asuransi Tugu Pratama, Dok Dumai, Patra Jasa, kelak dikumpulkan di bawah Pertamina Holding.
Tak kurang penting adalah perampingan jumlah pegawai. Soalnya, armada karyawan Pertamina terlalu besarsekitar 28 ribu orang75 persen di antaranya hanya lulusan sekolah menengah umum. Kabarnya, Pertamina hanya memerlukan 17 ribu orang agar tercapai skala efisiensi antara jumlah pegawai dan hasil produksi. Tak dapat tidak, 11 ribu orang harus pergi, hampir 40 persen dari total karyawan. PHK tak terhindarkan, tapi pelaksanaannya kelak diusahakan melalui pensiun alamiah.
Untuk menerapkan cetak biru tersebut, menurut Iin, pemerintah tak perlu harus menunggu sampai Undang-Undang Migas diberlakukan. "Program pembenahan Pertamina bisa disahkan dengan keputusan presiden, sesuai dengan Undang-Undang Pertamina No. 8/1971," ujarnya. Hanya, bersamaan dengan itu, pemerintah memang harus mengubah Keppres No. 11/1990 tentang tata kerja Pertamina agar sesuai dengan rencana pembenahan tersebut.
Akankah perampingan itu bisa meningkatkan kinerja Pertamina? Ya, kita lihat saja.
Dengan restrukturisasi, Pertamina semestinya bisa seefisien dan selincah Petronas, perusahaan minyak Malaysia, yang berhasil menjadi pemain global dan meraup laba ratusan miliar.
Nugroho Dewanto, I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo