Post-Soeharto Indonesia: Renewal Or Chaos | Penyunting | : | Geoff Forrester |
Penerbit | : | Institute of Southeast Asian Studies, 1999, Singapura. |
Tebal | : | 255 halaman + xxi |
Transisi dari rezim otoritarian bukanlah proses yang mudah dan tak selalu berhasil. Ini pelajaran yang ditangkap O'Donnell dan Schmitter dari Eropa Timur dan Amerika Latin. Transisi masih sangat mungkin untuk terbajak dan mengarah ke rekonsolidasi otoritarianisme. Hiruk-pikuk pascarezim otoritarian sebetulnya hampir selalu merupakan ketidakpastian. O'Donnel dan Schmitter menyebutnya secara pas, "Sebuah transisi dari otoritarianisme entah menuju ke mana".
Studi-studi tentang transisi dari otoritarianisme—oleh O'Donnell, Schmitter, Graham, Huntington, Diamond, dan sederet nama lain—menggambarkan bahwa pembajakan transisi mungkin terjadi dengan beragam modus operandi: pulih kembalinya kekuatan militer, gagalnya proyek pemilihan umum yang demokratis pertama pascaotoritarianisme, habisnya napas oposisi dan gerakan sosial prodemokrasi, dan merebaknya konflik-konflik horizontal yang menggantikan konflik vertikal.
Sepeninggal Soeharto, Indonesia diintip oleh nyaris semua modus operandi itu. Benar bahwa kejatuhan Soeharto telah membuka ledakan partisipasi politik, merebakkan kebebasan, menyebabkan terbangunnya kepercayaan diri gerakan sosial dan ajal kekuasaan sakral-personal. Namun, di baliknya, ada gejala-gejala mengkhawatirkan yang menyeruak: ledakan konflik yang tak dikelola, ketidakstabilan politik berkepanjangan, dan krisis ekonomi tak berujung.
Post-Soeharto Indonesia dengan penyunting Geoff Forrester memotret fakta-fakta itu dengan baik. Seluruh tulisan yang terkumpul di sini—ada 17 tulisan yang terpilah ke dalam tiga tema yakni politik, ekonomi, dan masyarakat—sampai ke satu kesimpulan tentang Indonesia pasca-Soeharto: sebuah ketidakpastian yang pasti.
Beberapa hal penting bisa dicatat dari buku ini. Berbeda dengan umumnya buku yang terbit sepeninggal Soeharto, Post-Soeharto Indonesia memberi perimbangan yang baik antara harapan dan kecemasan. Ketika banyak buku lain terjebak oleh romantisme reformasi, buku ini malah penuh peringatan tentang sulitnya pengembalian infrastruktur bagi pemulihan krisis ekonomi dan serba tidak pastinya perubahan politik. Ketika banyak buku lain terjebak untuk memotret Indonesia dengan penuh kegelapan sambil menyorongkan revolusi sebagai satu-satunya jalan, anda tak akan menemukan satu pun konfirmasi tentang kemungkinan dan kesiapan revolusi dalam buku ini.
Post-Soeharto Indonesia adalah ajakan kesiagaan. Patrick Walters dan Marcus Meitzner, misalnya, mengingatkan kemungkinan tetap bersiteguhnya militer pada posisi yang kedap reformasi. Sepeninggal Soeharto, militer memang mengalami pengeroposan legitimasi dan kredibilitas yang luar biasa dramatis, tapi basis kekuatan politik dan ekonomi yang dimiliki tidak termakan secara bermakna oleh prosesi reformasi.
Kuatnya basis kekuatan politik dan ekonomi itu menyebabkan militer terposisikan tidak semata-mata sebagai masalah—sebagaimana halnya Soeharto—melainkan juga solusi. Reformasi mau tak mau harus melibatkan militer dalam proses negosiasi yang alot dan melelahkan. Proses negosiasi itu pun sangat boleh jadi memulihkan posisi dan peran politik riil militer sekalipun posisi moral mereka tertolak.
Martin secara khusus mengaitkan kemungkinan itu dengan hubungan-hubungan politik yang telah terpola dan mungkin terpelihara antara faksi-faksi militer dan kalangan Islam yang mengalami repolitisasi. Titik krusial yang muncul di sini adalah terbukanya kemungkinan Islam menjadi pelaku yang fungsional negatif bagi transisi demokrasi.
Gejala-gejala rekonsolidasi otoritarian makin tegas manakala faktor ketidakpastian politik yang makin berlarut-larut ikut diperhitungkan. Dalam konteks krisis multidimensi yang sangat parah, ketidakpastian politik itu telah memberi fasilitas ledakan sosial pada masyarakat yang makin tidak terkelola. Alih-alih menjadi semacam introduksi bagi revolusi sosial, ledakan itu hanya akan menandai kekacauan.
Apa boleh buat, secara umum—seperti diakui oleh Forrester dalam pengantarnya—buku ini memang menggambarkan Indonesia pasca-Soeharto sebagai sebuah fase yang tak mudah dan kelabu. Sayangnya, potret ini agak kurang utuh lantaran tidak meratanya tingkat kedalaman antartulisan serta terlampau kecilnya porsi penggambaran suasana baru kepartaian dan gerakan oposisi.
Eep Saefulloh Fatah
Pengajar dan peneliti di FISIP UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini