Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Wang-Fô

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA sebuah dinihari, serdadu-serdadu masuk ke dalam losmen tempat pelukis itu menginap, dan menangkapnya. Dalam cerita Marguerite Yourcenar, Wang-Fô, pelukis masyhur yang berkelana itu, dihadapkan kepada Maharaja, seorang muda yang menjatuhkan hukuman yang paling mengerikan kepadanya, dengan sebuah alasan: "Kau telah membohongi aku, Wang-Fô, penipu tua". Sang Putra Kahyangan pun becerita. Ketika ia masih anak, ia mengalami apa yang tak dialami orang lain: "Ayahandaku menyimpan lukisan-lukisanmu di ruang istana yang paling tersembunyi. Menurut dia, tokoh-tokoh dari lukisan itu harus dihindarkan dari pandangan orang awam, karena siapa pun yang melihatnya tak bakal mengerdipkan mata. Dalam ruangan-ruangan itulah aku dibesarkan, Wang-Fô tua, karena hanya suasana heninglah yang telah disiapkan untuk pertumbuhanku. Agar kepolosan nuraniku tidak terjangkiti jiwa-jiwa manusia, aku dijauhkan dari gelombang kegelisahan bakal rakyatku. Tak seorang pun diperkenankan lewat di depan ambang pintuku, jangan sampai bayangan laki-laki atau perempuan tertangkap mataku." Dalam isolasi itu, si anak kecil, semata-mata ditemani lukisan Wang-Fô, menemukan lanskap yang tak ditemukan siapa saja di dunia, selama 10 tahun. Ia tak punya perbandingan. Perbandingan hadir ketika kemudian, pada umur ke-16, ia boleh keluar dari kamar. Dan pada saat itulah ia tahu bahwa Wang-Fô telah memperdayakannya. "Karena engkaulah, laut kusangka mirip genangan air yang luas membentang, sedemikian birunya hingga batu yang terjatuh ke dalamnya pasti akan berubah menjadi batu nilam. Wanita kusangka membuka dan menutup diri seperti bunga, mirip makhluk-makhluk yang bergerak, terdorong oleh embusan angin dalam taman-taman lukisanmu…" Ketika perbandingan hadir, dunia dan lukisan di kanvas seakan-akan saling menampik. "Darah para korban penyiksaan tak semerah buah delima yang terlukis di atas kanvasmu. Kutu di daerah pedesaan menutup keindahan persawahan. Tubuh perempuan membuatku jijik, mereka tak ubahnya seperti daging yang bergelantungan di ujung kait tukang jagal…." Maka Maharaja muda itu pun mengulangi kesimpulannya: "Kau telah membohongi aku, Wang-Fô tua. Dunia hanyalah seonggok noda yang memusingkan kepala, dilemparkan ke atas kekosongan oleh seorang pelukis gila." Adakah seni sebuah dusta? Sebuah pengasingan dari realitas? Dalam cerita Yourcenar, Wang-Fô ditemani Ling, seorang pemuda yang memutuskan menjadi pelayan sang pelukis dalam perjalanan dari kota ke kota. Inilah sebabnya: Ling bersua dengan Wang di sebuah kedai minum, ketika sang pelukis melukis orang mabuk. Di situ Ling menemukan suatu pencerahan. Ia mulai melihat dunia secara lain. Ia tak takut lagi melihat badai, bebas dari rasa ngeri mendengar geledek, karena ia kini bisa "mengagumi kilat yang berwarna pucat dan berbiku-biku". Ia menyadari, dengan kagum, bahwa "dinding rumahnya bukanlah merah seperti yang senantiasa ia pikirkan, melainkan warna buah jeruk yang nyaris membusuk". Sebatang perdu di pelataran yang selama ini tak diperhatikannya jadi seperti "wanita muda yang tengah mengeringkan rambut". Dengan kata lain: Ling menemukan kembali pesona dunia. Hidup merupakan momen dari syukur ke syukur. Tapi di sini persoalan yang berabad-abad diperdebatkan orang muncul kembali: bagaimana hubungan kanvas Wang-Fô_-dan kanvas siapa pun juga—dengan realitas? Wang-Fô tidak menirukan dunia. Ia membuat dunia lebih indah dari warna aslinya. Mungkin ia bersalah, mungkin ia berjasa. Tapi apa sebenarnya warna asli dunia? Orang berbicara tentang "realisme", dalam kesenian, tetapi "realitas" bagi Sang Maharaja—yang mual—dengan "realitas" bagi Ling, yang terkesima, hadir dalam presentasi yang berbeda. Hidup memang tidak sepenuhnya terjangkau, dan di dalam kekurangan kita, saat yang berharga ialah ketika kita tidak jera dan mandek. Akhirnya di sini kita tak hanya bicara tentang lukisan Wang-Fô. Kisah itu bukan saja tentang keindahan, tapi datang dengan keindahan: bagaimana Marguerite Yourcenar menghadirkannya. Diterjemahkan oleh Winarsih P. Arifin, karya sastrawan Prancis terkemuka ini (dalam Cerita-Cerita Timur Marguerite Yourcenar, terbitan Yayasan Obor Indonesia, 1999) menghadirkan apa yang juga ditemukan Ling: pesona. Yourcenar, sebagaimana layaknya seorang sastrawan, adalah seorang yang menulis dengan keterperanjatan akan bahasa, sesuatu yang masih terasa bahkan dalam versi Indonesia yang mengagumkan ini. Tiba-tiba kata menjadi begitu berarti—sehingga kita mengerti bahwa percakapan bukanlah sekadar statemen, melainkan, seperti lukisan Wang-Fô, sesuatu yang membuat kita tak berkerdip. Ada yang kekal di sana—A thing of beauty is a joy forever.… Kalimat Keats itu sudah jadi klise tapi yang indah memang bisa menghibur selama-lamanya, membubuhkan luka selama-lamanya, meskipun benda seni bisa lenyap. Ia seakan-akan roh yang hadir dan pergi ketika kata menjadi dilupakan dan benda jadi aus. Tapi apa arti roh tanpa tubuh yang tak sempurna di dunia? Keindahan tidak bisa menjadi total. Ketika ia merangkum total, ia abstrak, dan manusia dan dunia tidak mengejutkan lagi. Ia tak layak dan tak penting lagi untuk ada sebagaimana dirinya. Syahdan, istri Ling pun membunuh diri. "Pada suatu hari ia ditemukan mati tergantung di dahan pohon prem merah jambu. Ujung selendang yang mencekiknya meliliti rambutnya. Ia terlihat lebih ramping dan tanpa cela seperti wanita-wanita jelita yang dipuji-puji para penyair masa lalu. Wang-Fô melukisnya untuk terakhir kali, karena ia menyukai rona hijau yang menyalut raut wajah orang mati. Sementara itu, Ling, muridnya, menumbuk cat. Pekerjaan itu sedemikian menuntut perhatiannya sehingga ia lupa menitikkan air mata". Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus