Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menanti Sawab Hayami San

Untuk pertama kalinya dalam satu dasawarsa terakhir, Bank Sentral Jepang menaikkan suku bunga yen. Perekonomian Jepang akan melempem, ekspor Indonesia merosot?

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masaru Hayami pasti tak memperhitungkan Indonesia. Ketika memutuskan kenaikan suku bunga yen Jumat dua pekan lalu, Gubernur Bank Sentral Jepang itu cuma memikirkan satu hal: membawa perekonomian Negeri Sakura ke rel yang benar.

Setelah 10 tahun tak pernah menaikkan suku bunga, Bank of Japan akhirnya memainkan jurus kontroversial itu: menghentikan rezim suku bunga 0 persen dan mendongkraknya menjadi 0,25 persen. Hayami agaknya telah mencatat pelbagai gelagat perekonomian Jepang tak membutuhkan lagi buster untuk bergerak cepat. Tingkat investasi dan laba perusahaan terus menanjak. Jajak pendapat majalah The Economist baru-baru ini menyimpulkan perekonomian Jepang akan melaju 1,7 persen, lebih cepat dari potensi pertumbuhan jangka panjang yang selama ini diramalkan. Jadi, untuk apa lagi suku bunga 0 persen?

Selain itu, Hayami yakin, perekonomian Jepang akan normal jika mata uang punya ongkos. Setelah satu setengah tahun berada dalam di dasar sumur "tanpa bunga", perekonomian Jepang mulai keracunan virus yang semula diyakini cuma hidup di negara berkembang: moral hazard. Kehidupan tanpa bunga melenakan dunia usaha dan birokrasi Jepang sehingga mereka tidak merasa perlu mengalokasikan modal secara efisien.

Tanpa kewajiban membayar bunga, pemerintah Jepang kehilangan kendali untuk mendisiplinkan anggaran. Obligasi pemerintah diobral, defisit bujet dibiarkan membengkak. Utang pemerintah Jepang dengan cepat melonjak hingga 120 persen dari produk domestik bruto, hampir menyamai tingkat utang negara-negara Amerika Latin dan Indonesia. Dengan menaikkan suku bunga, Hayami seperti memberi sinyal bahwa bank sentral Jepang berani bertindak merdeka tanpa harus mengekor keinginan pemerintah.

Toh, keputusan itu mendapat reaksi keras. Sejumlah ekonom mencatat, perekonomian memang tumbuh cepat, terutama pada kuartal pertama tahun ini, tapi setelah itu kembali menukik. Investasi dan laba perusahaan boleh naik terus, tapi tingkat konsumsi memburuk. Semester pertama 2000, indeks harga konsumen Jepang melorot 0,7 persen. Dan yang penting, suku bunga nol bukan berarti tanpa insentif terhadap penabung. Jika memperhitungkan tingkat deflasi, suku bunga riil Jepang tidaklah terlalu kecil.

Jurus Hayami menggempur moral hazard dan menegakkan disiplin fiskal mungkin tidak keliru. Tapi, menurut para penentang ini, bukan itu prioritas Gubernur Bank of Japan. Tugas pokok Hayami adalah stabilisasi harga. Dan di zaman ketika perekonomian melempem, harga-harga merosot, bank sentral sudah seharusnya memberikan "insentif" agar perekonomian bisa bergerak.

Kenaikan suku bunga akan mengerem konsumsi, menyunat kemampuan Jepang membeli barang, termasuk barang-barang luar negeri. Celakanya, Negeri Sakura itu merupakan salah satu pasar terpenting bagi kita. Ekspor Indonesia ke Jepang mencapai 22 persen dari total ekspor, paling besar di antara porsi ekspor negara Asia lainnya. Jika daya beli Jepang melempem, Indonesia akan terpukul paling keras. Di atas kertas, kenaikan suku bunga yen akan mengurangi ekspor Indonesia.

Namun, menurut ekonom Danareksa Sekuritas Rino Agung Effendi, kekhawatiran itu terlalu berlebihan. Ia yakin, Jepang tetap menjadi pasar ekspor utama kita. Soalnya, banyak perusahaan Jepang merupakan induk dari perusahaan di Indonesia, sehingga mereka tetap membeli barang produksi kita. Kenaikan suku bunga yen itu, kata Rino, justru menguatkan nilai tukar yen terhadap rupiah. Akibatnya, ekspor Indonesia makin kompetitif di pasar Jepang.

Menurut Rino, kekhawatiran orang bahwa kenaikan suku bunga ini akan menambah beban utang kita juga tak perlu dirisaukan. Soalnya, utang Indonesia ke Jepang lebih banyak memakai mata uang dolar ketimbang yen. Dan, ini yang penting, pinjaman itu biasanya bersifat lunak dengan suku bunga rendah dan jangka waktu yang panjang.

Kepala Riset SocGen Securities Singapura, Lin Che Wei, berpendapat senada. Ia yakin, kenaikan suku bunga justru merangsang per-ekonomian Jepang agar lebih sehat dan bergairah. Pada gilirannya kelak, perekonomian kita akan ikut kesetrum gairah ini.

Nugroho Dewanto, Gita W. Laksmini, Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus