Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Katanya, tingkat debt service ratio (DSR) Indonesia untuk tahun anggaran saat ini (1998-1999) akan mencapai 49,3 persen. DSR menunjukkan jumlah beban bunga dan cicilan pokok utang luar negeri yang harus dibayar dengan devisa hasil ekspor. Angka Menteri Bambang menunjukkan, hampir separuh hasil ekspor kita dihabiskan untuk membayar utang. "Ini benar-benar seperti selilit, di tengah kabar baik tentang rupiah, inflasi, dan suku bunga," kata seorang anggota DPR.
Persoalan menjadi makin rumit kalau mengingat sebagian besar hasil ekspor kita tak pulang ke dalam negeri, tapi diparkir ke bank-bank di luar negeri. Menurut seorang kepala riset perusahaan sekuritas asing, dari surplus perdagangan (selisih antara ekspor dan impor) sebesar US$ 17 miliar dalam sepuluh bulan terakhir, "Tak sesen pun yang bisa pulang." Akibatnya, kalau sinyalemen ini benar, dolar yang tersisa dari aktivitas perdagangan internasional untuk untuk mencicil utang pokok dan membayar bunga tidak tersedia.
Membengkaknya angka DSR itu sangat mengejutkan. Pada saat pembahasan perubahan APBN 1998-1999 Juli lalu, perkiraan tingkat DSR "masih" 34,2 persen. Sepuluh hari kemudian, membengkak menjadi 47,9 persen, dan akhirnya kini hampir 50 persen! Menurut Sri Mulyani Indrawati, ekonom dari Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Manajemen Universitas Indonesia, lonjakan DSR ini terjadi lantaran derasnya depresiasi rupiah terhadap dolar dan sejumlah "temuan" baru atas utang swasta yang semula tak dilaporkan.
Tapi apa artinya jika sebuah negara tenggelam dalam DSR yang begitu besar? Tiga tahun lalu, ketika DSR Indonesia diperkirakan sudah lebih dari 30 persen, begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo mengatakan Indonesia sudah "lampu merah". Nah, kini, dengan DSR sudah hampir 50 persen? "Itu artinya negara kita sudah insolvent, sudah tak bisa membayar kewajibannya, sudah bangkrut," kata Adrian Panggabean, ekonom UI yang kini bekerja untuk United Nations Development Program.
Dengan DSR hampir 50 persen dan surplus perdagangan yang diparkir di luar negeri, Indonesia (swasta dan pemerintah) hanya bisa membayar utang dengan utang baru. Menteri Bambang tampaknya tak bisa mengelak dari situasi yang sulit ini. Katanya, dengan setengah pasrah, "Memang sudah begitu keadaannya, mau apa? Yang bisa kita lakukan adalah bekerja keras, hingga keadaan cepat membaik."
Menurut Adrian, beban terberat yang harus ditanggung oleh tingkat DSR yang meledak adalah tekanannya terhadap nilai tukar rupiah. "Setiap kali ada berita DSR naik, selalu diiringi dengan isu devaluasi," katanya. Maklum saja, DSR yang tinggi mencerminkan besarnya kebutuhan dolar--yang tak semuanya bisa disediakan dari hasil ekspor.
Berita ini akan memicu spekulasi orang untuk mengamankan asetnya dalam mata uang dolar. Dan jika kebutuhan ini tak terpenuhi, rupiah bisa benar-benar terpuruk habis. Apalagi dengan kebijakan tingkat suku bunga yang dipaksa untuk cepat-cepat turun, insentif orang untuk memegang rupiah menjadi hilang.
Lalu bagaimana mengatasinya? Tampaknya Menteri Bambang benar. Tak ada jalan lain kecuali dengan menggenjot ekspor dan membawa devisa hasil ekspor untuk dipulangkan ke dalam negeri. Ini bisa dilakukan dengan dua jalan. Pertama, menciptakan pemerintahan yang bisa dipercaya dan stabilitas politik yang mantap sehingga orang tak takut menyimpan dolarnya di dalam negeri. Atau, kedua, memaksanya dengan peraturan yang mewajibkan eksportir memarkir devisa di dalam negeri.
Cara kedua untuk mengurangi DSR adalah dengan mengurangi tekanan utang swasta. Ini bisa dilakukan dengan meminta penjadwalan atau pengampunan utang. Tapi sejauh ini upaya pemerintah dan swasta Indonesia untuk minta pelonggaran pembayaran utang kurang berhasil.
Cara terakhir, kalau situasinya sudah kritis betul, menambah pinjaman luar negeri mungkin bisa menolong. Asal, tingkat suku bunganya bisa ditekan lebih rendah dari bunga utang sebelumnya. Tapi kiat ini hanya menunda masalah. Soalnya, di masa datang, tekanan dari utang baru ini akan muncul lagi. Akibatnya, masalah yang sama akan berulang.
Apa boleh buat, ketimbang rupiah dibombardir lagi.
Dwi Setyo, Bina Bektiati, dan Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo