Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurs memang bukan satu-satunya pegangan. Harga mobil dipatok penjual dengan menimbang juga daya beli pasar. Nah, kekuatan membeli ini yang parah. Kalau tahun lalu orang se-Indonesia masih bisa membeli 380 ribu unit mobil, tahun ini ditaksir hanya terjual 60 ribu unit. Jadi, walau kurs mengharuskan harga dipatok setinggi langit, harga mobil tentu "disesuaikan" dengan berapa banyak orang yang mau beli.
Itu sebabnya, harga jual kendaraan saat ini paling banter mengalami kenaikan 200 persen. Padahal, dolar AS sudah lebih mahal 300 persen jika dihitung sejak Juli 1997 (Rp 2.500) sampai Desember 1998 (Rp 8.000). Suzuki Baleno, misalnya, sebelum krisis dilabel Rp 60 juta, sekarang "hanya" Rp 101 juta. Mazda Vantrend, yang semula Rp 34 juta, kini dipasarkan seharga Rp 60 juta. Tak semua produsen menaikkan harga 200 persen. Ada juga yang lebih tinggi, kendati tak sampai tiga kali lipat.
Para produsen mobil banting harga dan merugi? Tidak juga. Mereka cukup lihai membaca turun-naik kurs dolar AS terhadap rupiah. Sewaktu dolar menyentuh level Rp 4.000 (Juli 1997), seluruh agen tunggal pemegang merek (ATPM) serentak mengimpor komponen completely knock-down (CKD) terurai dalam jumlah banyak. Begitu dolar naik ke posisi Rp 5.000, impor komponen dihentikan.
Jadi, beberapa ATPM sudah punya stok komponen. Tapi sampai kapan mereka sanggup mempertahankan harga seperti sekarang? Menurut Bintoro Tjitrowirjo, General Manager PT Astra Mobil, perakit merek BMW, Peugeot, Daihatsu, dan Isuzu di Tanah Air, tingkat harga itu sangat tergantung pada stok komponen yang ada.
BMW, misalnya, terhitung mulai Juli 1997 masih punya stok 1.000 unit komponen yang siap rakit. Katakanlah penjualan BMW per bulan rata-rata 40 unit. Itu berarti cadangan komponen akan habis 25 bulan kemudian. Artinya, baru Agustus 1999 BMW akan kehabisan cadangan komponen dan mulai mengimpor lagi. Saat itulah, "Suka atau tidak suka, harga jual disesuaikan dengan tarif dolar," kata Bintoro.
Lain Bintoro, lain pula pandangan Adirizal Nizar. Direktur Teknik PT Toyota Astra Motor itu malah menganjurkan agar menunda pembelian. Tahun depan, katanya, belum tentu merupakan waktu yang tepat untuk belanja kendaraan. Ia menyebut beberapa merek yang masih kebanjiran komponen. Bila mereka merakit pun, belum tentu laku terjual hingga tutup tahun 1999. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) bisa bercerita soal ini.
Dalam laporan terbatas itu disebutkan PT Indomobil Suzuki Internasional mengekspor 1.200 unit Suzuki Baleno ke Pakistan, Oktober 1998. Industri otomotif milik Liem Sioe Liong itu juga mengekspor 80 unit Audi ke Australia. "Bermain di luar" memang menarik dan menguntungkan, tatkala mata uang negara-negara itu masih lebih kuat menahan dolar AS ketimbang rupiah. Tapi kini kecenderungannya adalah menurunnya semua mata uang terhadap dolar AS. Kalau begitu, di tahun 1999, sekali lagi perlu diamati: seberapa jatuh mata uang rupiah dibandingkan dengan negeri tetangga. Kalau rupiah tetap "loyo", artinya ATPM tentu lebih suka menjual mobilnya di luar negeri.
Bagaimana dengan mobil nasional "bermasalah" Timor? Di gudang Cikampek, sedan asal Korea Selatan yang diimpor Tommy Soeharto itu masih bersisa 15 ribu unit. Bila penjualan Timor per bulan rata-rata 50 unit saja, waktu 20 tahun pun tak cukup untuk meludeskannya. Maka, di tahun 1999 ini, agaknya akan ada obral besar-besaran, mumpung sedan itu belum dimakan rayap.
Selain mengacu pada stok komponen, Adi juga menyodorkan parameter lain, yakni akan diberlakukannya era perdagangan global di negara-negara Asia, yang beken disebut Asian free trade area (AFTA) mulai 2003.
Sesuai kesepakatan, seluruh negara-negara anggota yang bergabung dalam AFTA sangat diharamkan melakukan praktek monopoli. Jadi, bila tiba saatnya nanti, sedan BMW misalnya, boleh diimpor siapa saja. Tak harus didatangkan melalui satu pintu saja.
Paket AFTA juga tak mengizinkan pemerintah mengutip pajak bea masuk dalam jumlah besar. Asal tahu saja, saat ini pemerintah Indonesia menerapkan berbagai kutipan pajak terhadap impor kendaraan antara 100 persen dan 200 persen.
Menurut Adi, pencabutan bea masuk ini sedianya digulirkan pemerintah pada pertengahan tahun depan. Bila benar, harga jual kendaraan akan merosot tajam. Bila pemain lama bertahan dengan harga saat ini, stok komponen yang masih bersisa dipastikan tak akan pernah dirakit. "Siapa yang mau membeli dengan harga yang tak realistis seperti sekarang?" kata Adi.
Jika aturan itu jalan, siapa bakal kena gebuk? Tentulah produsen yang menyimpan cadangan CKD dalam jumlah besar. Yang diuntungkan tentu saja Toyota. Alasannya, Toyota menganut sistem just in time. Sekali rakit, langsung habis. "Kita tak pernah order berlebih. Paling banter hanya cukup untuk cadangan setengah bulan," katanya.
Jadi, jangan lagi menghitung kancing baju Anda jika berminat membeli mobil baru.
Ma?ruf Samudra dan Raju Febrian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo