Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DSTP semula digagas untuk mewujudkan angan-angan Soeharto dan Habibie membuat pesawat jet. Bersama dengan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), DSTP diharapkan bisa memproduksi pesawat jet nasional N-2130. Bagi Soeharto dan Habibie, N-2130 merupakan tiket memasuki gerbang era modern. Tanpa karcis ini, jangan harap Indonesia bisa sejajar dengan negara maju berteknologi tinggi.
Ongkosnya? Tentu saja selangit. Perhitungan tahun 1996, proyek ini membutuhkan Rp 4,6 triliun atau US$ 2 miliar untuk membuat sepuluh prototipe N-2130. Angka ini belum termasuk ongkos investasi produksi, pemasaran, dan sebagainya. Pada zaman Soeharto berkuasa, biaya supergede seperti itu tampaknya tak jadi soal.
Apa akal? Gampang. Tanggal 16 Februari 1996, DSTP didirikan dengan semangat gotong-royong yang aneh bin ajaib. "Kalau penduduk Indonesia 200 juta orang, biaya yang diperlukan hanya US$ 10 tiap orang," kata Soeharto saat peresmian DSTP kala itu. Dengan prediksi yang ambisius, Soeharto yakin DSTP bakal mencapai titik impas tahun 2013, ketika sudah memproduksi 326 unit pesawat.
Maka, diluncurkanlah 2 juta saham dengan nilai Rp 4,6 triliun. Semua BUMN, bank pembangunan daerah di berbagai tempat, pengusaha, pegawai negeri, guru, diimbau membeli saham DSTP. Pengumpulan dana yang ajaib ini dilengkapi dengan struktur perusahaan yang--kala itu--cukup dahsyat. Bayangkan. Soeharto sendiri yang menjabat komisaris utama dengan didampingi dua mantan wapres, Sudharmono dan Umar Wirahadikusumah, sebagai komisaris.
Posisi direktur utama ditempati Saadilah Mursjid, yang waktu itu menjabat Menteri Negara Sekretaris Kabinet. Dengan komposisi "agung" begini, saham DSTP laris manis. Pengusaha minyak Arifin Panigoro, misalnya, membeli saham senilai US$ 1 juta. Adapun Om Liem beserta Anthony Salim, Prajogo Pangestu, Henry Pribadi, Eka Tjipta Widjaja, masing-masing membeli 5.000 saham, yang bernilai Rp 11,5 miliar.
Kini pamor dan kesaktian DSTP mulai surut seiring dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto. Apalagi dengan kurs sekarang, biaya pembuatan N-2130 membengkak tiga kali lipat atau Rp 13,8 triliun. Mana kuat? Lagipula, penjualan saham DSTP sudah macet. "Sejak Juli, tak ada selembar pun saham terjual," kata Hary Sampurno, Manajer Umum DSTP.
Awal Oktober, dalam rapat informal pemegang saham, terungkap keinginan banting setir. Uang yang telanjur terkumpul, Rp 1,3 triliun, akan digunakan sebagai modal usaha. "Bisa bisnis sembako, kelapa sawit, atau pabrik semen," kata Saadillah Mursjid, Direktur Utama DSTP, ketika itu (TEMPO, edisi No 1/I). Ternyata, gagasan banting setir tak kesampaian. Dalam RUPS, sebagian besar pemegang saham meminta DSTP bubar dan uang dikembalikan. Dana yang sudah telanjur diserahkan ke IPTN, sekitar Rp 250 miliar, tak bisa lagi ditarik. "Hangus," kata Saadillah.
Tapi perkaranya tak segampang itu. Pengembalian uang pemegang saham tidaklah sederhana. Kesulitan terutama terletak pada pemegang saham kolektif, misalnya pegawai negeri di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, yang urunan membeli 1.000 lembar saham. Bagaimana mengembalikannya kepada tiap individu atau lembaga?
Ada lagi yang lebih rumit, yakni soal pengembalian uang BUMN. Muhammad Mu?as, wakil pemegang saham dari Gabungan Karyawan Pembangunan Indonesia, menyatakan bahwa uang BUMN yang digunakan untuk membeli saham DSTP harus diusut dulu sumbernya. "Kalau diambil dari laba, yang berhak adalah karyawan," kata Mu?as, yang termasuk kubu tak setuju pembubaran DSTP.
Lantas, bila uang sudah dikembalikan ke BUMN, timbul masalah lain. Sudah bukan rahasia, uang, dalam jumlah besar pula, yang masuk dari pos yang tak terduga, akan digunakan semaunya atau malah dikorupsi. Persoalan lain, bisa saja uang pengembalian digunakan untuk dana politik. "Kalau itu uang pribadi sih boleh saja. Bagaimana kalau bukan?" tanya Mu?as. Nah, beginilah rumitnya pekerjaan rumah warisan sebuah proyek yang ajaib.
Mardiyah Chamim dan Hardy Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo