Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cuma, masalahnya, siapa yang tahu harga saham Indofood bakal melambung setinggi itu. Who knows? Sekarang, ketika sudah sedemikian tinggi, apakah harga saham Indofood masih bisa naik lebih tinggi? Apakah masih bisa ikut kecipratan rezeki jika menunggang akrobat harga saham Indofood saat ini? Jangan khawatir. Berikut ini memang bukan resep cepat kaya dengan bermain saham. Tapi sedikitnya inilah pendapat para analis pasar modal tentang apa yang bakal terjadi dengan Indofood.
Hingga awal November, Indofood termasuk saham yang diogahi investor. Indofood dipandang sebagai perusahaan yang berbau kroni, yang lengket dengan pelbagai subsidi akibat kuatnya koneksi politik antara Grup Salim (pemegang saham terbesar Indofood) dan mantan presiden Soeharto.
Nah, ketika zaman berubah dan kekuasaan berganti, posisi Indofood dinilai mengkhawatirkan. Apalagi kelompok Salim sedang terbelit kesulitan keuangan. Untuk menyelamatkan BCA, misalnya, Salim harus mengambil kasbon dari Bank Indonesia sampai Rp 35 triliun. Investor percaya, sebagian besar utang ini dijamin oleh saham Salim di Indofood. Akibatnya, para pemodal yakin, setiap saat Indofood bisa saja jatuh ke tangan pemerintah. Pendek kata, perusahaan penghasil mi instan terbesar di dunia ini rawan ancaman nasionalisasi.
Selain secara politis terpojok, greget bisnis Indofood saat itu juga meragukan. Utang dolar Indofood mencapai hampir US$ 1 miliar. Dalam perhitungan Alex Wreksoremboko, Kepala Riset Merrill Lynch Indonesia, dengan beban utang dolar sebesar itu, tahun depan Indofood akan memerlukan US$ 410 juta untuk membayar cicilan pokok, beban bunga, dan biaya swap. Dengan kurs Rp 7.500 per dolar, misalnya, Indofood memerlukan Rp 3 triliun lebih hanya untuk menyervis utang dolarnya.
Repot, kan? Padahal kemampuan Indofood untuk mencetak laba juga tak meyakinkan. Para analis memperkirakan, hantaman kesulitan ekonomi ikut merontokkan daya beli masayarakat dalam mengonsumsi mi. Jika Indofood gagal mendapat laba operasional sebesar jumlah cicilan utangnya, para pemegang sahamnya harus siap-siap gigit jari. Indofood akan terancam bangkrut. Sangat berbahaya!
Dengan tekanan seberat itu, tampaknya tak ada yang heran jika harga saham Indofood sempat terpuruk hingga di bawah Rp 1.000 pada pertengahan 1998. Tapi siapa sangka, tiba-tiba muncul pelbagai manuver. Awalnya, Bogasari, pabrik penggilingan gandum yang juga terbesar di dunia, yang 100 persen dimiliki Indofood, sedang ditawarkan pada harga US$ 800 juta. Kabarnya, sejumlah investor asing pada ngebet. Rumor ini berpengaruh cukup hebat. Harga saham Indofood terus bergetar dan menanjak cepat dari Rp 1.700 menjadi Rp 3.025.
Belum lagi jelas siapa peminang Bogasari, eh, tiba-tiba muncul berita baru. Grup Salim alias Liem Sioe Liong berasama ketiga konco, yaitu Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono, akan melepas sisa sahamnya. Sebanyak 60 persen saham, sisa yang masih mereka kuasai di Indofood, akan dibeli sebuah perusahaan dari luar negeri. Perusahaan ini merupakan kongsi dari Nissin Food Product dari Jepang (50 persen) dan First Pacific (50 persen). Nissin Food merupakan produsen mi terbesar di Jepang. Adapun First Pacific adalah perusahaan publik di Hong Kong yang sebagain besar sahamnya (53,5 persen) juga dikuasai Grup Salim.
Nah, persoalannya, apakah dengan jual-beli internal ini (dari kantong Salim berpindah ke tangan First Pacific yang juga dikuasai Salim), nasib Indofood akan berubah. Apakah pemindahan kepemilikan dari tangan Salim ke perusahaan publik di luar negeri itu akan menyelamatkan Indofood dari, misalnya, ancaman nasionalisasi? Mengapa akuisisi ini bisa jadi alasan harga saham Indofood melambung berlipat-lipat?
Erwan Teguh, analis saham dari SocGen Global Equities, meragukan adanya keuntungan dari akuisisi ini bagi Indofood. Hasil penjualan saham ini kelak bukan ke Indofood, tapi akan masuk langsung ke kantong Salim. Indofood bisa saja kecipratan rezeki. Tapi itu sebatas kemudahan akses mendapat pinjaman dari perbankan luar negeri. Itu karena First Pacific dan Nissin lebih punya gengsi di kalangan keuangan internasional ketimbang Salim. Hanya, keuntungan ini belum bisa segera dimanfaatkan. Soalnya, dengan beban utang yang sudah sedemikian berat, akan berbahaya bagi Indofood untuk mencetak utang baru lagi.
Selain soal kemudahan berutang, Indofood mungkin juga bisa memanfaatkan jaringan pemasaran Nissin untuk menembus pasar ekspor. Dari segi ukuran, Nissin sebenarnya cuma separuh Indofood. Nissin merebut 10 persen pangsa pasar mi dunia, sedangkan Indofood hampir 20 persen. Tapi, dari segi jaringan, Indofood kalah jauh. Nissin mengoperasikan 66 pabrik di 11 negara dan mengekspor produknya ke 80 negara. Sementara Indofood cuma memasok minya ke 35 negara.
Namun apakah peluang memperlebar pasar ini cukup jadi alasan untuk mendongkrak harga saham Indofood hingga dua setengah kali lipat? Rasanya, kok, tak masuk akal. Menurut Alex Wreksoremboko, akrobat harga saham Indofood lebih banyak didorong oleh faktor-faktor di dalam tubuh Indofood sendiri. Bukan karena akuisisi First Pacific dan Nissin.
Pertama, pendapatannya ternyata amat mengejutkan, di luar dugaan. Gara-gara krisis, volume penjualan mi memang terus menurun. Tapi penurunan ini ternyata tergantikan oleh peningkatan harga jual mi dan ekspor produk minyak sayur. Dalam hitungan Alex, lebih dari seperlima penjualan dalam sembilan bulan pertama tahun ini berasal dari ekspor.
Kedua, rupiah yang terus menguat membawa dua berkah sealigus bagi Indofood. Pertama daya beli masyarakat bakal menguat dan ini memberi harapan pulihnya tingkat konsumsi mi. Yang kedua, mengurangi tekanan utang pada Indofood. Karena harga dolar merosot sampai Rp 7.500, dana yang harus disediakan Indofood untuk membayar utang dolar tahun depan berkurang 25 persen.
Ketiga, pada akhirnya peningkatan penjualan dan berkurangnya beban utang menurunkan ancaman bangkrut. Menurut hitungan Alex, jika rata-rata harga dolar tahun depan tak melonjak lebih dari Rp 9.000, Indofood tetap bisa bertahan dan lancar membayar utangnya.
Dengan pelbagai pertimbangan itu Alex menilai Indofood layak dijadikan wahana investasi jangka panjang. Jika rupiah tak bertingkah, Alex yakin harga saham Indofood masih bisa menanjak jadi Rp 5.500. Jadi, kalau membeli saham Indofood saat ini pada harga Rp 4.000, Anda masih bisa menjaring untung 37 persen.
Tapi jangan keburu nafsu. Erwan Teguh punya pendapat yang lain. Menurut analis ini, prospek Indofood boleh saja cerah, tapi sebagai perusahaan publik Indofood dinilai kurang transparan. Ada banyak daerah samar-samar yang membuat orang menebak-nebak. Karena itu Erwan yakin, tren harga saham Indofood akan menurun. "Harga yang sekarang ini terlalu mahal," katanya.
Nah, Anda percaya yang mana? Jangan lupa, risiko tanggung sendiri.
Dwi Setyo, Mardiyah Chamim, dan Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo