REZEKI tak terduga mengguyur bursa saham sepanjang pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tampak melesat bak maling kepergok massa. Pada pembukaan perdagangan Senin, 1 September, indeks masih di posisi 529,675 poin, tapi sepekan kemudian telah bertengger pada tingkat 587,057 poin. Dengan kenaikan 50 poin lebih, kinerja IHSG mencapai tampuk tertinggi selama tiga tahun terakhir.
Namun sebagian pelaku pasar menanggapi kilauan kinerja bursa itu dengan sinis. "Kenaikan ini lebih disebabkan oleh pencucian uang," ujar seorang analis di perusahaan sekuritas nasional, yang lebih suka dipanggil dengan nama kecilnya: Toto.
Toto mengaitkan maraknya perdagangan saham dengan sidang paripurna DPR yang menyetujui amendemen Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, 16 September ini. Ia memperkirakan, indeks melaju kencang tak lain karena dorongan uang panas. Alasan ini masuk akal karena sesudah revisi terhadap UU Pencucian Uang disetujui DPR, jago-jago money laundering tentu tidak lagi bisa seenaknya "mencuci" uang mereka.
Namun Toto sulit membuktikan kecurigaan itu, apalagi tingkat suku bunga terus menurun. Tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berjangka satu bulan, yang menjadi indikator investasi di bank, sedikit-banyak terkait dengan tinggi-rendahnya perdagangan saham. Saat pendapatan bunga turun, pemilik dana biasanya akan berinvestasi di bursa saham.
Jika hukum besi investasi itu yang dipakai, kenaikan IHSG tidaklah aneh. Dalam 36 kali lelang tahun ini, hanya satu kali SBI naik, yakni pada 26 Maret 2003, saat suku bunga SBI meningkat 4 basis poin. Di luar itu, SBI turun secara konsisten. Wajar jika bunga SBI satu bulan, yang di awal tahun masih 12,89 persen, pada pekan kedua bulan ini tinggal 8,76 persen.
Mirza Adityaswara, kepala analis Bahana Sekuritas, termasuk yang meragukan adanya aksi cuci uang di bursa. Selain bunga SBI mendukung peningkatan IHSG, ia menunjuk kinerja Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang berkilau sepanjang tahun ini. Kenaikan indeks di BEJ sebesar 30 persen memang terbesar kedua setelah Thailand, yang meningkat 50 persen. Namun, dibandingkan dengan Thailand, Mirza menilai saham-saham di BEJ lebih atraktif. Rata-rata rasio harga terhadap pendapatan saham (price earning ratio atau PER) di BEJ baru sebesar 7 kali, sementara di bursa Thailand sudah 13 kali. Karena itu, investor asing ikut memborong saham pada hari-hari silam, kata Mirza.
Dari data yang dipublikasikan BEJ, pembelian investor asing selama pekan lalu memang naik empat kali lipat. Tapi beberapa pelaku pasar ragu apakah data tersebut merupakan indikator yang tepat untuk mengukur partisipasi investor asing. Sejak larangan bagi asing untuk membeli saham dari investor lokal dihapus pada 1999, praktis pembedaan asing dan lokal hanya sekadar catatan formalitas. Nilai pembelian investor asing yang dipublikasikan hanya berarti nilai pembelian yang dilakukan sekuritas asing. Sedangkan klien mereka tidak terbatas pada orang-orang bule semata. "Indikator itu menyesatkan," ujar Martin Panggabean, ekonom yang tekun memantau bursa saham.
Pendapat boleh berbeda, tapi siapa berperan di balik investor asing telah membuat marak isu pencucian uang, terlebih karena kurs dolar terhadap rupiah nyaris tidak berubah. Saat indeks melejit 50 poin, nilai terendah dan tertinggi kurs hanya berkisar 15 poin. Padahal rata-rata perdagangan harian di kedua pasar tersebut tidak jauh berbeda.
Karena itu pula, seandainya aksi beli saham dilakukan investor asing, Martin menduga dana yang dipakai bukanlah dana segar dari luar negeri, melainkan uang yang tertanam di Indonesia. "Jadi, hanya peralihan bentuk investasi, seperti obligasi ke saham," katanya menyimpulkan. Saat ini volume perdagangan di pasar surat utang tidak kalah besar dibandingkan dengan bursa saham. "Rata-rata nilai perdagangan obligasi pemerintah sekitar Rp 1 triliun per hari," ujar Mirza.
Namun Toto meragukan kesimpulan Martin. "Apa lazim investor asing membuang dana sebegitu besar dalam waktu singkat?" katanya. Apalagi seorang pengelola dana yang merupakan kliennya pernah kaget dengan tingginya pembelian investor asing. "Pembelian kami rasanya tidak sebesar itu," ucap Toto menirukan kliennya.
Beberapa broker yang dihubungi TEMPO menolak berkomentar. "Siapa klien kami itu tidak perlu disebut," ujar seorang broker dari sekuritas asal Eropa. Ia hanya menegaskan bahwa nasabahnya adalah perusahaan pengelola dana yang tepercaya.
Pro dan kontra seputar kenaikan indeks dan kaitannya dengan pencucian uang tentu perlu terus dipantau dan dicatat. Bahkan, jika BEJ dan Badan Pengawas Pasar Modal merasa wajib menjaga iklim yang sehat di bursa, kenaikan indeks 50 poin sangat patut dicermati. Soalnya, jika benar uang haram mewarnai kinerja bursa, itu bukan sekadar aib, tapi juga melanggar UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Maka berhati-hatilah.
THW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini