Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masih ingat kasus tercecernya sebuah "travelers cheque" milik Aberson Marle Sihaloho? Cek itu ditandatangani oleh Dirjen Anggaran Anshari Ritonga dan sempat menjadi bahan gunjingan sepanjang semester II tahun 2001. Memang, Anshari membantah telah memberikan sebuah cek kepada Aberson. Namun publik sulit merasa yakin bahwa cek tersebut tidak berkaitan dengan upaya penyogokan.
Meilono Soewondo dari PDI Perjuangan juga pernah mengaku menerima dua lembar cek perjalanan dalam rapat kerja dengan sebuah BUMN. Selembar bernilai Rp 500 ribu, dengan nomor seri BA051438. Selembar yang lain nilainya Rp 1 juta, dengan seri CA050560. Keduanya dikeluarkan oleh Bank Mandiri. Pengakuan Meilono memicu kontroversi, baik di kalangan partainya sendiri maupun di masyarakat.
Surat berharga seperti cek dalam waktu dekat tampaknya tak lagi merupakan bentuk yang aman bagi para pelaku penyogokan. Undang-Undang Anti-Pencucian Uang yang baru telah menghapus batasan jumlah (threshold) Rp 500 juta pada definisi hasil tindak pidana yang harus dicegah masuk ke sistem perbankan. Dengan sejumlah amendemen yang akan diputuskan dalam sidang paripurna DPR Selasa 16 September ini, setiap bank dan perusahaan jasa keuangan diharuskan melaporkan nilai transaksi di lembaganya—berapa pun jumlahnya—yang dianggap mencurigakan dan patut diduga terkait dengan tindak pidana pencucian uang.
Uang hasil penyuapan juga termasuk jenis yang diharamkan masuk ke perbankan dan sistem keuangan resmi lainnya. Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002, selain penyuapan, tindakan yang hasilnya juga dilarang masuk adalah korupsi, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, narkotik, psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, dan penipuan. Dalam rumusan yang diperbaiki itu, cakupannya bertambah dengan dimasukkannya perjudian sebagai kejahatan yang uangnya juga harus dimusuhi.
Dengan revisi berat terhadap Undang-Undang Pencucian Uang tersebut, aneka jenis uang haram yang beredar di Indonesia dan belakangan ini membuat panas pasar uang di Indonesia semestinya bisa dihindari. Tapi, menurut pengamat perbankan Mirza Adityaswara, dalam hal implementasi kebijakan, biasanya Indonesia justru lemah dan kedodoran. Pendapat ini juga dibenarkan oleh Yunus Husein, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Padahal lembaga yang dipimpinnya memang ditugasi melakukan pencegahan pidana pencucian uang di Indonesia. "Kita ini terkenal hebat hanya kalau membuat peraturan. Pelaksanaannya belum tentu," ujar Yunus, pesimistis.
Yunus sendiri belum puas benar dengan amendemen yang diusahakan agar sesuai dengan butir-butir revisi yang digariskan Satuan Tugas Pemberantasan Pencucian Uang (Financial Action Task Force on Money Laundering, disingkat FATF), yang berkedudukan di Swiss. Saat ditemui TEMPO usai pembahasan bersama Panitia Kerja Komisi Hukum dan Dalam Negeri DPR Rabu pekan lalu, berkali-kali ia hanya mengusap dahi saat ditanya mengenai kemajuan penggodokan revisi Undang-Undang Pencucian Uang. Baru setelah ia selesai menyalami para anggota panitia, Yunus mulai menceritakan kegundahannya.
Rupanya, siang itu para wakil rakyat bersikukuh menunggu adanya keputusan presiden yang akan mengatur soal kepegawaian di PPATK. Yunus khawatir karena dalam perintah menunggu keputusan itu ada embel-embel "sesuai dengan ketentuan yang berlaku". Embel-embel ini akan menjadi masalah baginya jika nanti diterjemahkan bahwa kepegawaian di lembaga baru itu harus tunduk pada ketentuan yang mengatur pegawai negeri. Padahal saat ini saja 24 karyawan PPATK—15 orang di antaranya berasal dari Bank Indonesia—diupah dengan standar bank sentral.
Karena lingkup kerjanya, PPATK juga berharap bisa merekrut tenaga-tenaga berkompeten dari berbagai instansi lain seperti kepolisian, kejaksaan, Bapepam, dan kalangan industri keuangan. Tapi, siapa yang mau pindah ke situ jika gaji yang ditawarkan berstandar gaji pegawai negeri. Tugas pengawasan transaksi itu juga mengharuskan karyawan lembaga ini berurusan dengan informasi-informasi keuangan yang rentan terhadap kebocoran. "Bisa-bisa mereka jual informasi itu kalau digaji kecil," Yunus mengingatkan.
Keluhan mantan Kepala Bagian Hukum Bank Indonesia ini berlanjut karena sampai sekarang anggaran untuk lembaganya pun tak kunjung ada kejelasannya. Tanpa duit yang cukup, PPATK ibarat mobil yang disuruh adu balap tanpa diberi bahan bakar. Padahal, setelah pertemuan FATF di Makau, Oktober nanti, mereka sudah harus lepas dari garis start. Pertemuan itu pula yang akan mengevaluasi apakah Indonesia dianggap cukup serius memperbaiki kinerjanya dalam pemberantasan pidana pencucian uang. Selain perbaikan undang-undang, ukuran lain yang akan dilihat adalah seberapa efektif PPATK sebagai lembaga pelaksana mampu mengimplementasikan peraturan itu.
Mirza melihat, dalam soal implementasi kebijakan, Indonesia memang selalu membutuhkan pengawasan. Contohnya, dengan program IMF. Ia beranggapan, dalam hal pencucian uang, akan lebih efektif jika pengawas itu adalah sebuah lembaga asing seperti FATF yang didukung oleh negara-negara kuat seperti Amerika Serikat dan Australia. "Amendemen ini bisa cepat, kan," katanya, "juga setelah FATF dan Duta Besar Amerika menyampaikan ancamannya untuk memberi sanksi."
Pendapat Mirza, yang mengandung kebenaran itu, dibantah oleh Ketua Komisi Hukum DPR, Teras Narang. Anggota DPR ini lebih memandang urusan perbaikan undang-undang ini sebagai kebutuhan Indonesia sendiri. Tetapi, becermin pada disiplin dan kepatuhan para pelaku industri keuangan terhadap ketentuan ini, rupanya kecenderungan seperti yang disebut Mirza semakin jelas. Dari 145 bank yang beroperasi di Indonesia, baru 27 yang sudah melaporkan transaksi mencurigakan dari nasabahnya kepada Bank Indonesia, yang lalu diteruskan ke PPATK. "Itu pun kebanyakan masih bank-bank asing, yang memang diharuskan oleh kantor pusat mereka di luar negeri," ujar Mirza.
Bagi kalangan perbankan dan industri jasa keuangan, bertambahnya regulasi bukan hanya menambah kerepotan, tetapi juga membengkakkan biaya. Sebelum ada ketentuan anti-pencucian uang ini pun, setiap hari mereka sudah diwajibkan membuat laporan kepada otoritas seperti Bank Indonesia atau Bapepam. Ada laporan neraca, laporan devisa neto, treasury, dan sebagainya. Dan sekarang tambah satu lagi. "Biaya itu bertambah karena ada waktu kerja dan tenaga yang mesti khusus dialokasikan untuk itu," kata Direktur Citigroup Asset Management Indonesia, Frederik Wattimena. Frederik sendiri tidak bisa menyebut secara pasti berapa porsi penambahan itu. "Yang jelas, semua personel di front office harus dilatih mengisi checklist untuk mencegah pencucian uang."
Hambatan lain yang bisa dijadikan alasan bagi pelaku industri keuangan untuk tidak patuh ialah belum adanya kejelasan dalam ketentuan mengenai perlindungan saksi pelapor. Banyak manajemen bank yang enggan melapor karena tidak mau dipusingkan dengan urusan penyelidikan oleh aparat hukum, yang salah-salah justru membuat mereka tersudut. Seorang pejabat di bank sentral mengatakan, kasus seperti ini pernah dialami oleh dua pejabat sebuah bank asing, yang justru diperlakukan oleh aparat hukum seolah-olah mereka itulah tersangkanya.
Perlakuan adil terhadap penyedia jasa keuangan juga dituntut oleh Mirza. Tujuannya agar jangan sampai perusahaan yang patuh justru dihadang kesulitan, sementara bank-bank yang bandel malah mendapat untung karena nasabah pemilik uang panas lebih suka datang pada mereka. Jika ini tidak bisa dipenuhi, masih banyak jalan bagi penyuap dan pelaku kriminal untuk mencuci uang haram mereka di negeri ini.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo