Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menebar Pesona Eceng Gondok

Pasar produk eceng gondok mulai merambah Timur Tengah. Terdorong makin sulitnya bahan baku kayu dan rotan.

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI baru naik sepenggalah ketika perahu dengan motor tempel itu menyusuri Sungai Nil, Senin tiga pekan lalu. Ditemani beberapa pegawai Kementerian Sumber Daya Air dan Irigasi Mesir, Ngadiman nanap memandangi permukaan sungai terpanjang di dunia itu, sejak perahu meninggalkan Kota Kairo. Dua perahu motor mengawal di belakang.

Sesampai di Alexandria, mereka menemukan hamparan hijau mengambang. ”Benar, ini eceng seperti yang di Indonesia,” kata Ngadiman kepada para pegawai irigasi. Pengusaha furnitur asal Sragen, Jawa Tengah, itu memang diajak Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah Suryadharma Ali menilik eceng gondok yang dikeluhkan pemerintah Mesir.

Adalah pada suatu ketika, Menteri Kerja Sama Internasional Mesir Fayza Aboulnaga bertandang ke pameran kerajinan di Indonesia. Ia terkesima melihat aneka rupa tas, sandal, tikar, bahkan mebel yang terbuat dari eceng gondok. Aboulnaga teringat, ”rumput sungai” macam begini rasa-rasanya juga ada di Sungai Nil. Itu sebabnya Negeri Piramida itu meminta Indonesia memberi ”penyuluhan” tentang eceng gondok.

Di Alexandria, perwakilan kedua pemerintah menyepakati tiga opsi: Indonesia mengirim tenaga ahli untuk memberi pelatihan, kedua negara memberi dukungan dalam memasarkan hasil kerajinan, atau dalam kerangka kerja sama perdagangan yang mencakup pelatihan dan akses pasar. ”Kecenderungannya yang ketiga,” kata Sri Ernawati, Deputi Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementerian Koperasi dan UKM. ”Dari situ kita berharap bisa memanfaatkan jaringan perdagangan mereka dengan negara-negara Arab, Afrika, dan Eropa.”

Menurut Ngadiman, kerja sama ini memberi peluang besar. Potensi bahan baku yang tersedia akan menyedot banyak tenaga kerja. Pasar yang menjanjikan juga terbuka lebar. Walau masih berskala kecil, beberapa jenis kerajinan yang diekspor ke sana mendapat perhatian khusus. ”Mesir merupakan pintu masuk ke Timur Tengah,” kata Ngadiman.

Sejak digunakan sebagai bahan alternatif rotan pada 1995, tumbuhan gulma dengan nama resmi Eichhornia crassipes ini makin naik daun saja. Lihatlah perjalanan Ngadiman. Melalui CV Rotan Sumber, ia pertama kali mengirim seratus kursi ke Belanda pada 1998. Sekarang, dengan kapasitas 2.000 kursi per bulan, ia memasok negara-negara Eropa lain, seperti Jerman, Italia, dan Bulgaria.

Ketua Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia Ambar Tjahjono mengatakan memang yang paling banyak menyerap produk furnitur dan kerajinan Indonesia, baik berbahan baku eceng gondok, mendong, rotan, maupun kayu, adalah negara-negara Eropa. Setelah itu, menyusul Jepang, Cina, Australia, dan Amerika Serikat. Timur Tengah termasuk masih belum seberapa.

Ambar menambahkan, walau tidak pesat, nilai ekspor industri ini terus meningkat. Lima tahun lalu, sektor ini baru menyumbang pemasukan devisa US$ 1,4 miliar. Jumlahnya merangkak ke US$ 1,5 miliar pada tahun berikutnya, dan tahun kemarin mencapai US$ 1,9 miliar. ”Khusus yang berbahan baku eceng gondok meliputi sekitar sepuluh persen,” kata Ambar.

Pilihan ke eceng gondok, antara lain, disebabkan oleh makin sulitnya bahan baku kayu dan rotan. Karena itu, para perajin juga berpaling ke bahan alternatif lain, seperti mendong, pelepah pohon pisang, lidi, dan akar-akaran. Pada 1998, beberapa sentra kerajinan di Cirebon, Tasikmalaya, Yogyakarta, Semarang, Solo, Ambarawa, Wonosobo, dan Jepara mulai melirik eceng gondok. Tahun lalu, satu pusat kerajinan dibuka di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara, dan Gorontalo.

Ketua Koperasi Serba Usaha Anugerah Indah, Deni Romandor, mengatakan pembukaan pusat kerajinan di Minahasa ini awalnya untuk menangani masalah eceng gondok yang melimpah di Danau Tondano. Kini mereka sudah menghasilkan mebel dan perlengkapan rumah tangga lainnya.

Karena volume produksinya masih kecil, pemasaran baru sebatas Minahasa dan Sulawesi. Omzetnya juga baru Rp 15 juta per bulan. Tapi, ”Prospeknya bagus,” kata Deni. ”Kami akan membangun sentra serupa di tempat lain.” Itulah juga yang terpikir oleh para petinggi kerajinan Mesir, setelah Ngadiman dan kawan-kawan menebar pesona eceng gondok di negeri itu.

Muchamad Nafi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus