Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Disita Dahulu, Diputus Kontrak Kemudian

Nike mengakhiri kontrak bisnis dengan Hartati Murdaya. Pesangon 14 ribu karyawan tak jelas nasibnya.

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMESTINYA, Selasa dua pekan lalu menjadi hari istimewa buat Elizabeth Sutarti. Wakil Ketua Serikat Pekerja PT Nagasakti Paramashoes Industry di Tangerang, Banten, ini genap berusia 37 tahun.

Tapi nahas, di hari ulang tahunnya itu bukan kado yang diterimanya, melainkan kabar buruk tentang Nike Inc. yang memutus kontrak bisnis dengan perusahaannya. ”Ini ulang tahun paling ’berkesan’.” katanya getir.

Kabar itu diterimanya langsung dari sang empunya perusahaan, Siti Hartati Murdaya, dalam rapat dadakan malam itu di kantor pusat PT Hardaya Aneka Shoes—juga di Tangerang. Bos Grup Central Cipta Murdaya (CCM) ini menjelaskan kontrak diputus oleh perusahaan perlengkapan olahraga terkemuka asal Amerika Serikat itu terhadap Nagasakti dan Hardaya.

Mendengar kabar ini, perempuan yang akrab disapa Tarti ini bak disambar geledek. Sebab, sejak 1989, kerja sama perusahaannya dengan Nike tak pernah putus. Undangan rapat pun baru diterimanya pukul 15.30, setelah bubaran pabrik.

Dalam rapat, Hartati meminta semua wakil buruh yang hadir malam itu segera menyampaikan berita ini kepada semua karyawan. Ketika keesokan harinya Tarti menyampaikan berita pahit ini di hadapan sekitar 6.000 karyawan Nagasakti, isak tangis langsung pecah. Tak sedikit bahkan yang jatuh pingsan. Semula tak semua karyawan langsung percaya. Namun, akhirnya mereka pun lunglai ketika disodorkan surat pemberitahuan resmi dari Nike.

Merasa periuk nasi mereka terancam, 14 ribu karyawan kedua perusahaan itu menggelar demonstrasi besar-besaran di kantor perwakilan Nike Indonesia di gedung Bursa Efek Jakarta, Senin lalu. ”Keinginan kami, kontrak dilanjutkan atau Nike membayar pesangon kepada pekerja,” kata Tarti, yang juga bertindak selaku juru bicara dalam aksi demonstrasi tersebut.

l l l

DI hadapan para wartawan, Selasa lalu, Hartati didampingi putranya, Prisna Murdaya, tak kuasa menahan emosi. Ia mengaku terkejut dengan keputusan mitra bisnisnya selama 18 tahun ini. ”Tak ada peringatan apa-apa,” kata orang terkaya ke-16 di Indonesia versi majalah Forbes Asia 2006 ini. ”Nike memutus kontrak begitu saja.”

Hartati juga menampik tudingan bahwa pemutusan kontrak didasari oleh buruknya mutu dan kinerja kedua perusahaan miliknya itu. Buktinya, kata taipan dengan kekayaan US$ 430 juta (sekitar Rp 3,8 triliun) ini, sebulan sebelum kontrak diputus, Nagasakti dan Hardaya mendapat penghargaan dari Nike atas kualitas produknya.

Lagi pula, buruh pabrik Nagasakti dan Hardaya setiap bulan secara teratur memasok sekitar 1 juta pasang sepatu pesanan Nike dengan omzet US$ 20 juta (sekitar Rp 181 miliar). Tingkat pengembalian barang yang rusak pun cuma sekitar dua persen. Angka itu jauh lebih kecil dibanding tingkat pengembalian dari perusahaan kontraktor Nike lain, yang rata-rata mencapai 20 persen.

Selain Nagasakti dan Hardaya, terdapat lima perusahaan kontraktor Nike di Indonesia, yakni Adis Dimension Footwear, Pratama, KMK Global Sports, Pou Chen, dan Feng Tay & Glostar Indonesia. Sekitar 12 persen dari total produk Nike di dunia berasal dari negeri ini. ”Sebagai investor, saya merasa dirugikan dengan pemutusan ini,” kata Hartati lagi.

Sebelum kontraknya diputus, Hartati mengaku sempat mendengar kabar bahwa Nike bakal menghentikan produksi sepatunya di Indonesia. Namun, ia sungguh tak menyangka jika kedua pabriknyalah yang menjadi korban.

Ia pun menyatakan penahanan beberapa kontainer sepatu keluaran perusahaannya oleh aparat Bea dan Cukai, seperti yang diberitakan majalah ini, dua bulan lalu, turut melatarbelakangi keputusan Nike. ”Berita Tempo menjadi pemicu keputusan penghentian kontrak,” kata penguasa Arena Pekan Raya Jakarta ini dengan nada tinggi.

Sekadar mengingatkan, petugas Kepolisian Resor Tangerang pada pertengahan Maret lalu menahan sebuah kontainer yang keluar dari pabrik Nagasakti di Pasar Kemis, Tangerang. Penahanan dilakukan karena sepatu yang semestinya diekspor itu malah keluar jalur dari kawasan berikat tanpa izin Bea dan Cukai.

Belakangan ditemukan pula tumpukan sepatu milik Nagasakti di sebuah gudang di kawasan Karet dan Karawaci, Tangerang. Bea dan Cukai akhirnya menyita semua sepatu itu, total sekitar 40 ribu pasang sepatu bermerek Niki dan Yonex. Hartati lantas menulis surat kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan tembusan ke Presiden (Tempo, 28 Mei 2007).

Kini nasi sudah menjadi bubur. Walau begitu, Hartati tak gentar. Toh, ia menegaskan 84 perusahaan miliknya di sektor listrik, perdagangan, engineering, infrastruktur, teknologi informasi, manufaktur, agribisnis, kehutanan, dan properti tak terganggu. ”Yang saya pikirkan, bagaimana membayar pesangon 14 ribu karyawan,” ujarnya.

Ia mengaku tak sanggup membayar seluruh pesangon US$ 40 juta (sekitar Rp 363 miliar). Karena itulah, istri pengusaha Murdaya Widyawirmata Poo ini meminta Nike memberi tenggat lebih lama dari yang dijanjikan.

Tenggat yang diberikan Nike hanya sembilan bulan dengan pemesanan 300 ribu pasang sepatu. Namun, Hartati meminta lebih panjang, yaitu 18 bulan untuk Hardaya dan 30 bulan untuk Nagasakti. ”Tentunya dengan jumlah pesanan yang memadai,” katanya.

Sang taipan pun meminta Nike turut berpartisipasi membayar pesangon karyawan. Jika tidak, dirinya akan menggugat Nike di pengadilan Amerika, tempat perjanjian kerja sama ini dibuat pada 1989.

Hartati boleh berharap, namun manajemen Nike tetap berkeras pada keputusannya. Dalam surat elektronik yang dikirimkan kepada Tempo, Direktur Corporate Responsibility Communications Nike, Erin Dobson, menyatakan keputusannya telah final. Nagasakti dan Hardaya hanya punya waktu sembilan bulan untuk bernapas, sebelum pengiriman terakhir dilakukan pada Maret 2008.

Erin juga menjelaskan, pokok-persoalannya adalah kinerja kedua perusahaan itu berada di bawah standar minimum Nike dalam hal kualitas dan pengiriman produknya selama dua tahun terakhir. Itu sebabnya, Nike telah mengirim surat peringatan berkali-kali kepada Nagasakti dan Hardaya.

Sejak Maret lalu, Nike pun mengurangi jumlah pesanannya hingga 50 persen dengan harapan terjadi perbaikan kinerja. Kenyataannya, pihak Nike menilai tak ada perbaikan. Tindakan segera diambil. Pada 6 Juli, manajemen Nike memberi tahu Hartati bahwa mereka akan menghentikan pesanan di kedua pabrik itu pada akhir tahun ini.

Meski begitu, Erin menyangkal bahwa keputusan penghentian kontrak juga didasari pemberitaan kasus kontainer sepatu milik Hartati. ”Keputusan itu murni karena alasan bisnis, yaitu mutu dan kinerja yang buruk,” ujarnya.

Selanjutnya, Nike berencana memindahkan pusat pasokan produksinya ke perusahaan lokal lainnya di Indonesia. ”Indonesia tetap menjadi sourcing country utama bagi Nike,” kata Erin.

l l l

Melihat kedua pihak sama-sama ngotot, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Asprisindo) menyarankan agar kemelut bisnis di antara kedua anggotanya ini segera diselesaikan lewat meja perundingan. ”Supaya tidak mengganggu industri persepatuan di Indonesia,” kata Ketua Dewan Pengarah Asosiasi Persepatuan Indonesia, Harijanto.

Soal pembayaran pesangon, Harijanto meminta pemilik Nagasakti dan Hardaya dapat memanfaatkan kelonggaran waktu yang diberikan Nike. Sesuai dengan kontrak kerja sama, Nike memang tak wajib membayar pesangon karyawan. ”Justru pabrik milik Hartati yang harus bertanggung jawab menyiapkan pesangon,” ujarnya.

Belum adanya kejelasan atas nasib 14 ribu karyawan tersebut membuat pemerintah turun tangan. Menteri Perindustrian Fahmi Idris menyatakan pengambilan keputusan penyelesaian kasus ini akan dilakukan dalam pertemuan antara pihaknya, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan pihak-pihak yang bersengketa.

Pertemuan telah digelar Rabu malam lalu, tapi, sayang, tak membuahkan hasil karena tak dihadiri perwakilan Nike. Meski begitu, menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Erman Suparno, pemerintah akan terus memfasilitasi perundingan untuk mencari titik temu.

D.A. Candraningrum, Gunanto Eko Saputro, Ninin Damayanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus