Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Krisis Keuangan Asia pada 1997, atau 27 tahun lalu merupakan salah satu peristiwa ekonomi paling mencolok dalam sejarah Asia modern. Krisis moneter ini tidak hanya mengguncang fondasi ekonomi negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga mempengaruhi pasar global secara luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Seperti yang dikutip dari laman resmi ASEAN, krisis Keuangan Asia bermula dari Thailand, di mana pada pertengahan 1997, tepatnya awal Juli 1997, ekonomi negara ini mengalami tekanan serius terhadap nilai tukar mata uangnya, baht. Pemerintah Thailand pada saat itu, yang terbebani oleh utang luar negeri yang besar dan tingginya ketergantungan pada modal asing, menghadapi serangan spekulatif dari para investor global yang mempertanyakan keberlanjutan nilai tukar baht yang tetap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pada 2 Juli 1997 atau hari ini 27 tahun silam, pemerintah Thailand mengumumkan keputusan yang dramatis untuk mengambangkan Baht. Bangkok mengakhiri kebijakan nilai tukar tetap yang telah dipertahankan dalam beberapa dekade.
Langkah ini seharusnya merangsang ekspor Thailand dengan membuat produk-produknya lebih murah bagi pasar internasional, namun reaksi pasar justru berlawanan. Investor asing mulai menarik modal mereka secara massal, yang memicu penurunan nilai tukar baht secara drastis dan merembet ke seluruh sektor ekonomi.
Dampak dari keputusan Thailand ini dengan cepat menyebar ke negara-negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan. Faktor-faktor seperti ketergantungan yang tinggi pada modal asing, defisit perdagangan yang besar, serta ketidakstabilan politik internal masing-masing negara, semakin memperburuk situasi ekonomi.
Negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Indonesia, mengalami gejolak serupa dalam waktu singkat. Bank sentral Indonesia terpaksa menghadapi tekanan besar untuk mempertahankan nilai tukar rupiah, yang pada akhirnya jatuh secara signifikan terhadap dolar AS. Krisis ini juga mengungkapkan kerentanan sektor perbankan Indonesia yang dipenuhi dengan kredit macet dan terlalu tergantung pada modal asing.
Dampak Krisis Keuangan Asia tidak hanya terbatas pada Asia Tenggara, tetapi juga mempengaruhi pasar global dengan cara yang signifikan. Beberapa dampak utamanya antara lain:
1. Resesi Ekonomi: Negara-negara yang terdampak mengalami resesi ekonomi yang dalam. Penurunan ekspor, investasi asing yang keluar, serta kontraksi ekonomi menjadi gejala umum di seluruh kawasan.
2. Krisis Perbankan: Sektor perbankan di banyak negara Asia mengalami tekanan besar akibat dari dana nasabah yang ditarik secara massal dan lonjakan kredit macet. Di Indonesia, misalnya, bank-bank terpaksa menghadapi masalah serius yang mempengaruhi likuiditas mereka.
3. Krisis Mata Uang dan Keuangan: Penurunan nilai tukar mata uang yang drastis, seperti rupiah Indonesia, serta lonjakan suku bunga dan penurunan harga saham, semakin memperburuk kondisi ekonomi masing-masing negara.
4. Reformasi Struktural: Untuk mengatasi krisis ini, banyak negara Asia Tenggara terpaksa melakukan reformasi ekonomi yang mendalam. Hal ini mencakup penyesuaian nilai tukar, restrukturisasi sektor keuangan, serta peningkatan transparansi dalam kebijakan ekonomi dan regulasi pasar.
5. Dampak Sosial: Krisis ini juga memiliki dampak sosial yang signifikan, termasuk peningkatan angka pengangguran, kemiskinan, dan ketidakstabilan sosial di beberapa negara. Ketidakpastian ekonomi meresahkan masyarakat, terutama mereka yang bergantung pada sektor informal dan ekonomi bawah.
Negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Indonesia, mengalami gejolak serupa dalam waktu singkat. Bank sentral Indonesia terpaksa menghadapi tekanan besar untuk mempertahankan nilai tukar rupiah, yang pada akhirnya jatuh secara signifikan terhadap dolar AS. Krisis moneter ini juga mengungkapkan kerentanan sektor perbankan Indonesia yang dipenuhi dengan kredit macet dan terlalu tergantung pada modal asing.
Krisis moneter ini paling parah dialami oleh Korea Selatan, Indonesia, dan Thailand, diikuti oleh Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Filipina. Rasio utang luar negeri terhadap PDB di beberapa negara tersebut melonjak dari 100 persen menjadi 167 persen, bahkan melampaui 180 persen pada puncak krisis.
ASEAN.ORG | INVESTOPEDIA
Pilihan editor: Rupiah Melemah Nyaris Rp 16.500 per 1 US Dollar Disebut Terendah Sejak Krisis Moneter 1998, Ini Kilas Baliknya