Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa secara bulanan Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,03 persen pada Agustus 2024. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, Pudji Ismartini, menyatakan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami penurunan dari 106,09 pada Juli 2024 menjadi 106,06 pada Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Deflasi bulan ini lebih rendah dibanding Juli 2024 dan merupakan deflasi keempat tahun ini,” kata Pudji dalam pemaparannya dipantau daring, Senin, 2 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelompok pengeluaran yang paling berkontribusi terhadap deflasi bulanan ini adalah makanan, minuman, dan tembakau, dengan penurunan sebesar 0,52 persen yang menyumbang deflasi sebesar 0,15 persen.
"Saya tegaskan kembali bahwa fenomena deflasi empat bulan ini lebih ditunjukkan dari sisi supply, artinya masih terjadi di sisi penawaran. Jika hal ini kemudian (dipengaruhi) pada pendapatan masyarakat, maka kita perlu kaji lebih lanjut untuk bisa membuktikan asumsi tersebut," kata Pudji.
Pudji menambahkan bahwa fenomena deflasi selama empat bulan berturut-turut tahun ini bukanlah hal yang baru.
Setelah krisis finansial Asia tahun 1997, Indonesia pernah mengalami deflasi selama tujuh bulan berturut-turut, dari Maret hingga September 1999. Pada periode tersebut, deflasi terutama disebabkan oleh depresiasi nilai tukar dan penurunan harga beberapa jenis barang.
Periode deflasi lainnya terjadi antara Desember 2008 dan Januari 2009, selama krisis finansial global. Pada saat itu, deflasi dipicu oleh penurunan harga minyak dunia serta melemahnya permintaan domestik.
Krisis moneter 1998
Tahun 1997 bisa dianggap sebagai awal munculnya krisis moneter atau krismon 1998. Dimulai pada bulan Agustus, nilai mata uang rupiah terus merosot tajam dan mencapai titik terendah pada bulan berikutnya, September. Dalam waktu satu tahun, nilai rupiah yang awalnya berada di kisaran Rp 2.380 per dolar AS, mengalami penurunan hingga 600 persen.
Puncaknya terjadi pada bulan Juli 1998, ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp 16.650. Meski pada 31 Desember 1998 rupiah mulai pulih dan dihargai Rp 8.000 per dolar, hal ini tidak memberikan dampak signifikan karena ekonomi masyarakat sudah sangat terpuruk.
Selain merosotnya nilai rupiah dari 1997 hingga 1998, krisis moneter tersebut juga dipicu oleh lonjakan utang luar negeri sektor swasta. Pada Maret 1998, dari total utang sebesar 138 miliar dolar AS, sebanyak 72,5 miliar dolar AS merupakan utang swasta, di mana dua pertiga dari utang tersebut adalah utang jangka pendek yang harus dilunasi pada tahun yang sama.
Sementara itu, cadangan devisa Indonesia yang hanya sebesar 14,44 miliar dolar AS tidak cukup untuk membayar utang tersebut, apalagi beserta bunganya. Lonjakan utang luar negeri inilah yang menjadi salah satu penyebab utama tekanan berat pada perekonomian Indonesia.
Krisis ekonomi 2008
Dilansir dari ocbc.id, Krisis moneter tahun 2008 dianggap sebagai masalah ekonomi terburuk sejak Depresi Besar. Pasar saham Amerika Serikat mengalami penurunan tajam, dengan kerugian mencapai 8 triliun dolar AS selama periode 2007-2009. Krisis ini juga menyebabkan tingkat pengangguran meningkat hingga mencapai 10 persen pada Oktober 2009.
Krisis ekonomi 2008 juga melemahkan kinerja pasar obligasi, dengan penurunan harga rata-rata mencapai puncaknya pada bulan Oktober, terkoreksi hingga 27,4 persen. Selain itu, harga surat utang Indonesia juga anjlok, dengan imbal hasil melonjak dari sekitar 10 persen menjadi 17 persen.
Untuk mengatasi situasi tersebut, Pemerintah Indonesia mengeluarkan tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pada Oktober 2008. Perppu 2/2008 memperketat peran Bank Indonesia sebagai lender of the last resort dengan memperluas jenis aset yang dapat dijadikan agunan oleh bank untuk mendapatkan pinjaman. Perppu 3/2008 memperkuat peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) selama krisis, dan Perppu 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) menetapkan mekanisme, tata cara, dan koordinasi antar lembaga untuk mencegah serta mengatasi krisis.
SUKMA KANTHI NURANI I HENDRIK KHOIRUL MUHID I ILONA ESTHERINA