Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengadu Untung di Bisnis Lantai

Jumlah pusat belanja baru di Jakarta dan sekitarnya terus bertambah. Pasar mulai jenuh.

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIUH-rendah pembangunan pusat belanja baru di Jakarta dan sekitarnya masih gegap-gempita. Dan mal-mal baru pun bermunculan di seantero sudut metropolitan, termasuk di Bekasi, Depok, dan Tangerang. Tengoklah kawasan Senayan, Jakarta Selatan.

Belum lama rasanya Senayan Trade Center (STC) rampung dibangun, tak jauh dari Plaza Senayan dan beradu punggung dengan Ratu Plaza di Sudirman. Kini, pembangunan Forum Senayan di seberang STC sedang digeber. Begitu pula La Piazza di Kelapa Gading, Grand Indonesia di Thamrin, Sudirman Place dan Sudirman Park Center di kawasan Sudirman, sampai Mal Pondok Indah II dan Point Square di Lebak Bulus.

Bekasi tak ketinggalan. Setelah Ramayana di seberang Mal Metropolitan beroperasi, muncul Mega Bekasi Hypermall (Giant) dan Bekasi Trade Center. Menyusul kemudian Blue Mall di Bekasi Timur, dan tak lama lagi Mal Metropolitan II juga segera dibangun di kawasan Bekasi Barat.

Direktur PT Procon Indah, Lini Djafar, mengatakan pembangunan ruang retail masih akan marak, setidaknya hingga tahun depan. Luas pusat belanja di Jakarta dan sekitarnya sampai semester pertama tahun ini sudah mencapai 2,2 juta meter persegi?setara dengan hampir 300 lapangan sepak bola ukuran internasional. Akhir tahun depan, jumlahnya makin menggila: 3,3 juta meter persegi.

Pengembang properti agaknya tak merasa khawatir proyeknya sepi pembeli, meski tingkat hunian gedung retail belakangan ini cenderung turun. Tingkat hunian pusat belanja di Jakarta pada awal 2003 masih 90 persen, tapi kini turun jadi 85 persen. Hunian gedung retail di Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi bakal lebih rendah lagi, yakni sekitar 70 persen, pada tahun ini. Bandingkan dengan kondisi tahun 2002. Ketika itu tingkat hunian pusat belanja di lingkar luar Jakarta ini masih 90 persen.

Menurut Lini, gencarnya pembangunan pusat belanja, kendati tingkat huniannya mulai turun, disebabkan pengembang yakin para pembeli ruang belanja masih banyak. Selain itu, ada tiga faktor yang acap mempengaruhi keberhasilan pusat belanja, yakni lokasi, konsep yang menyeluruh (one-stop shopping), dan fasilitasnya. Lini mencontohkan Mal Pondok Indah, Plaza Indonesia, Plaza Senayan, dan Mal Kelapa Gading, yang masih terisi 100 persen meskipun banyak mal baru.

Namun, menurut Ketua Umum Real Estat Indonesia, Yan Mogi, ada juga gedung perbelanjaan yang mulai sepi pengunjung karena kalah bersaing dengan pusat retail pendatang baru. Lihat saja Goro dan Ramayana di Bekasi, yang tutup setelah Giant muncul di Bekasi Hypermall. Karena itu, tempat belanja seperti ini sudah selayaknya direposisi dengan konsep baru. "Apalagi bila gedung belanja itu sudah berumur 15 tahun lebih, sudah layak dimodernisasi," katanya. Salah satu yang sudah melakukannya adalah Ratu Plaza.

Di luar soal itu, keuntungan yang ditangguk pengembang dengan membangun ruang belanja itu memang masih menggiurkan. Direktur Pusat Studi Properti Indonesia, Panangian Simanungkalit, mengatakan modal pengembang sudah bisa pulang bila berhasil menjual 50 persen saja luas areal retail. Penjualan yang setengah lagi masuk sebagai keuntungan. Karena itu, pada umumnya pengembang sudah untung bila gedungnya terjual 70 persen. "Ini hanya satu contoh betapa menariknya investasi di sektor ini," kata Panangian.

Sekretaris Perusahaan PT Duta Pertiwi, Feniati Tenggara, membenarkan sinyalemen Panangian. Perusahaannya, misalnya, bisa meraup keuntungan kotor dari setiap proyek perbelanjaan berlabel Indonesia Trade Center (ITC) sekitar 30 persen. "Biasanya modal kami sudah kembali selama lima tahun," katanya. Bahkan Presiden Direktur Serpong Trade Center, Dedi Setiadi, mengatakan modal yang dibenamkan untuk pembangunan pusat belanja oleh kelompok usahanya, Grup Gapura Prima, biasanya sudah kembali dalam tiga tahun. "Keuntungannya memang cukup menjanjikan," ujar Dedi.

Dengan tingkat keuntungan menggiurkan itu, kata Panangian, memang tak aneh bila banyak pengembang besar masih saja haus proyek retail baru. Grup Duta Pertiwi, misalnya, setelah sukses dengan ITC Mangga Dua, ITC Roxy Mas, dan ITC Cempaka Mas, kemudian membangun ITC Kuningan, ITC Fatmawati, dan kini sedang membangun ITC Depok. "Kami targetkan proyek berlantai empat ini akan selesai sebelum Lebaran tahun depan," kata Feniati, seraya menambahkan bahwa 80 persen dari sekitar 1.500 kios yang disediakan sudah dipesan pembeli.

Dalam waktu dekat ini, kata Feni, Duta Pertiwi akan membangun ITC di Surabaya. Membangun pusat belanja baru di luar Jakarta menjadi alternatif untuk menghindari persaingan antar-ruang retail di kawasan yang semakin kompetitif. Seperti yang juga dilakukan Lippo dengan membuka pusat perkulakan di Malang.

Feni menjelaskan, prospek investasi bagi pembeli ruang retail saat ini juga masih menggiurkan. Meski tak niat berdagang, pembeli akan memperoleh keuntungan dari kenaikan harga bila nanti menjual kiosnya. Dalam satu tahun, kenaikan harga kios di ITC bisa mencapai 10 persen dari harga beli. Apalagi bila kios dibeli sebelum proyek dibangun, dengan harga lebih murah. Pembeli yang menyewakan kiosnya kepada pedagang juga bisa meraup untung lima persen per tahun dari harga pokok pembelian kios.

Menurut Panangian, hingga tahun depan kenaikan harga ruang retail diprediksi masih bisa mencapai rata-rata 12-15 persen per tahun. Namun, setelah 2005, kenaikan harga akan mulai melambat di bawah 10 persen karena persediaan ruang retail akan semakin banyak. Bila pengembang masih aktif membangun, pasokan ruang retail sampai 2007 bisa mencapai 4,5 juta meter persegi. Jika pemerintah yang baru bisa mendorong pertumbuhan ekonomi sampai 5,3 persen, sangat mungkin akan ada penambahan ruang pusat belanja baru.

Namun, kata Ketua Asosiasi Pedagang Telepon Genggam Jakarta, Tongki, pembeli kios saat ini, seperti pedagang telepon genggam, tidak begitu tergiur membeli kios baru. Menurut dia, pusat belanja baru belum tentu ramai dikunjungi konsumen. Mayoritas pedagang telepon genggam di Jakarta masih terpusat di ITC Roxy Mas, Mal Ambassador, dan ITC Cempaka Mas. "Bahkan orang-orang daerah pun datang ke sana, meski harga handphone di tempat lain sama saja atau paling tidak beda tipis," kata Tongki. "Jadi, untuk ekspansi ke lokasi lain, kami harus hati-hati."

Karena itu, kata Tongki, pedagang yang umumnya membeli kios di pusat belanja baru, seperti di wilayah pinggiran Jakarta, umumnya adalah pedagang setempat yang mencoba naik kelas ke pusat belanja modern. Menurut Dedi Setiadi, sekitar 60 persen pembeli kios di Serpong Town Square adalah warga sekitar Tangerang. Sisanya pedagang dari Jakarta, bahkan dari luar daerah. Begitu juga di ITC Depok, yang kiosnya banyak diserap warga sekitar Depok.

Kendati masih menguntungkan, agaknya pasar ruang pusat belanja sudah mulai mendekati titik jenuhnya. Pusat belanja lama, seperti Pasaraya Manggarai, mulai terlihat lengang. Sebelumnya juga sudah tak terhitung pusat belanja yang tutup, seperti di kawasan Blok M. Kecuali ada suntikan darah baru yang membuat daya beli masyarakat terdongkrak naik. Sesuatu yang muskil terjadi dalam 2-3 tahun ke depan.

Taufik Kamil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus