Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AWAL pekan lalu bagai mimpi buruk buat Rauf Purnama. Lewat pesawat televisi, Senin petang itu Direktur Utama PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) ini menyaksikan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti mengumumkan penutupan pabrik yang dipimpinnya selama empat tahun terakhir. "Aneh, rapat kabinet memutuskan hidup-mati perusahaan," katanya, setengah tak percaya.
Alasan pemerintah, pasokan gas dari lapangan Arun di Lhok Seumawe, Aceh Utara, hanya cukup untuk dua pabrik: Pupuk Iskandar Muda (PIM) I dan PIM II. Penutupan ini masih membutuhkan persetujuan pemegang saham lainnya. Maklum, AAF didirikan dengan semangat ASEAN oleh Indonesia dengan saham 60 persen, Malaysia, Thailand, dan Filipina (23 persen), dan Singapura (1 persen) pada 1979. Sejak tahap komersial, 1978, produksi Arun terus menipis dari cadangan sebesar 17 triliun kaki kubik.
Gas alam yang makin sedikit itu terikat pula kontrak dengan pembeli Korea Selatan dan Jepang dalam bentuk gas alam cair (LNG). Akibatnya, ya, itu tadi: AAF tak lagi kebagian gas. Tapi, menurut Rauf, mestinya ada mekanisme rapat umum pemegang saham (RUPS), yang direncanakan 13 November nanti. "Kami akan menulis surat bantahan dengan pertimbangan politis, ekonomis, dan citra Indonesia di ASEAN," tuturnya.
Sejak pasokan gas terhenti, Agustus tahun lalu, Rauf berusaha keras meminta pasokan gas kepada ExxonMobil selaku kontraktor Arun. AAF pun rela membeli lebih mahal US$ 2,32 per mmbtu, tetapi pasokan gas tetap tiada. "Mengapa pemerintah tidak bisa menyediakan gas bagi AAF, yang hanya 4 persen dari volume yang diekspor?" ia bertanya.
Akan halnya pasokan gas ke PIM I dan PIM II, menurut Wakil Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas), Kardaya Warnika, masih terjamin 10 tahun ke depan. Pemerintah akan meminta penjadwalan ulang pengiriman LNG ke Korea Selatan dan Jepang. Dari kontrak Arun sebanyak 103 kargo, Indonesia akan meminta penjadwalan ulang 12 kargo untuk kebutuhan tahun depan. Untuk kebutuhan 2006-2009, pemerintah akan mengalihkan sebagian kontrak LNG Arun ke lapangan Bontang di Kalimantan Timur.
Dalam perhitungan BP Migas, Bontang hanya mampu menerima pengalihan kontrak 12 kargo, atau setara dengan kebutuhan dua pabrik pupuk. "Kalau kurang, kami akan membeli LNG dari luar," kata Kardaya. Setelah itu, pasokan gas berasal dari lapangan Blok A, yang mulai berproduksi pada 2008. Dengan cadangan 560 miliar kaki kubik, Blok A ternyata cukup memasok gas ke dua pabrik itu selama enam tahun pertama. Setelah itu, gas yang tersisa hanya cukup untuk satu pabrik paling lama hingga 2022. Padahal skala ekonomis PIM II mencapai 2025.
Penutupan pabrik justru menimbulkan "perlawanan" baru dari masyarakat Aceh. Ketua sementara DPRD Aceh, Jauharuddin Harmay, meminta peninjauan ulang keputusan itu. "Ini sangat menyakitkan," ujarnya. "Jangan sampai rakyat Aceh menafsirkan ini sebagai ketidakadilan lain terhadap mereka." Serikat Pekerja AAF bersikap sama. "Kami menolak penutupan ini dan akan menempuh segala cara agar AAF tetap beroperasi," kata Edwar Salim, juru bicara serikat pekerja.
Penutupan AAF sebetulnya tak pernah masuk dalam opsi pemerintah untuk mengatasi persoalan gas di Aceh. Materi rapat terbatas kabinet yang diterima Tempo menyebutkan pemerintah mengupayakan pasokan gas untuk tiga pabrik, termasuk AAF. Untuk itu, dibutuhkan 194 juta kaki kubik gas per hari?setara dengan 18 kargo LNG. Caranya, memaksimalkan rescheduling ke Korea dan Jepang. Ini yang belum dilakukan maksimal (Tempo, 4/10).
"Kami juga tidak pernah merekomendasikan impor LNG," kata Deputi Menko Perekonomian, Dipo Alam. Sebab, membeli LNG dari luar, seperti pada awal tahun ini, membuat pemerintah tekor US$ 9,5 juta per kargo. Karena itu, ia mempertanyakan keputusan penutupan AAF. Menutup AAF, menurut dia, berarti mematikan simbol industrialisasi di provinsi yang masih bergejolak itu. Padahal penyelesaian Aceh membutuhkan pendekatan ekonomi yang menyentuh langsung kehidupan rakyatnya.
Ia mengingatkan, Undang-Undang Migas Pasal 8 mengamanatkan kepada pemerintah memprioritaskan pemanfaatan gas alam untuk kebutuhan dalam negeri. "Saya lebih sedih melanggar semangat Undang-Undang Migas ketimbang keputusan kabinet," ujar Dipo, yang juga Ketua Tim Pemulihan Ekonomi Aceh.
M. Syakur Usman, Imran (Lhok Seumawe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo