Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUNIA gempar ketika pendukung fanatik Donald Trump menohok jantung demokrasi Amerika Serikat. Gedung US Capitol, tempat Kongres dan Senat Amerika berkantor, mereka kuasai selama beberapa jam. Bukan cuma politikus yang terperanjat melihat kekacauan itu. Pasar pun tersentak, kembali menimbang posisi dolar Amerika sebagai jangkar stabilitas ekonomi dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerusuhan itu memperkuat keraguan yang sudah merebak sejak tahun lalu. Demi menyelamatkan ekonomi yang terpukul pandemi, The Federal Reserve bertekad melakukan apa saja. Salah satu caranya: mencetak likuiditas dolar tanpa batas. Hasilnya, sejauh ini ekonomi Amerika relatif selamat. Pasar finansial malah menikmati euforia karena banjir dolar. Tapi ada residu kebijakan itu yang belum jelas bagaimana menanganinya. Pasokan dolar yang terlalu melimpah pada suatu ketika pasti akan menimbulkan masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Neraca The Fed kini sudah menggelembung luar biasa, dari US$ 4,16 triliun di akhir 2019 menjadi US$ 7,36 triliun di akhir 2020, melompat hampir dua kali lipat hanya dalam setahun. Dan hampir semua aset The Fed itu sebetulnya cuma “kertas”, surat utang pemerintah Amerika, bukan berupa emas atau aset berharga lain.
Sebelumnya, puncak tertinggi neraca The Fed tercatat pada Januari 2015, yakni US$ 4,51 triliun. Jadi, hingga akhir 2019, sebelum Covid-19 muncul, The Fed sebetulnya sudah pelan-pelan mengempiskan gelembung itu. Apa daya, begitu pandemi meledak, niat menyehatkan neraca harus mengalah kepada upaya menyelamatkan ekonomi.
Kini sulit mengatakan tak ada masalah dengan neraca The Fed. Bisakah dunia menerima kenyataan bahwa The Fed, yang praktis sudah menjadi bank sentral dunia, hanya beraset kertas surat utang pemerintah Amerika? Tak mengherankan jika dolar terus tertekan, nilainya merosot hingga 7 persen terhadap mata uang utama dunia sepanjang 2020.
Kerusuhan di Capitol menambah akselerasi penurunan itu. Indeks Dolar, yang mengukur nilai dolar Amerika terhadap enam mata uang utama, ambles ke angka 89,9 pada akhir pekan lalu, Jumat, 8 Januari. Pelemahan ini membuat nilai tukar renminbi dan euro terhadap dolar Amerika menyentuh rekor tertinggi sejak Juli 2018. Mata uang negara-negara berkembang juga turut terdongkrak. Indeks mata uang negara berkembang (MSCI) mencatat rekor baru 1.731, melampaui titik tertinggi sebelumnya pada Maret 2018.
Sayangnya, rupiah tak ikut menikmati angin segar ini. Nilai tukarnya hanya sehari menguat ke bawah 14 ribu per dolar Amerika. Pada akhir pekan lalu, kurs rupiah sudah kembali di atas batas psikologis itu. Jika indeks dolar sebagai pembanding, rupiah seharusnya jauh lebih kuat. Pada 26 Januari 2018, ketika indeks dolar berada di angka 89, sama dengan saat ini, kurs pada hari itu Rp 13.306 per dolar. Karena ada banyak masalah di ekonomi Indonesia, pergerakan kurs rupiah terhadap dolar Amerika memang akan menempuh jalur berbeda, tak seirama dengan pelemahan dolar terhadap mata uang utama lain.
Sementara itu, pasar finansial global pun harus tetap percaya kepada dolar Amerika yang bermodalkan ekonomi terbesar di dunia, proses kebijakan moneter yang independen dan transparan, serta infrastruktur industri finansial yang belum tertandingi. Data Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan total nilai cadangan devisa milik semua negara di dunia per kuartal III 2020 setara dengan US$ 11,5 triliun. Sekitar 60,2 persen dari jumlah itu, atau senilai US$ 6,93 triliun, berupa aset dalam dolar Amerika.
Saat ini, jika hanya menimbang kekuatan ekonomi, satu-satunya kemungkinan pengganti Amerika adalah Cina. Namun, jika menimbang aspek transparansi kebijakan ataupun independensi otoritas moneter dari intervensi pemerintah, mustahil Tiongkok mampu memperoleh kepercayaan dari seluruh dunia. Jangankan soal arah operasi moneter. Hingga saat ini saja, investor sedunia masih terbelenggu teka-teki bagaimana nasib Jack Ma, yang tak pernah lagi muncul di depan publik sejak otoritas Cina membatalkan penjualan saham perdana Ant Group miliknya.
Kesimpulannya, dolar Amerika sepertinya akan terus melemah. Tapi sejauh ini memang belum ada alternatif. Dolar akan tetap dominan menguasai dunia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo